loading...

Jumat, 01 Mei 2015

Falsafah Matahari (Pesan untuk para ketua komisariat)



Di pertengahan tahun 2009, sembari menanti pengumuman SNMPTN, saya memanfaatkan waktu senggang untuk ikut kelas menulis di Villa Hidayatullah Songgoriti-Batu. Tempatnya indah, sejuk, dan sangat meditatif. Ketika malam datang, rasanya tak ingin lekas tidur. Saya ingin terus memandangi kota batu dari atas, menikmati lampu kota yang kerlap-kerlip dan hawa dingin yang menusuk. Berada di Villa ini, serasa ada di Bukit Moko Bandung.


Salah satu pembicara dalam acara itu adalah Pak Haikal Hira Habibullah, penulis Novel “Sebab Mekarmu hanya sekali”. Novel yang pernah membuat saya terhanyut dalam perenungan panjang. Dari judulnya –sebelum beranjak ke isi—saya menemukan makna tentang Falsafah Matahari yang bermula dari Fajar dan berakhir dengan Petang/sunset. Novel itu menjelaskan tentang masa remaja yang hanya dilalui sekali dalam seumur hidup, dan masa remaja itulah suatu moment dimana seseorang menemukan jati diri (mekar) seperti halnya bunga.

Namun kehidupan ini berisi seperangkat rangkaian besar yang di dalamnya ada rangkaian lain yang lebih kecil. Diantara lahir dan mati, ada beberapa rangkaian waktu lainnya. Rangkaian waktu yang kita bagi dalam beberapa masa : masa SD, SMP, SMA, Kuliah atau masa-masa informal seperti masa di organisasi A, B, C, dll. Masa ketika berhubungan dengan si A, B, C, dll. Masa ketika masih hidup dengan orang A, B, C, dll. Diantara pecahan-pecahan masa itu, ada saat dimana kita berada di satu puncak bernama “mekar” dan itulah yang kadang menjadi suatu yang sangat terkenang.

Karena itulah, sebuah karya monumental, kadang tak bisa di raih dalam waktu singkat. Misalkan gelar Sarjana. Secara formal, mungkin hanya beberapa lembar kertas. Namun untuk bisa meraih gelar itu, kita harus melalui beberapa masa di sekolah formal. Untuk gelar Sarjana, kita butuh waktu 16 tahun bahkan lebih, mulai dari SD hingga s1. Sebuah perjalanan yang teramat panjang, karena karya monumental biasanya gabungan dari karya-karya kecil yang pernah kita buat dan membentuk suatu akumulasi yang tak semua orang bisa melakukannya.

Terlepas dari aturan yang mengikat, apa yang kita lakukan itu hanyalah sebagai upaya “mencari arti” dalam kehidupan ini. Kita lahir tak berdaya, mulai belajar merangkak, berjalan, berbicara, menghitung dan merenung. Kita sekolah, kuliah, aktif di organisasi, Komunitas, ikut kursus, ikut kompetisi, dan lain sebagainya itu adalah suatu bentuk kecil untuk memahami hal-hal yang belum kita pahami, mencari sesuatu yang belum kita dapat, atau membagikan sesuatu yang sudah kita miliki.

Seperti halnya di IMM, ada masa dimana kita menjadi fajar, pagi, terik, senja, petang dan akhirnya sunset. Ketika menjadi kader baru, kita berada di masa Fajar. Masa dimana segalanya masih terlihat indah dan teduh. Namun Fajar tak selamanya Fajar, seiring waktu Matahari akan beranjak naik dan perlahan tapi pasti ia akan menjadi terik.

Dalam suasana terik, kadang nuansa menjadi gerah, panas, haus, lapar dan lelah. Bahkan, seringkali kita melihat fatamorgana yang seolah-olah hendak membakar dan menghabisi kita. Meski setelah mendekat, ia akan bias bersama angin. Inilah masa dimana seorang kader mulai menjadi pengurus, pendamping, pimpinan atau bahkan ketua komisariat. Namun jabatan ketua komisariat hanya satu. Masa paling sulit dan bisa jadi paling terkenang, karena inilah masa “mekar” kita sebagai kader IMM.

Sekarang, sebagai kader IMM UIN Malang, saya telah sunset. Meski beberapa masih melalui masa senja-nya, sebagian lain sudah sunset jauh-jauh hari karena berbagai alasan. Saya tidak tahu, apakah selama menjadi kader IMM, Mulai dari Fajar hingga Petang, saya sudah pernah “menjadi mekar”. Namun selama ini, saya mencoba mencapai itu. Hal yang dulu juga saya lakukan di beberapa organisasi lainnya, di Jurnalistik Sekolah, di FLP, di HMJ PGMI, dan di tempat lain.

Kala itu saya berkeyakinan, keberadaan di organisasi itu, adalah bagian integral dari satu rangkaian besar bernama kehidupan, dari mulai lahir hingga mati nanti. Keberadaan saya disana, adalah sebuah wujud “mencari arti” dan kita tak pernah tahu, dimanakah kita mampu “menemukan arti” tersebut. Tapi yang saya syukuri, kita masih bisa menulis sendiri cerita hidup kita, meski ada beberapa yang tak sesuai rencana. Tapi betapa bahagianya ketika kita mampu melalukan sesuatu yang berarti, di banyak tempat, di banyak masa yang kita lalui.

Saya menulis ini khusus untuk teman-teman Komisariat, Pelopor-Revivalis-Reformer. Khususnya periode 2014-2015, yang akan menjalankan sebuah estafet kepengurusan. Bisa jadi (bisa juga tidak) ini adalah masa-masa dimana kalian akan “mekar”. Menemukan titik paling bersemangat dalam ikatan atau barangkali titik paling pesimistik dan ada bisikan-bisikan untuk menyerah. Keduanya, sangat dibutuhkan dalam proses “mekar” tersebut.

Semoga saja, keaktifan kita di IMM ini, akan menggenapi beberapa rangkaian kecil dalam rangkaian besar kehidupan kita. Karena sebagaimana pepatah berbunyi, manusia pergi meninggalkan jejak. Jejak yang hanya sebatas petilasan nisan, atau jejak monumental berupa karya dan sikap-sikap heroistik. Mungkin melalui IMM ini, Tuhan tengah memberikan kita kesempatan untuk MEMBUAT JEJAK-JEJAK monumental.

Dan tak ada salahnya untuk mulai “berbuat sesuatu, memberi arti, dan berbagi” SEBAB mekarmu hanya sekali di IMM. Setelah selesai kepengurusan, kita tengah berada di level senja, setelah itu sunset. Kecuali, jika masih ingin meneruskan masa baktinya di level yang lebih tinggi semisal Cabang, DPD, bahkan DPP.

Salam Khidmat, Fastabiqul Khoirot.

8 Agustus 2014
A Fahrizal Aziz