Judul diatas terkesan over-confident. Tapi saya
sudah 3 tahun menyimpannya, dan sekarang baru keluar kembali bersama sepaket ekplanasi.
Tetapi judul ini bukan sebuah kolektivitas fanatis, bukan pula gejala
nativistik. Hanya sejenis aksentuasi atas kebanggaan dalam bentuk informal.
Untuk itulah saya memilih kata “kado terindah” yang lebih identik dengan sebuah
perayaan. Jadi tulisan ini, hanya sekedar merayakan hal yang disebut “terindah”
itu.
Bagi saya, siapapun pasti akan berusaha memahami setiap
sisi kehidupan yang ia jalani, begitupun dimana ia berproses hingga bertumbuh.
Kita yang hidup dalam kultur sosial tertentu dan agama tertentu, pasti akan
berusaha untuk memahami atau minimal merasa bangga. Untuk itulah, isu SARA
(suku, ras, dan agama) selalu memantik perdebatan panjang.
Begitu pun di IMM, sebagai orang yang pernah berproses di
dalamnya, saya hendak merayakan kenangan itu. Merayakan masa-masa dimana saya
disebut sebagai kader, pengurus hingga domisioner. Sebuah siklus ilmiah yang
begitu menarik. Belajar menjadi sosok altruistik, hingga mencoba banyak hal
baru dalam tensi yang lebih tinggi dari sebelumnya. Bergumul dalam konflik,
perenungan, dan penerimaan.
Kesemuanya, bersemayam syahdu dalam cangkang kepala.
Bahkan, dalam proses itu, saya berhasil menelurkan essay-essay sederhana, yang
jumlahnya ratusan. Ya. Ratusan. Sebagian sudah saya himpun dalam bentuk PDF
berjudul “Segelas Kopi Untuk Ikatan.”
Semua essay itu bercerita tentang IMM dan Muhammadiyah. Tetapi saya tak
pernah punya waktu untuk merayakannya. Terlalu sibuk mengurus diri sendiri.
Terlalu sibuk belajar banyak hal : menulis, menciptakan nada lagu, wawancara, dan
menjadi pekerja serabutan.
Andai tak bergabung dengan IMM, mungkin saya akan dikenal
sebagai seorang Soliter yang kesepian. Seperti Nietzhe, barangkali. Haha. Atau
seperti Chairil Anwar. Terlalu tinggi persamaannya, tapi begitu lah adanya. Dua
sosok yang menurut saya aneh. Tapi dikenang sepanjang sejarah. Semua proses itu
saya jalani demi mencecap saripati kehidupan. Seperti Pram. Pramoedya Ananta
Toer. Tapi saya lekas tersadar, bahwa zaman kini sudah berubah. Tak hitam putih
seperti dulu.
Pergulatan antara setan dan malaikat begitu absurd.
Berbeda dengan masa Pram. Dimana dia bisa melihat dengan jelas mana malaikat
dan mana setan. Meskipun Pram tidak hendak menjadi salah satu diantara
keduanya, ia memilih menjadi penutur, pendongeng, dan mungkin itulah yang
disebut hiburan, kala itu. Jadi, Pram juga seorang penghibur, dalam arti yang
lain.
Lalu apa kado yang saya dapat dari IMM? Inilah yang
menjadi topik utama dalam tulisan ini, sekaligus sebagai penyadaran bahwa tak
selamanya kita bisa bersandar dalam heroisme. Seperti pertanyaan sederhana
berikut ini:
Mungkinkah lahir Soekarno baru di Indonesia?
Mungkinkah lahir Ahmad Dahlan baru di
Indonesia?
Atau Mungkinkah lahir Soe Hok Gie baru di
Indonesia?
Dengan kesadaran logis saya menjawab. TIDAK MUNGKIN. Karena
sebuah duplikasi, betapapun sempurnanya, ia tetap sebuah perilaku imitatif. Tak
orisinil, tak otentik, tak genuine. Mirip dengan produk-produk bajakan made in
china.
Yang ada sekarang adalah kita semua, yang mungkin adalah
serpihan-serpihan kecil, yang baru bisa besar ketika bersama-sama dan
berkolaborasi, yang pada akhirnya mampu menghimpun kekuatan dan membuat
perubahan setara Soekarno atau Ahmad Dahlan. Meskipun tetap saja tak bisa.
Bukan karena tak mampu, tapi karena hidup butuh penyikapan berbeda dalam setiap
zamannya.
Di samping itu, kado lain yang cukup terkenang adalah
imajinasi tentang nilai-nilai. Idealisme dan sejumput kepuasaan moral. Mulai
dari Politik nilai, hingga Islam Rahmatan lil alamin, yang akhir-akhir ini
terasa seperti bagian integral dari cerita sinematografi. Penuh khayalan.
Tetapi kata Eleanor Roosevelt, The future belongs to those who believe in
the beauty of their dreams. Jadi
mungkin saja mimpi tentang politik nilai itu akan terjadi, dan entah itu
kapan.
Kado terindah lainnya adalah teman-teman diskusi, yang
merangsang untuk selalu berfikir dan mencari referensi, sehingga membuat otak
terisi. Sebuah kesederhanaan yang kadang kita lupakan. Berdiskusi. Ya. Karena
proses interaksi penuh argumentasi itulah yang kemudian menyadarkan saya, bahwa
manusia itu tak hanya seperangkat prosesor lunak. Ia adalah mahluk yang
dilengkapi biotron bernama perasaan.
Berdiskusi adalah satu sesi dimana saya merasa menjadi
sesosok manusia secara otentik, bukan hanya seonggok daging yang berjalan.
Berdiskusi, entah dalam forum ilmiah atau rapat pengurus, membuat kita harus
meniadakan segala bentuk pretensi, impulsifitas, dan tentunya egoisme. Ada
sebuah proses impersonal yang menuju satu titik bernama : kedewasaan menerima
sesuatu.
Semoga, apa yang saya tuliskan diatas, kini telah menjadi
sebuah sistem budaya, atau minimal sub sistem di IMM. Bukan sekedar impresi
masa lalu. Untuk itu, tak berlebihan jika saya menggunakan istilah “kado
terindah”. Itu berarti, IMM masih cukup layak dipertahankan menjadi salah satu
organisasi Mahasiswa yang ramah untuk ditempati. Ditengah sengkarut akan
doktrinasi pekat yang membuat kita tak mampu melihat warna-warna lain.
28 Oktober 2014
Semangat sumpah pemuda
A Fahrizal Aziz*
Domisioner IMM “Pelopor” UIN Malang, Mantan
Kabid RPK PC IMM Malang