Istilah ini saya dapatkan dari Kakanda Nurdiansyah,
senior saya di Komisariat pelopor yang sekarang menjadi Dosen Universitas
Muhammadiyah Sidoarjo. Saat mengikuti DAD sekitar 4 tahun yang lalu, ia
menjelaskan jika IMM seharusnya menjadi kampus kedua bagi kader-kadernya
setelah perkuliahan klasikal. Hal itulah yang kemudian saya sampaikan kepada
Falaq Fazarudin ketika ngopi bersama di Indomaret point Dinoyo hari
senin 5 mei 2014 malam itu.
Falaq, yang juga merupakan ketua umum komisariat Oxygen
Universitas Brawijaya tersebut, mengajak diskusi untuk menata budaya keilmuan
yang ada. Ia juga sedikit mengeluhkan kondisi komisariatnya yang sedikit
mengalami regresifitas gerakan atau manajerial. Saya memberikan sedikit
pandangan terkait itu, sebagai komisariat baru, keadaan semacam itu wajar-wajar
saja. Komisariat Oxygen baru berjalan dua tahun ini, dan dia adalah ketua
kedua.
IMM di Universitas Brawijaya awalnya hanya satu
komisariat. Pada tahun 2012, mereka mengembangkannya menjadi tiga ; Oxygen,
Acacia, dan Fuurikazan. Dari satu komisariat menjadi tiga, tentu butuh
penyesuaian dan itu bukan perkara mudah. Mulai dari penyesuaian dalam
manajemen, program kerja hingga budaya. Untuk yang ketiga ini, butuh waktu yang
tidak singkat.
Selain itu, ia juga menjelaskan kondisi birokrasi serta
sistem yang ada di fakultas tempat komisariatnya berdiri. Falaq membuat sebuah
analisis jika salah satu golden ways (jalan tengah) untuk keluar dari krisis
manajemen dan militansi kader ini adalah dengan penguatan budaya keilmuan,
karena inilah yang belum dimiliki oleh organisasi lain, dan itupula hal yang
paling dibutuhkan kader.
Untuk itu saya memberikan sebuah pendapat jika orientasi
IMM memang membentuk masyarakat berilmu, tidak ada patokan disiplin ilmu
tertentu yang harus dikuasahi kader sebagai indikator keberhasilan keilmuan.
Hanya saja, sesuai tujuan IMM “Mengusahakan terbentukanya akademisi muslim yang
berakhlak mulia” saya menilai makna akademisi itu kemudian dikembalikan ke
interdisipliner masing-masing.
Jika komisariat Oxygen yang membawahi Fakultas Pertanian
dan Agrokompleks, maka orientasi ‘akademisi muslim’ memang ditujukan ke arah
penguasahan materi perkuliahan yang di ampu. Untuk itu, IMM bisa berperan
sebagai kampus kedua, dalam artian, segala hal yang dibutuhkan mahasiswa, namun
tidak di dapatkan di perkuliahan, bisa menjadi program rekomendasi di internal
ikatan.
Misalkan, Mahasiswa Fakultas pertanian dan Agrokompleks
ternyata tidak mendapatkan mata kuliah filsafat, maka tak ada salahnya untuk
IMM mengambil peran tersebut. Banyak sekali rekomendasi program yang bisa
dibuat, namun tidak ada di perkuliahan. Misalkan bagaimana teknik membaca yang
efektif, teknik berbicara yang baik, serta pengayaan wacana sosial yang mungkin
jarang dikaji di perkuliahan. Hal lain misalkan masalah keagamaan, namun
sepertinya, para kader IMM Oxygen sudah mumpuni dalam hal tersebut.
Maka disitulah fungsi IMM sebagai kampus kedua. Sehingga,
IMM tidak kemudian menjadi ‘beban tambahan’ setelah perkuliahan, melainkan
sebagai partner yang mendukung perkuliahan. Dan mahasiswa yang ikut IMM dengan
tidak ikut IMM, akan memiliki perbedaan yang signifikan. IMM akhirnya akan
memberikan manfaat bagi kader-kader dan juga kampus dimana ia berada.
Dalam perbincangan tersebut, turut hadir pula dua kader
baru Komisariat Oxygent, yaitu Farid dan Adhim. Mereka masih semester dua.
Namun melihat semangatnya, mereka bukan lagi kader biasa, sudah ada benih
militansi yang tinggi. Farid kemungkinan akan menggantikan Ani sebagai kabid
RPK (Riset dan Pengembangan Keilmuan) di Komisariat Oxygent. Beberapa waktu
yang lalu saya sempat menghubungi Ani via sms, dan ia bercerita banyak hal.
Sebenarnya ia juga ingin melakukan banyak hal di IMM,
tetapi karena kesibukan, maka harapannya pun pupus. Padahal menurut saya Ani
adalah kader yang brilian, ia berulang kali mengikuti event nasional bahkan
internasional, terutama yang berkaitan dengan Research. Sangat disayangkan ia
tidak bisa lagi berproses di IMM.
Namun Farid sepertinya mampu mengisi kekosongan di bidang
RPK, meskipun ia masih semester dua, namun kemampuan berkomunikasi dan
orientasi jangka panjangnya terhadap IMM begitu baik. Ia juga aktif di EM
(Eksekutif Mahasiswa) Universitas Brawijaya. Ditambah Adhim yang sepertinya
juga butuh sedikit sentuhan ‘kenyamanan’ untuk menunjukkan eksistensinya di
IMM.
Related Article
Melihat kondisi yang ada, maka saya membuat sebuah
analisis jika yang pertama dibutuhkan bukanlah kegiatan-kegiatan formal.
Melainkan kekuatan kultural. Saya menyarankan, sebelum dibuat silabus kajian
keilmuan, hal yang mendasar adalah merekatkan dahulu kader-kadernya. Salah satu
caranya adalah dengan silaturahim keilmuan ke beberapa tokoh dengan mengajak
kader-kader yang sekiranya bisa menjadi penerus tongkat estafet kepemimpinan,
terutama dalam upaya penguatan budaya keilmuan.
Saya menyarankan untuk silaturahim ke beberapa tokoh,
awalnya saya menyarankan untuk silaturahim ke rumah Prof. Imam Suprayogo. Namun
mereka berinisiatif untuk melakukan silaturahim ke rumah Mas Pradana Boy yang
baru lulus Ph.D dari NUS (National University of Singapore) itu sebagai wujud
penguatan jati diri ke-IMM-an sekaligus memotivasi para kader yang menurut
Falaq sudah agak loyo militansinya.
Dalam situasi komisariat yang seperti itu, dibutuhkan
orang ketiga yang bisa memberikan ‘angin segar’ serta motivasi untuk ber-IMM
kembali. Apalagi untuk menggerakkan budaya keilmuan, maka sosok Mas Boy sangat
representatif. Saya turut berdoa agar atmosfer ber-IMM di Komisariat Oxygent
segera pulih kembali dan budaya keilmuan yang dicita-citakan Falaq selaku ketua
umum, bisa berjalan dengan maksimal. Saya pribadi, akan membantu sejauh yang
bisa saya lakukan.
Selamat berproses. Fastabiqul Khairot.
Malang, 5 mei 2014
A Fahrizal Aziz