Saya termasuk yang “gagal” dalam proses perkaderan kultural. Meski
sempat mendapatkan amanah sebagai ketua korps instrusktur PC IMM Malang 2011.
Saya menjadi ketua korps instruktur pada semester V. Bertepatan dengan amanah
lain sebagai kabid Litbang di HMJ, Kabid Keilmuan di Komisariat, sekum FLP UIN
Malang dan Wartawan Majalah Suara Akademika. Energi saya terforsir ke banyak
hal. Belum lagi pekerjaan saya sebagai content writer, yang mengharuskan
saya standby antara jam 4 hingga 8 pagi di depan laptop atau komputer warnet.
Kala itulah, saya menyadari kurangnya waktu saya sebagai instruktur dan
menjalankan proses perkaderan kultural seperti ngopi bareng, berkunjung ke kos
atau kontrakan kader, dan beberapa agenda kultural lainnya. Saya lebih banyak
terlihat di forum-forum formal. Jarang juga berkunjung ke komisariat, atau ikut
kumpul-kumpul santai dengan kader IMM. Akhirnya, intensitas kedekatan saya
dengan kader menjadi kurang maksimal.
Saya menyadari betul keterbatasan saya sebagai “instruktur kultural”. Bahkan
sempat ada kader yang nyeletuk “kapan ya saya bisa ketemu mas Fahri secara
riil?”. Seolah-olah saya ini mahluk astral yang nir-eksistensi. Hehe, untuk
itu forum jejaring sosial ini, saya manfaatkan sebaik mungkin untuk berbagai
banyak hal. Meskipun itu tak pernah cukup. Tak pernah bisa menggantikan
perjumpaan secara riil.
Untuk itu, setiap ada undangan kajian atau event IMM dan kebetulan
mengundang saya, maka sebisa mungkin saya datang. Hitung-hitung menebus
minimnya partisipasi saya dalam acara-acara kultural. Misalkan seperti sekolah
Immawati selasa (23/12) yang lalu, yang membahas soal gender. Saya rela datang
meski jauh-jauh dari Blitar dan malamnya saya harus kembali lagi ke Blitar
karena esoknya harus mengantarkan adik keponakan ke mantri untuk khitan.
Tapi overl all, kelemahan terbesar saya sebagi pimpinan IMM
sekaligus instruktur, adalah soal perkaderan kultural. Saya mungkin bisa
merancang konsep acara formal, semisal DAD dan LID. Bahkan saya bisa merancang
konsep-konsep itu hanya dalam waktu semalam. Gampang. Tapi saya tak begitu
punya kemampuan untuk melakukan perkaderan kultural, membangun kedekatan
emosional dengan kader. Jiwa introvet saya kerap kali lebih dominan.
Maka saya menulis ini sebagai sebuah pelajaran penting. Ketika menjadi pengurus
komisariat, peran-peran kultural tersebut jarang bisa saya artikulasikan.
Untung saja, ada trio lebay (Ita, Nia, Fia) yang bisa memainkan peran kultural
tersebut. Ketika masih menjad sekbid, ada Cak Surya yang memainkan peran
kultural. Selain mereka, ada Farih dan Robi yang juga lebih banyak melakukan
pendekatan kultural. Farih bahkan bisa memainkan peran kultural dan formal
dengan baik.
Gagalnya perkaderan kultural, akan berdampak serius pada Ikatan. Hal-hal
formal kadang hanya sekedar kosmetik dan siklus momentual. Basis kekuatan IMM
justru lebih banyak bergerak di level kultural. Contohnya, kita bisa saja
membuat 100 agenda formal, diskusi, kajian, dll. Tapi akan nir-eksistensi
ketika gagal membangun pendekatan kultural. Acara semisal ngopi bareng,
jalan-jalan, rujak’an, nonton bareng memang bukan agenda formal, tapi itulah
yang secara nyata menjadi pengikat, pengerat jalinan formal-struktural.
Tetapi keduanya harus berjalan seimbang. Karena kalau basis pendekatan
kultural terlalu dominan, akan timbul distrosi hubungan. Kedekatan yang
dibangun mungkin akan salah tafsir, dan justru itu lebih mengkhawatirkan.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
A Fahrizal Aziz,
Domisioner IMM UIN Malang.