loading...

Jumat, 01 Mei 2015

IMM, kado terindah untuk Mahasiswa



Judul diatas terkesan over-confident. Tapi saya sudah 3 tahun menyimpannya, dan sekarang baru keluar kembali bersama sepaket ekplanasi. Tetapi judul ini bukan sebuah kolektivitas fanatis, bukan pula gejala nativistik. Hanya sejenis aksentuasi atas kebanggaan dalam bentuk informal. Untuk itulah saya memilih kata “kado terindah” yang lebih identik dengan sebuah perayaan. Jadi tulisan ini, hanya sekedar merayakan hal yang disebut “terindah” itu.


Bagi saya, siapapun pasti akan berusaha memahami setiap sisi kehidupan yang ia jalani, begitupun dimana ia berproses hingga bertumbuh. Kita yang hidup dalam kultur sosial tertentu dan agama tertentu, pasti akan berusaha untuk memahami atau minimal merasa bangga. Untuk itulah, isu SARA (suku, ras, dan agama) selalu memantik perdebatan panjang.

Begitu pun di IMM, sebagai orang yang pernah berproses di dalamnya, saya hendak merayakan kenangan itu. Merayakan masa-masa dimana saya disebut sebagai kader, pengurus hingga domisioner. Sebuah siklus ilmiah yang begitu menarik. Belajar menjadi sosok altruistik, hingga mencoba banyak hal baru dalam tensi yang lebih tinggi dari sebelumnya. Bergumul dalam konflik, perenungan, dan penerimaan.

Kesemuanya, bersemayam syahdu dalam cangkang kepala. Bahkan, dalam proses itu, saya berhasil menelurkan essay-essay sederhana, yang jumlahnya ratusan. Ya. Ratusan. Sebagian sudah saya himpun dalam bentuk PDF berjudul “Segelas Kopi Untuk Ikatan.”  Semua essay itu bercerita tentang IMM dan Muhammadiyah. Tetapi saya tak pernah punya waktu untuk merayakannya. Terlalu sibuk mengurus diri sendiri. Terlalu sibuk belajar banyak hal : menulis, menciptakan nada lagu, wawancara, dan menjadi pekerja serabutan.

Andai tak bergabung dengan IMM, mungkin saya akan dikenal sebagai seorang Soliter yang kesepian. Seperti Nietzhe, barangkali. Haha. Atau seperti Chairil Anwar. Terlalu tinggi persamaannya, tapi begitu lah adanya. Dua sosok yang menurut saya aneh. Tapi dikenang sepanjang sejarah. Semua proses itu saya jalani demi mencecap saripati kehidupan. Seperti Pram. Pramoedya Ananta Toer. Tapi saya lekas tersadar, bahwa zaman kini sudah berubah. Tak hitam putih seperti dulu.

Pergulatan antara setan dan malaikat begitu absurd. Berbeda dengan masa Pram. Dimana dia bisa melihat dengan jelas mana malaikat dan mana setan. Meskipun Pram tidak hendak menjadi salah satu diantara keduanya, ia memilih menjadi penutur, pendongeng, dan mungkin itulah yang disebut hiburan, kala itu. Jadi, Pram juga seorang penghibur, dalam arti yang lain.

Lalu apa kado yang saya dapat dari IMM? Inilah yang menjadi topik utama dalam tulisan ini, sekaligus sebagai penyadaran bahwa tak selamanya kita bisa bersandar dalam heroisme. Seperti pertanyaan sederhana berikut ini:

Mungkinkah lahir Soekarno baru di Indonesia?
Mungkinkah lahir Ahmad Dahlan baru di Indonesia?
Atau Mungkinkah lahir Soe Hok Gie baru di Indonesia?

Dengan kesadaran logis saya menjawab. TIDAK MUNGKIN. Karena sebuah duplikasi, betapapun sempurnanya, ia tetap sebuah perilaku imitatif. Tak orisinil, tak otentik, tak genuine. Mirip dengan produk-produk bajakan made in china.

Yang ada sekarang adalah kita semua, yang mungkin adalah serpihan-serpihan kecil, yang baru bisa besar ketika bersama-sama dan berkolaborasi, yang pada akhirnya mampu menghimpun kekuatan dan membuat perubahan setara Soekarno atau Ahmad Dahlan. Meskipun tetap saja tak bisa. Bukan karena tak mampu, tapi karena hidup butuh penyikapan berbeda dalam setiap zamannya.

Di samping itu, kado lain yang cukup terkenang adalah imajinasi tentang nilai-nilai. Idealisme dan sejumput kepuasaan moral. Mulai dari Politik nilai, hingga Islam Rahmatan lil alamin, yang akhir-akhir ini terasa seperti bagian integral dari cerita sinematografi. Penuh khayalan. Tetapi kata Eleanor Roosevelt, The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams. Jadi  mungkin saja mimpi tentang politik nilai itu akan terjadi, dan entah itu kapan.

Kado terindah lainnya adalah teman-teman diskusi, yang merangsang untuk selalu berfikir dan mencari referensi, sehingga membuat otak terisi. Sebuah kesederhanaan yang kadang kita lupakan. Berdiskusi. Ya. Karena proses interaksi penuh argumentasi itulah yang kemudian menyadarkan saya, bahwa manusia itu tak hanya seperangkat prosesor lunak. Ia adalah mahluk yang dilengkapi biotron bernama perasaan.

Berdiskusi adalah satu sesi dimana saya merasa menjadi sesosok manusia secara otentik, bukan hanya seonggok daging yang berjalan. Berdiskusi, entah dalam forum ilmiah atau rapat pengurus, membuat kita harus meniadakan segala bentuk pretensi, impulsifitas, dan tentunya egoisme. Ada sebuah proses impersonal yang menuju satu titik bernama : kedewasaan menerima sesuatu.

Semoga, apa yang saya tuliskan diatas, kini telah menjadi sebuah sistem budaya, atau minimal sub sistem di IMM. Bukan sekedar impresi masa lalu. Untuk itu, tak berlebihan jika saya menggunakan istilah “kado terindah”. Itu berarti, IMM masih cukup layak dipertahankan menjadi salah satu organisasi Mahasiswa yang ramah untuk ditempati. Ditengah sengkarut akan doktrinasi pekat yang membuat kita tak mampu melihat warna-warna lain.

28 Oktober 2014
Semangat sumpah pemuda
A Fahrizal Aziz*
Domisioner IMM “Pelopor” UIN Malang, Mantan Kabid RPK PC IMM Malang