loading...

Jumat, 01 Mei 2015

Pentingnya pendekatan kultural di Ikatan



Saya termasuk yang “gagal” dalam proses perkaderan kultural. Meski sempat mendapatkan amanah sebagai ketua korps instrusktur PC IMM Malang 2011. Saya menjadi ketua korps instruktur pada semester V. Bertepatan dengan amanah lain sebagai kabid Litbang di HMJ, Kabid Keilmuan di Komisariat, sekum FLP UIN Malang dan Wartawan Majalah Suara Akademika. Energi saya terforsir ke banyak hal. Belum lagi pekerjaan saya sebagai content writer, yang mengharuskan saya standby antara jam 4 hingga 8 pagi di depan laptop atau komputer warnet.


Kala itulah, saya menyadari kurangnya waktu saya sebagai instruktur dan menjalankan proses perkaderan kultural seperti ngopi bareng, berkunjung ke kos atau kontrakan kader, dan beberapa agenda kultural lainnya. Saya lebih banyak terlihat di forum-forum formal. Jarang juga berkunjung ke komisariat, atau ikut kumpul-kumpul santai dengan kader IMM. Akhirnya, intensitas kedekatan saya dengan kader menjadi kurang maksimal.

Saya menyadari betul keterbatasan saya sebagai “instruktur kultural”. Bahkan sempat ada kader yang nyeletuk “kapan ya saya bisa ketemu mas Fahri secara riil?”. Seolah-olah saya ini mahluk astral yang nir-eksistensi. Hehe, untuk itu forum jejaring sosial ini, saya manfaatkan sebaik mungkin untuk berbagai banyak hal. Meskipun itu tak pernah cukup. Tak pernah bisa menggantikan perjumpaan secara riil.

Untuk itu, setiap ada undangan kajian atau event IMM dan kebetulan mengundang saya, maka sebisa mungkin saya datang. Hitung-hitung menebus minimnya partisipasi saya dalam acara-acara kultural. Misalkan seperti sekolah Immawati selasa (23/12) yang lalu, yang membahas soal gender. Saya rela datang meski jauh-jauh dari Blitar dan malamnya saya harus kembali lagi ke Blitar karena esoknya harus mengantarkan adik keponakan ke mantri untuk khitan.

Tapi overl all, kelemahan terbesar saya sebagi pimpinan IMM sekaligus instruktur, adalah soal perkaderan kultural. Saya mungkin bisa merancang konsep acara formal, semisal DAD dan LID. Bahkan saya bisa merancang konsep-konsep itu hanya dalam waktu semalam. Gampang. Tapi saya tak begitu punya kemampuan untuk melakukan perkaderan kultural, membangun kedekatan emosional dengan kader. Jiwa introvet saya kerap kali lebih dominan.

Maka saya menulis ini sebagai sebuah pelajaran penting. Ketika menjadi pengurus komisariat, peran-peran kultural tersebut jarang bisa saya artikulasikan. Untung saja, ada trio lebay (Ita, Nia, Fia) yang bisa memainkan peran kultural tersebut. Ketika masih menjad sekbid, ada Cak Surya yang memainkan peran kultural. Selain mereka, ada Farih dan Robi yang juga lebih banyak melakukan pendekatan kultural. Farih bahkan bisa memainkan peran kultural dan formal dengan baik.

Gagalnya perkaderan kultural, akan berdampak serius pada Ikatan. Hal-hal formal kadang hanya sekedar kosmetik dan siklus momentual. Basis kekuatan IMM justru lebih banyak bergerak di level kultural. Contohnya, kita bisa saja membuat 100 agenda formal, diskusi, kajian, dll. Tapi akan nir-eksistensi ketika gagal membangun pendekatan kultural. Acara semisal ngopi bareng, jalan-jalan, rujak’an, nonton bareng memang bukan agenda formal, tapi itulah yang secara nyata menjadi pengikat, pengerat jalinan formal-struktural.

Tetapi keduanya harus berjalan seimbang. Karena kalau basis pendekatan kultural terlalu dominan, akan timbul distrosi hubungan. Kedekatan yang dibangun mungkin akan salah tafsir, dan justru itu lebih mengkhawatirkan.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

A Fahrizal Aziz,
Domisioner IMM UIN Malang.