loading...

Jumat, 01 Mei 2015

IMM di mata Pak rektor (kala itu)



Sejak posisi rektor dijabat Prof. Imam Suprayogo, saya sudah tiga kali keluar masuk ruangannya yang mewah. Dua kali untuk wawancara, dan satu kali untuk mengantarkan surat permohonan menjadi pembanding bedah buku Prof. Abdul Munir Mulkhan yang dulu digagas Korkom ketika ketuanya Mas Rasikh Adila. Satu acara lagi adalah ketika mengisi stadium general workshop penelitian PC IMM Malang. Dalam kesempatan itu, ada banyak sekali perbincangan seputar kampus dan tentu saja IMM.


Seperti biasa, Prof. Imam adalah sosok yang sangat terbuka dan ramah. Jika duduk dengan beliau, maka tak akan kehabisan topik perbincangan. Kalau pun kita diam, paling tidak Pak Imam akan bercerita banyak hal. Seperti waktu saya mengantarkan surat permohonan itu ke dalam kantornya. Saat itu saya sendirian, dan beliau juga sedang sendiri di kantornya yang megah itu sambil menandatangani beberapa berkas. Harusnya, untuk rektor, prosedurnya adalah melalu sekretarisnya yang kala itu dijabat Pak Mujtahid dan Pak Sutaman. Namun kala itu saya disuruh masuk ke dalam ruangannya langsung.

Pak Imam menceritakan banyak hal seputar pengalamannya dulu ketika menjadi pejabat UMM. Mulai dari susahnya membesarkan kampus hingga bercerita seputar IMM di UMM “..Kalau IMM kan ciri khasnya dakwah kan, beda dengan HMI yang memang ke politik. Makanya IMM selalu kalah kalau Politik ..” ucap Pak Imam dengan nada khasnya. Beliau pun juga menjelaskan, jika IMM ingin ikut merebut jabatan di BEM itu susah, karena PMII jumlahnya banyak.

Saya hanya mengangguk pelan. Agak lucu juga sebenarnya, seorang rektor bercerita blak-blakan seputar politik mahasiswa, kepada mahasiswa yang notabene juga aktivis OMEK. “..untuk itu, lebih baik IMM fokus sama dakwah saja, fokus pada gerakan intelektual, gerakan pemikiran. Ndak usah ikut-ikutan rebutan jabatan atau demo-demo yang ndak perlu ..” pesannya lagi. Saya hanya tersenyum, sembari menyerahkan buku berjudul Demokrasi dan terorisme karangan Prof. Munir Mulkhan yang akan di bedah oleh beliau. Pak Imam membolak balik buku itu, mengamati dengan seksama.

“Kok Pak Munir ndak cerita ke saya kalau dia baru nulis buku ya,” ucapnya sambil membuka bagian demi bagian buku “..Pak Munir ini selalu begini, bukunya berat-berat, ndak semua orang paham ..,” lanjutnya diselingi tawa khas yang jenaka. Lalu saya menjelaskan kalau Pak Munir sendiri lah yang meminta beliau untuk menjadi pembedah. (Saya tidak tahu benar atau tidak, tapi kata Mas Habibie Pak Munir bicara demikian kala itu. Saya niru aja. hehe).

Lalu topik pun beralih ke internal IMM. Pak Imam bertanya jumlah kader IMM UIN Malang, saya pun menjawabnya “..Lumayan Prof, lebih dari 50 kader baru jika digabungkan tiga komisariat..” lalu Pak Imam pun bertanya tentang kondisi kadernya, bagaimana diskusi-diskusinya dan bagaimana menulisnya. Seperti biasa, kalau sudah berbicara masalah menulis, Pak Imam pun menceritakan kebiasaannya menulis selama empat tahun tanpa jeda (kala itu, di bulan-bulan awal tahun 2012). Pak Imam pun juga bercerita seputar HMI dan beberapa hal yang saya tak berani menuliskannya disini.

“..IMM sejauh ini bagus, tapi kok jarang terlihat? Saya kira sudah ndak ada, hehe,” seloroh Pak Imam sambil mengeluarkan bercandaan yang sebenarnya menyindir. Dalam ilmu Majas, itu masuk Majas Ironi. Majas Ironi adalah Majas sindiran, seperti memberikan pujian yang bertolak belakang dengan fakta. Seperti kalimat diatas IMM Bagus tapi kok jarang terlihat?. Karena sebelumnya, Pak Imam pun menjelaskan jika di Muhammadiyah itu banyak orang-orang hebat. Anak-anak muda Muhammadiyah harusnya juga hebat-hebat.

“..Pak Munir ini kan filosofnya Muhammadiyah,” jelas Pak Imam lagi dengan nada serius. Lalu Pak Imam pun menjelaskan kalau ada anak-anak OMEK (tidak saya sebut merk), sering menemui beliau, kalau bertemu agendanya pasti kalau ndak minta dana pasti protes. “...Ada juga anak OMEK itu kalau bertemu saya cuma minta dana, saya kasih, tapi setelah itu ndemo saya ..” kenangnya.

Akhirnya Pak Imam pun memberikan saran, dengan bahasa jawa bercampur Indonesia, kira-kira begini yang saya ingat. “..mbok yo anak IMM itu nampak lah, tapi bukan nampak lalu rebutan kekuasaan atau demo, tapi nampaknya di gerakan intelektual, gerakan pemikiran. Berapa buku yang diterbitkan, berapa jumlah penelitian yang dihasilkan, kalau gitu kan anak-anak IMM nanti bisa pinter..”

“.. kalau lalu anak IMM ikut demo terus ikut-ikutan rebutan jabatan. Ya ndak ada bedanya IMM sama bukan IMM. Harusnya anak IMM tu Kayak itu tu yang pinter bahasa arab ... siapa itu ... nah, sama yang skripsi tiga bahasa itu. kalau begitu kan bangga kader-kader IMM,” lanjut Pak Imam. Mungkin dua nama itu merujuk ke Ust. Umar Al Faruq dan Ust. Muklis Fuadi (Muchad).

Saya hanya tertawa mendengarnya. Bukan bermaksud membenarkan. Tapi memang saya pribadi tak terlalu sepakat jika IMM harus berkutat dalam perebutan kekuasaan atau demonstrasi massa. Mungkin juga karena basic saya. Saya lebih sepakat pada gerakan intelektual, karena sejak dari komisariat bahkan hingga ke cabang, saya selalu ditugasi mengelola bidang keilmuan yang sekarang berganti menjadi bidang riset dan pengembangan keilmuan itu. Tapi andaikan saya kabid Hikmah, responnya mungkin berbeda.

Di komisariat pun, saya sudah mencoba membuat beberapa hal. Misalkan Komsata (komunitas syariah tarbiyah) yang sebenarnya kala itu memiliki banyak peminat, 50 orang lebih, tapi sayang karena manajemen yang tak tertata, akhirnya bubar. Atau juga Almaun Community yang merupakan wadah diskusi, dan lagi-lagi gagal. Pernah punya bayangan untuk menerbitkan sebuah buku bersama IMM. Tapi belum terealisasi hingga saat ini. justru buku tersebut bisa terbit ketika saya mengelola organisasi lain.

Mungkin kala itu saya belum siap, apalagi jelang akhir perkuliahan, ekspektasi saya terhadap jurusan semakin melemah. Otomatis, Komsata pun tak bisa diselamatkan lagi. Almaun Community pun juga demikian, meski kemudian nama itu diadopsi oleh IMM non PTM dikemudian hari. Jika sekarang harus memulai lagi, mungki bisa, tapi tak akan mungkin karena era-nya sudah berbeda.

Untuk itulah, saya minta ijin ke komisariat untuk langsung ke Pimpinan Cabang. Tidak ke Korkom dulu. Sekarang ini, idealisme itu masih ada dengan membentuk tim riset PC IMM Malang. Sejauh ini sudah ada 15 anggota yang sudah ikut workshop. Maksimal adalah semester empat dan ada juga yang semester dua. Rencananya tim riset ini akan melakukan penelitian dan menerbitkan jurnal. Saya tidak berani lagi membuat ekspektasi yang besar –sebagaimana komisariat dulu—yang akhirnya gagal di tengah jalan. Tim riset ini akan berjalan perlahan-lahan, dan semoga berhasil.

Setelah Pak rektor digantikan Prof. Mudjia Rahardja, saya pun sudah dua kali bertemu beliau. Namun sayang kedatangan saya ke kantor beliau adalah untuk wawancara, tidak ada perbincangan seputar IMM. Dan kalaupun harus berbincang seputar IMM, tentu saya tidak tahu banyak bagaimana kondisi IMM UIN Malang sekarang. Bagaimana kondisi keorganisasian, kondisi kader, serta budaya ilmiah di dalamnya. Saya pun juga tidak tahu bagaimana posisi IMM di mata rektor yang sekarang.

Tetapi insyaalah, saya masih memiliki banyak waktu jika diajak sharing. Tentu saya sangat senang sekali. Saya sendiri, sekalipun memendam beribu kekecewaan di IMM, saya tetaplah kader IMM yang memiliki tanggung jawab formal maupun moral. Apalagi, jika misalkan kondisi IMM di UIN Malang sekarang tidak lebih baik dari dulu, justru itu adalah kesalahan saya dan teman seangkatan yang gagal memberikan ruang yang lebih baik untuk kader penerusnya.

Di lain hal, saya tidak ingin menjadi guru, sekalipun kuliah jurusan guru, justru saya ingin menjadi novelis, penggiat, dan pengusaha literasi. Jikalau nanti memang Tuhan mengijinkan saya menjadi novelis papan atas semisal Tere Liye. Hehe (amin) maka saya ingin terkenang sebagai novelisnya Muhammadiyah atau Novelisnya IMM. Toh, jikalau Pak Munir Mulkhan dijuluki Filosofnya Muhammadiyah. Saya ingin disebut Novelisnya Muhammadiyah. Sejauh ini saya sudah menulis tujuh novel dan yang ready to read ada dua, berjudul Ritus Kesunyian dan Perempuan di balik Tirai.

Saya percaya, jika banyak sekali kader IMM yang memiliki ekspektasi tinggi terhadap dirinya atau terhadap IMM. Tapi saya mengakui, harapan tak akan terealisasi dengan diam. Begitupun saya kala itu yang berharap banyak hal pada IMM, namun pada akhirnya tak banyak yang kita dapatkan ketika kita tak melakukan sesuatu.

Saya akan menutup tulisan ini dengan kabar gembira, ialah bahwa posisi IMM di UIN Malang masih sangat dihormati. Hanya saja, sekali lagi tetap sama, dalam perspektif gerakan tak ada yang berlebih, terutama dalam gerakan intelektual. Saya menyadari hal itu, dan tentu ini juga bagian dari kesalahan saya pribadi selaku senior yang belum mampu memberikan ruang aktualisasi bagi kader-kader penerus. Oh maafkan saya.

Malang, 2 Juni 2014
A Fahrizal Aziz

*cerita diatas dikembangkan dari catatan harian saya, untuk dialognya mungkin tidak sama persis, tapi kurang lebih begitulah intinya.