Saya bertemu beliau ketika acara Instruktur Pelopor
Training (IPT) IMM Koms. Pelopor UIN Malang di Padepokan Hizbul Wathan Dau
Malang sekitar dua tahun lalu. Kala itu, saya ditunjuk oleh pimpinan komisariat
untuk menjadi pemateri yang dijadwalkan mengisi materi ‘keinstrukturan’ setelah
shalat Isya’, tapi saya sudah datang sebelum magrib. Saya shalat magrib disana.
Setelah itu, sembari menunggu shalat Isya’, saya terlibat perbincangan singkat
dengan KH. Abbdullah Hasyim.
Saya sudah pernah menulis sedikit perbincangan tersebut
dengan judul “kematangan pribadi seorang Kyai”. Tapi tak ada salahnya jika saya
menulis lagi dengan kemasan yang lebih cair dan memorable, sekaligus menjadi
pengingat kepada saya sendiri tentang tokoh sepuh di Muhammadiyah Malang yang
sangat kharismatik, yang dengan tenang dan bijak menjawab setiap pertanyaan
saya yang mungkin saja agak emosional, terutama menyangkut eksistensi IMM
(Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah).
Sebagai senior citizen yang juga pernah menjadi
ketua PDM Malang raya –sebelum di pisah PDM Kota dan Kabupaten—tentu beliau
paham betul dengan kondisi Muhammadiyah. saya membuka dialog tentang JIMM
(Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) kala itu, meskipun saya sendiri tidak
tergabung di dalamnya. Agaknya menarik, karena sebelumnya beliau menjelaskan
jika sebagai gerakan tadjid, upaya untuk reorientasi gerakan, kajian
kontemporer dan lain sebagainya itu perlu digalakkan, terutama anak-anak muda
seperti IMM.
Karena hal itu, saya sedikit mengeluh tentang susahnya
membuat sebuah gerakan pemikiran di IMM, salah satu yang paling riil adalah
JIMM. Banyak yang kemudian memusuhi JIMM, dengan alasan sebagai gerakan
liberalisme, jauh dari Alquran dan sunnah, mendapatkan stima negatif sebagai
lembaga yang didanai barat untuk merusak Islam dari dalam. Dengan atmosfir yang
sedemikian itu, bagaimana mungkin upaya tajdid yang dicita-citakan itu akan
terealisasi? Dan sebagian besar, yang memiliki pemikiran seperti itu adalah
tokoh-tokoh tua.
Dengan tenang beliau menjawab bahwa ilmu itu memang
berkembang, tidak stagnan. Begitu pula denga tafsir atau hukum-hukum fiqiyah.
Karena kehidupan ini dinamis, maka butuh re-interpretasi pemahaman. Proses
dialog dengan keilmuan harus tetap dihidupkan agar Islam bisa selaras dengan
perubahan zaman, tidak jumud dan tertinggal. Secara personal, Kyai Hasyim tidak
serta merta menyalahkan gerakan pemikiran yang dilakukan anak-anak muda
Muhammadiyah itu. Hanya saja, cara atau metode yang digunakan anak-anak muda
kadang tidak bisa diterima oleh semua orang, terutama tokoh tua.
Saya mencoba membuat sebuah interpretasi dari penjelasan
beliau. Misalkan aktifitas di JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah)
yang menurut sebagian orang senafas dengan JIL (Jaringan Islam Liberal). Budaya
intelektual yang terlalu ekstrim kadang membuat sebagian orang shock dan
akhirnya menjaga jarak dengan JIL atau JIMM. Misalkan sebuah Opini yang pernah
ditulis oleh Ulil Abshar Abdalla yang berjudul “Menyegarkan kembali pemikiran
Islam di Indonesia” yang dinilai sangat frontal.
Di JIMM sendiri, mungkin saja hal serupa terjadi.
Misalkan dengan munculnya buku-buku yang ‘melawan kemapanan paham’ dari Dr.
Moeslim Abdurrahman. Mas Boy sendiri pernah menulis buku berjudul ‘Fiqh Jalan
tengah’ atau Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan yang pernah menulis buku ‘Satu Tuhan
seribu Tafsir’. Di situs JIL sendiri, saya pernah membaca wawancara Ulil Abshar
dengan Sukidi Mulyadi (Kader Muhammadiyah dan aktifis JIMM) yang bila dibaca, mungkin
saja akan menyebabkan pergolakan pemikiran.
Penjelasan-penjelasan tersebut, sekalipun logis, analitik
dan ilmiah, tapi tidak bisa diterima banyak orang karena disatu sisi melawan
pemahaman komunal yang sudah mapan dan indoktriner. Kyai Hasyim tidak menyalahkan
“proses berfikirnya”. Hanya saja, sedikit mengevaluasi “cara penyampaian” yang
terkadang frontal dan terbuka. Banyak yang belum siap menerima pemikiran yang
menurut sebagian orang ekstrem tersebut.
Mendengar penjelasan itu, saya merasa lega. Sebagai sosok
sepuh yang konsisten dalam membina kader-kader mudanya di PPUT (Progam
Pendidikan Ulama Tarjih), Kyai Hasyim banyak memberikan ruang bagi anak-anak
muda Muhammadiyah dalam mengembangkan kemampuan intelektualnya. Salah satu
jebolan PPUT ini adalah Pradana Boy ZTF, Ali Muthohirin, Hasnan Bachtiar, dll.
Untuk itu, saya pernah berseloroh, jika IMM Tamadun FAI bisa melahirkan
kader-kader cemerlang bukan karena sistem komisariatnya yang bagus, melainkan
karena sebelum masuk IMM, kader-kader tersebut sudah terlatih di PPUT.
Namun, pada tanggal 5 April 2014, sosok Kharismatik
tersebut telah dipanggil oleh Allah Swt. Saya baru mendapat informasi ini malam
hari, dan menurut informasi dimakamkan sekitar pukul 22.00. Saya sedih karena
tidak bisa menghadiri pemakaman terakhir Mbah Hasyim. Saya menulis catatan ini
di ruang tunggu bandara Juanda, sambil menanti pesawat mengantarkan saya ke
Bandung pagi itu. Saya harus segera menuliskan ini, karena jika ditunda-tunda
pasti rasanya berbeda.
Pertemuan singkat tersebut benar-benar memorable.
Meskipun barangkali pertemuan selepas shalat Magrib tersebut adalah pertemuan
pertama dan terakhir saya dengan Mbah Hasyim. Dan Mbah Hasyim sendiri, mungkin
saja sudah lupa dengan saya. Tapi saya bersyukur bisa berbincang dengan beliau,
dan menjadi makmum shalat Isya’ di Masjid PPUT tersebut. Pertemuan yang
berlangsung tak lebih dari 45 menit tersebut akan selalu saya kenang, sekaligus
menjadi pengingat jika di Muhammadiyah ada sosok sepuh yang Inspiratif seperti
beliau. Selamat jalan Mbah Hasyim, semoga kami bisa meneladani perjuangan
Panjenengan. Salam Takzim.
Juanda, 6 April 2014
A Fahrizal Aziz