loading...

Jumat, 01 Mei 2015

Perbincangan singkat dengan KH. Abdullah Hasyim



Saya bertemu beliau ketika acara Instruktur Pelopor Training (IPT) IMM Koms. Pelopor UIN Malang di Padepokan Hizbul Wathan Dau Malang sekitar dua tahun lalu. Kala itu, saya ditunjuk oleh pimpinan komisariat untuk menjadi pemateri yang dijadwalkan mengisi materi ‘keinstrukturan’ setelah shalat Isya’, tapi saya sudah datang sebelum magrib. Saya shalat magrib disana. Setelah itu, sembari menunggu shalat Isya’, saya terlibat perbincangan singkat dengan KH. Abbdullah Hasyim.


Saya sudah pernah menulis sedikit perbincangan tersebut dengan judul “kematangan pribadi seorang Kyai”. Tapi tak ada salahnya jika saya menulis lagi dengan kemasan yang lebih cair dan memorable, sekaligus menjadi pengingat kepada saya sendiri tentang tokoh sepuh di Muhammadiyah Malang yang sangat kharismatik, yang dengan tenang dan bijak menjawab setiap pertanyaan saya yang mungkin saja agak emosional, terutama menyangkut eksistensi IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah).

Sebagai senior citizen yang juga pernah menjadi ketua PDM Malang raya –sebelum di pisah PDM Kota dan Kabupaten—tentu beliau paham betul dengan kondisi Muhammadiyah. saya membuka dialog tentang JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) kala itu, meskipun saya sendiri tidak tergabung di dalamnya. Agaknya menarik, karena sebelumnya beliau menjelaskan jika sebagai gerakan tadjid, upaya untuk reorientasi gerakan, kajian kontemporer dan lain sebagainya itu perlu digalakkan, terutama anak-anak muda seperti IMM.

Karena hal itu, saya sedikit mengeluh tentang susahnya membuat sebuah gerakan pemikiran di IMM, salah satu yang paling riil adalah JIMM. Banyak yang kemudian memusuhi JIMM, dengan alasan sebagai gerakan liberalisme, jauh dari Alquran dan sunnah, mendapatkan stima negatif sebagai lembaga yang didanai barat untuk merusak Islam dari dalam. Dengan atmosfir yang sedemikian itu, bagaimana mungkin upaya tajdid yang dicita-citakan itu akan terealisasi? Dan sebagian besar, yang memiliki pemikiran seperti itu adalah tokoh-tokoh tua.

Dengan tenang beliau menjawab bahwa ilmu itu memang berkembang, tidak stagnan. Begitu pula denga tafsir atau hukum-hukum fiqiyah. Karena kehidupan ini dinamis, maka butuh re-interpretasi pemahaman. Proses dialog dengan keilmuan harus tetap dihidupkan agar Islam bisa selaras dengan perubahan zaman, tidak jumud dan tertinggal. Secara personal, Kyai Hasyim tidak serta merta menyalahkan gerakan pemikiran yang dilakukan anak-anak muda Muhammadiyah itu. Hanya saja, cara atau metode yang digunakan anak-anak muda kadang tidak bisa diterima oleh semua orang, terutama tokoh tua.

Saya mencoba membuat sebuah interpretasi dari penjelasan beliau. Misalkan aktifitas di JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) yang menurut sebagian orang senafas dengan JIL (Jaringan Islam Liberal). Budaya intelektual yang terlalu ekstrim kadang membuat sebagian orang shock dan akhirnya menjaga jarak dengan JIL atau JIMM. Misalkan sebuah Opini yang pernah ditulis oleh Ulil Abshar Abdalla yang berjudul “Menyegarkan kembali pemikiran Islam di Indonesia” yang dinilai sangat frontal.

Di JIMM sendiri, mungkin saja hal serupa terjadi. Misalkan dengan munculnya buku-buku yang ‘melawan kemapanan paham’ dari Dr. Moeslim Abdurrahman. Mas Boy sendiri pernah menulis buku berjudul ‘Fiqh Jalan tengah’ atau Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan yang pernah menulis buku ‘Satu Tuhan seribu Tafsir’. Di situs JIL sendiri, saya pernah membaca wawancara Ulil Abshar dengan Sukidi Mulyadi (Kader Muhammadiyah dan aktifis JIMM) yang bila dibaca, mungkin saja akan menyebabkan pergolakan pemikiran.

Penjelasan-penjelasan tersebut, sekalipun logis, analitik dan ilmiah, tapi tidak bisa diterima banyak orang karena disatu sisi melawan pemahaman komunal yang sudah mapan dan indoktriner. Kyai Hasyim tidak menyalahkan “proses berfikirnya”. Hanya saja, sedikit mengevaluasi “cara penyampaian” yang terkadang frontal dan terbuka. Banyak yang belum siap menerima pemikiran yang menurut sebagian orang ekstrem tersebut.

Mendengar penjelasan itu, saya merasa lega. Sebagai sosok sepuh yang konsisten dalam membina kader-kader mudanya di PPUT (Progam Pendidikan Ulama Tarjih), Kyai Hasyim banyak memberikan ruang bagi anak-anak muda Muhammadiyah dalam mengembangkan kemampuan intelektualnya. Salah satu jebolan PPUT ini adalah Pradana Boy ZTF, Ali Muthohirin, Hasnan Bachtiar, dll. Untuk itu, saya pernah berseloroh, jika IMM Tamadun FAI bisa melahirkan kader-kader cemerlang bukan karena sistem komisariatnya yang bagus, melainkan karena sebelum masuk IMM, kader-kader tersebut sudah terlatih di PPUT.

Namun, pada tanggal 5 April 2014, sosok Kharismatik tersebut telah dipanggil oleh Allah Swt. Saya baru mendapat informasi ini malam hari, dan menurut informasi dimakamkan sekitar pukul 22.00. Saya sedih karena tidak bisa menghadiri pemakaman terakhir Mbah Hasyim. Saya menulis catatan ini di ruang tunggu bandara Juanda, sambil menanti pesawat mengantarkan saya ke Bandung pagi itu. Saya harus segera menuliskan ini, karena jika ditunda-tunda pasti rasanya berbeda.

Pertemuan singkat tersebut benar-benar memorable. Meskipun barangkali pertemuan selepas shalat Magrib tersebut adalah pertemuan pertama dan terakhir saya dengan Mbah Hasyim. Dan Mbah Hasyim sendiri, mungkin saja sudah lupa dengan saya. Tapi saya bersyukur bisa berbincang dengan beliau, dan menjadi makmum shalat Isya’ di Masjid PPUT tersebut. Pertemuan yang berlangsung tak lebih dari 45 menit tersebut akan selalu saya kenang, sekaligus menjadi pengingat jika di Muhammadiyah ada sosok sepuh yang Inspiratif seperti beliau. Selamat jalan Mbah Hasyim, semoga kami bisa meneladani perjuangan Panjenengan. Salam Takzim.

Juanda, 6 April 2014
A Fahrizal Aziz