loading...

Jumat, 01 Mei 2015

IMM Kampus kedua



Istilah ini saya dapatkan dari Kakanda Nurdiansyah, senior saya di Komisariat pelopor yang sekarang menjadi Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Saat mengikuti DAD sekitar 4 tahun yang lalu, ia menjelaskan jika IMM seharusnya menjadi kampus kedua bagi kader-kadernya setelah perkuliahan klasikal. Hal itulah yang kemudian saya sampaikan kepada Falaq Fazarudin ketika ngopi bersama di Indomaret point Dinoyo hari senin 5 mei 2014 malam itu.


Falaq, yang juga merupakan ketua umum komisariat Oxygen Universitas Brawijaya tersebut, mengajak diskusi untuk menata budaya keilmuan yang ada. Ia juga sedikit mengeluhkan kondisi komisariatnya yang sedikit mengalami regresifitas gerakan atau manajerial. Saya memberikan sedikit pandangan terkait itu, sebagai komisariat baru, keadaan semacam itu wajar-wajar saja. Komisariat Oxygen baru berjalan dua tahun ini, dan dia adalah ketua kedua.

IMM di Universitas Brawijaya awalnya hanya satu komisariat. Pada tahun 2012, mereka mengembangkannya menjadi tiga ; Oxygen, Acacia, dan Fuurikazan. Dari satu komisariat menjadi tiga, tentu butuh penyesuaian dan itu bukan perkara mudah. Mulai dari penyesuaian dalam manajemen, program kerja hingga budaya. Untuk yang ketiga ini, butuh waktu yang tidak singkat.

Selain itu, ia juga menjelaskan kondisi birokrasi serta sistem yang ada di fakultas tempat komisariatnya berdiri. Falaq membuat sebuah analisis jika salah satu golden ways (jalan tengah) untuk keluar dari krisis manajemen dan militansi kader ini adalah dengan penguatan budaya keilmuan, karena inilah yang belum dimiliki oleh organisasi lain, dan itupula hal yang paling dibutuhkan kader.

Untuk itu saya memberikan sebuah pendapat jika orientasi IMM memang membentuk masyarakat berilmu, tidak ada patokan disiplin ilmu tertentu yang harus dikuasahi kader sebagai indikator keberhasilan keilmuan. Hanya saja, sesuai tujuan IMM “Mengusahakan terbentukanya akademisi muslim yang berakhlak mulia” saya menilai makna akademisi itu kemudian dikembalikan ke interdisipliner masing-masing.

Jika komisariat Oxygen yang membawahi Fakultas Pertanian dan Agrokompleks, maka orientasi ‘akademisi muslim’ memang ditujukan ke arah penguasahan materi perkuliahan yang di ampu. Untuk itu, IMM bisa berperan sebagai kampus kedua, dalam artian, segala hal yang dibutuhkan mahasiswa, namun tidak di dapatkan di perkuliahan, bisa menjadi program rekomendasi di internal ikatan.

Misalkan, Mahasiswa Fakultas pertanian dan Agrokompleks ternyata tidak mendapatkan mata kuliah filsafat, maka tak ada salahnya untuk IMM mengambil peran tersebut. Banyak sekali rekomendasi program yang bisa dibuat, namun tidak ada di perkuliahan. Misalkan bagaimana teknik membaca yang efektif, teknik berbicara yang baik, serta pengayaan wacana sosial yang mungkin jarang dikaji di perkuliahan. Hal lain misalkan masalah keagamaan, namun sepertinya, para kader IMM Oxygen sudah mumpuni dalam hal tersebut.

Maka disitulah fungsi IMM sebagai kampus kedua. Sehingga, IMM tidak kemudian menjadi ‘beban tambahan’ setelah perkuliahan, melainkan sebagai partner yang mendukung perkuliahan. Dan mahasiswa yang ikut IMM dengan tidak ikut IMM, akan memiliki perbedaan yang signifikan. IMM akhirnya akan memberikan manfaat bagi kader-kader dan juga kampus dimana ia berada.

Dalam perbincangan tersebut, turut hadir pula dua kader baru Komisariat Oxygent, yaitu Farid dan Adhim. Mereka masih semester dua. Namun melihat semangatnya, mereka bukan lagi kader biasa, sudah ada benih militansi yang tinggi. Farid kemungkinan akan menggantikan Ani sebagai kabid RPK (Riset dan Pengembangan Keilmuan) di Komisariat Oxygent. Beberapa waktu yang lalu saya sempat menghubungi Ani via sms, dan ia bercerita banyak hal.

Sebenarnya ia juga ingin melakukan banyak hal di IMM, tetapi karena kesibukan, maka harapannya pun pupus. Padahal menurut saya Ani adalah kader yang brilian, ia berulang kali mengikuti event nasional bahkan internasional, terutama yang berkaitan dengan Research. Sangat disayangkan ia tidak bisa lagi berproses di IMM.

Namun Farid sepertinya mampu mengisi kekosongan di bidang RPK, meskipun ia masih semester dua, namun kemampuan berkomunikasi dan orientasi jangka panjangnya terhadap IMM begitu baik. Ia juga aktif di EM (Eksekutif Mahasiswa) Universitas Brawijaya. Ditambah Adhim yang sepertinya juga butuh sedikit sentuhan ‘kenyamanan’ untuk menunjukkan eksistensinya di IMM.

Melihat kondisi yang ada, maka saya membuat sebuah analisis jika yang pertama dibutuhkan bukanlah kegiatan-kegiatan formal. Melainkan kekuatan kultural. Saya menyarankan, sebelum dibuat silabus kajian keilmuan, hal yang mendasar adalah merekatkan dahulu kader-kadernya. Salah satu caranya adalah dengan silaturahim keilmuan ke beberapa tokoh dengan mengajak kader-kader yang sekiranya bisa menjadi penerus tongkat estafet kepemimpinan, terutama dalam upaya penguatan budaya keilmuan.

Saya menyarankan untuk silaturahim ke beberapa tokoh, awalnya saya menyarankan untuk silaturahim ke rumah Prof. Imam Suprayogo. Namun mereka berinisiatif untuk melakukan silaturahim ke rumah Mas Pradana Boy yang baru lulus Ph.D dari NUS (National University of Singapore) itu sebagai wujud penguatan jati diri ke-IMM-an sekaligus memotivasi para kader yang menurut Falaq sudah agak loyo militansinya.

Dalam situasi komisariat yang seperti itu, dibutuhkan orang ketiga yang bisa memberikan ‘angin segar’ serta motivasi untuk ber-IMM kembali. Apalagi untuk menggerakkan budaya keilmuan, maka sosok Mas Boy sangat representatif. Saya turut berdoa agar atmosfer ber-IMM di Komisariat Oxygent segera pulih kembali dan budaya keilmuan yang dicita-citakan Falaq selaku ketua umum, bisa berjalan dengan maksimal. Saya pribadi, akan membantu sejauh yang bisa saya lakukan.

Selamat berproses. Fastabiqul Khairot.

Malang, 5 mei 2014
A Fahrizal Aziz