Di pertengahan tahun 2009, sembari menanti pengumuman
SNMPTN, saya memanfaatkan waktu senggang untuk ikut kelas menulis di Villa
Hidayatullah Songgoriti-Batu. Tempatnya indah, sejuk, dan sangat meditatif.
Ketika malam datang, rasanya tak ingin lekas tidur. Saya ingin terus memandangi
kota batu dari atas, menikmati lampu kota yang kerlap-kerlip dan hawa dingin
yang menusuk. Berada di Villa ini, serasa ada di Bukit Moko Bandung.
Salah satu pembicara dalam acara itu adalah Pak Haikal
Hira Habibullah, penulis Novel “Sebab Mekarmu hanya sekali”. Novel yang pernah
membuat saya terhanyut dalam perenungan panjang. Dari judulnya –sebelum
beranjak ke isi—saya menemukan makna tentang Falsafah Matahari yang bermula
dari Fajar dan berakhir dengan Petang/sunset. Novel itu menjelaskan tentang
masa remaja yang hanya dilalui sekali dalam seumur hidup, dan masa remaja
itulah suatu moment dimana seseorang menemukan jati diri (mekar) seperti halnya
bunga.
Namun kehidupan ini berisi seperangkat rangkaian besar
yang di dalamnya ada rangkaian lain yang lebih kecil. Diantara lahir dan mati,
ada beberapa rangkaian waktu lainnya. Rangkaian waktu yang kita bagi dalam
beberapa masa : masa SD, SMP, SMA, Kuliah atau masa-masa informal seperti masa
di organisasi A, B, C, dll. Masa ketika berhubungan dengan si A, B, C, dll.
Masa ketika masih hidup dengan orang A, B, C, dll. Diantara pecahan-pecahan
masa itu, ada saat dimana kita berada di satu puncak bernama “mekar” dan itulah
yang kadang menjadi suatu yang sangat terkenang.
Karena itulah, sebuah karya monumental, kadang tak bisa
di raih dalam waktu singkat. Misalkan gelar Sarjana. Secara formal, mungkin
hanya beberapa lembar kertas. Namun untuk bisa meraih gelar itu, kita harus
melalui beberapa masa di sekolah formal. Untuk gelar Sarjana, kita butuh waktu
16 tahun bahkan lebih, mulai dari SD hingga s1. Sebuah perjalanan yang teramat
panjang, karena karya monumental biasanya gabungan dari karya-karya kecil yang
pernah kita buat dan membentuk suatu akumulasi yang tak semua orang bisa
melakukannya.
Terlepas dari aturan yang mengikat, apa yang kita lakukan
itu hanyalah sebagai upaya “mencari arti” dalam kehidupan ini. Kita lahir tak
berdaya, mulai belajar merangkak, berjalan, berbicara, menghitung dan merenung.
Kita sekolah, kuliah, aktif di organisasi, Komunitas, ikut kursus, ikut
kompetisi, dan lain sebagainya itu adalah suatu bentuk kecil untuk memahami
hal-hal yang belum kita pahami, mencari sesuatu yang belum kita dapat, atau
membagikan sesuatu yang sudah kita miliki.
Seperti halnya di IMM, ada masa dimana kita menjadi
fajar, pagi, terik, senja, petang dan akhirnya sunset. Ketika menjadi kader
baru, kita berada di masa Fajar. Masa dimana segalanya masih terlihat indah dan
teduh. Namun Fajar tak selamanya Fajar, seiring waktu Matahari akan beranjak
naik dan perlahan tapi pasti ia akan menjadi terik.
Dalam suasana terik, kadang nuansa menjadi gerah, panas,
haus, lapar dan lelah. Bahkan, seringkali kita melihat fatamorgana yang
seolah-olah hendak membakar dan menghabisi kita. Meski setelah mendekat, ia
akan bias bersama angin. Inilah masa dimana seorang kader mulai menjadi
pengurus, pendamping, pimpinan atau bahkan ketua komisariat. Namun jabatan
ketua komisariat hanya satu. Masa paling sulit dan bisa jadi paling terkenang,
karena inilah masa “mekar” kita sebagai kader IMM.
Sekarang, sebagai kader IMM UIN Malang, saya telah
sunset. Meski beberapa masih melalui masa senja-nya, sebagian lain sudah sunset
jauh-jauh hari karena berbagai alasan. Saya tidak tahu, apakah selama menjadi
kader IMM, Mulai dari Fajar hingga Petang, saya sudah pernah “menjadi mekar”.
Namun selama ini, saya mencoba mencapai itu. Hal yang dulu juga saya lakukan di
beberapa organisasi lainnya, di Jurnalistik Sekolah, di FLP, di HMJ PGMI, dan
di tempat lain.
Kala itu saya berkeyakinan, keberadaan di organisasi itu,
adalah bagian integral dari satu rangkaian besar bernama kehidupan, dari mulai
lahir hingga mati nanti. Keberadaan saya disana, adalah sebuah wujud “mencari
arti” dan kita tak pernah tahu, dimanakah kita mampu “menemukan arti” tersebut.
Tapi yang saya syukuri, kita masih bisa menulis sendiri cerita hidup kita,
meski ada beberapa yang tak sesuai rencana. Tapi betapa bahagianya ketika kita
mampu melalukan sesuatu yang berarti, di banyak tempat, di banyak masa yang
kita lalui.
Saya menulis ini khusus untuk teman-teman Komisariat,
Pelopor-Revivalis-Reformer. Khususnya periode 2014-2015, yang akan menjalankan
sebuah estafet kepengurusan. Bisa jadi (bisa juga tidak) ini adalah masa-masa
dimana kalian akan “mekar”. Menemukan titik paling bersemangat dalam ikatan
atau barangkali titik paling pesimistik dan ada bisikan-bisikan untuk menyerah.
Keduanya, sangat dibutuhkan dalam proses “mekar” tersebut.
Semoga saja, keaktifan kita di IMM ini, akan menggenapi
beberapa rangkaian kecil dalam rangkaian besar kehidupan kita. Karena
sebagaimana pepatah berbunyi, manusia pergi meninggalkan jejak. Jejak yang
hanya sebatas petilasan nisan, atau jejak monumental berupa karya dan
sikap-sikap heroistik. Mungkin melalui IMM ini, Tuhan tengah memberikan kita
kesempatan untuk MEMBUAT JEJAK-JEJAK monumental.
Dan tak ada salahnya untuk mulai “berbuat sesuatu,
memberi arti, dan berbagi” SEBAB mekarmu hanya sekali di IMM. Setelah selesai
kepengurusan, kita tengah berada di level senja, setelah itu sunset. Kecuali,
jika masih ingin meneruskan masa baktinya di level yang lebih tinggi semisal
Cabang, DPD, bahkan DPP.
Salam Khidmat, Fastabiqul Khoirot.
8 Agustus 2014
A Fahrizal Aziz