Dulu, Muhammadiyah selalu identik dengan modernitas, keterbukaan, dan
kosmopolit. Basisnya pun di kota. Para pengurusnya adalah orang berpendidikan,
sarjana, master, doktor, hingga Profesor. Muhammadiyah adalah Ormas Islam
pertama yang memiliki ketua Umum seorang Profesor (Prof. Amin Rais). Berbeda
dengan NU yang baru-baru ini memiliki ketua Umum Profesor (Prof. KH. Said Agil
Sirajd), sebelumnya NU ‘hanya’ dipimpin seorang Kyai yang tanpa gelar akademik.
Muhammadiyah dianggap mampu mengartikulasikan nilai-nilai agama dalam
praksis gerakan yang lebih integratif, mulai dari sosial, politik, hingga
budaya. KH. Ahmad Dahlan memang hanya bergelar Kyai, tak pernah belajar di
sekolah formal. Tapi Muhammadiyah punya banyak tokoh yang berdiaspora di
berbagai bidang (tidak hanya dalam diskursus keagamaan). Misal, Buya Hamka.
Sosok komplit. Cendekiawan yang juga seorang Ulama, Intelektual dan Budayawan.
Amien Rais yang lebih dikenal sebagai sosok reformis dan politisi. Buya Syafii
Maarif seorang pluralis, pancasilais dan pakar sejarah Islam. Alm. Chotibul
Umam, sutradara papan atas yang berhasil membidangi film-film religi, semisal
KCB. Taufiq Ismail, sastrawan papan atas, pendiri rumah puisi dan menjadi ikon
puisi balada nasional.
Di ranah kultural, Muhammadiyah memiliki Andrea Hirata, novelis yang
menjadi ikon kebangkitan sastra Indonesia abad 21. Prof. Boediono, mantan
wapres yang sederhana dan santun. Moeslim Abdurrahman, “ideolog” Islam
Transformatif, pendiri yayasan sumbu panguripan Yogyakarta, yang ikut andil
mengentaskan para petani desa untuk berdaya, dan menyekolahkan anak-anak miskin
yang kurang beruntung. Prof. Kuntowijoyo, intelektual papan atas Indonesia,
penggagas teori ISP (Ilmu Sosial Profetik) juga Islam Profetik. Dll.
Namun, jika melihat fakta sekarang, ada sisi esklusifisme dalam diri
Muhammadiyah. Produktifitas karya berkurang, berbeda dengan NU –yang ketika
dipimpin Gus Dur—mulai menghidupkan budaya pemikiran melalui LSM semisal Lkis,
P3M, dan lembaga kebudayaan Lesbumi. Gerakan NU juga sudah merambah perkotaan,
ciri sebagai organisasi tradisional bahkan semakin mencair. Di kota Malang saja
misalkan, NU bahkan mampu dominan dalam akses sosial politik. terutama setelah
AJI memenangkan Pilwali.
Di level pemikiran, NU memiliki banyak tokoh, semisal Prof. Masdhar
Masduqi, Zuhairi Mizrawi hingga yang kontroversial seperti Ulil Abshar Abdalla.
Dalam bidang Politik, NU juga memiliki banyak kader militan. Pemimpin partai.
Anggota legislatif hingga menteri, semisal Khofifah Indar P, Hanif Dhakiri,
Imam Nahrawi, dll. Di bidang kebudayaaan, NU memiliki figur populis seperti Gus
Mus, D. Zawawi Imron, Agus Sunyoto, dan budayawan muda yang masih berporses
dalam Lesbumi atau Lkis, atau lembaga yang lainnya.
Muhammadiyah minus dalam banyak aspek. Dari segi pemikiran, politik,
apalagi budaya. Muhammadiyah masih unggul secara institusional, melalui amal
usaha. Namun amal usaha Muhammadiyah pun kini hanya aksestable bagi pemilik
dana besar. Karena tuntutan zaman, amal usaha yang berbasis pendidikan dan
rumah sakit juga harus berlaku konvensional. Biaya masuk mahal, dll.
Dalam sikap, Muhammadiyah juga cenderung esklusif. Semisal menangapi isu
syiah, ahmadiyah, hingga natal. Hampir susah menemukan Muhammadiyah dalam
kerangka yang lebih terbuka. Bahkan esklusifisme tersebut dalam bentuk jamaah
yang terorganisir melalui fatwa. Akhirnya, Muhammadiyah pun hampir mirip ke NU
awal-awal yang populer disebut “apa kata Kyai”. Padahal era-era awal KH. Ahmad
Dahlan, beliau adalah sosok kritikus ulung sekaligus pendobrak esklusifisme.
Karena tokoh agama sekitar kalah argumentatif dengan Kyai Dahlan, maka cara
satu-satunya adalah mendistorsi figurnya dengan sebutan Kyai Kafir.
Sekarang ini, tak sedikit pula kader-kader yang dengan mudah
“menyesatkan” dan “mengafirkan”. Lebih mudah terprovokasi situs-situs muslim
minus tabayun, yang berita hoax pun bisa menjadi hotnews dan itu di share ke
media sosial tanpa ada analisis mendalam. Emosional. Tertutup. Esklusif. Bukan
Argumentatif-klarifikatif.
Sementara NU, melihat maraknya media online “islamis” abal-abal
tersebut, kader-kader mudanya membuat media tandingan semisal muslimmedia dan
Islam toleran. Situs NU online pun juga sangat “ideologis” untuk menjadi
rujukan kader-kadernya. Dan kader-kader Muhammadiyah tidak ada, situs Sang
Pencerah pun kadang juga mengajak kepada esklusifisme. Dan lebih sering re-post
dari media lain.
Kita tertinggal jauh dengan NU, tetapi harapan itu masih ada. Di Malang,
lahirnya rumah inspirasi menjadi salah satu bentuk laboratorium pengembangan
kader, PSIF di UMM juga turut membina gerakan intelektualisme. Kampus UMM yang
sangat inklusif tersebut, adalah representasi masa depan kader-kader muda
Muhammadiyah. dan IMM, mumpung masih muda, masih banyak waktu belajar. Jangan
berfikiran tertutup. Jangan mudah menyesatkan, mengafirkan, apalagi menjadikan
media online sebagai rujukan tunggal. Sempit sekali cara berfikir demikian.
Di UIN Malang, saat kader-kader PMII sudah belajar post-modernisme,
sudah jauh mengeksplore teori pergerakan hingga dekonstruksi sosialnya Jaques
Derrida. Kita masih sibuk memikirkan ikhtilafiyah. Saat kader-kader PMII mulai
berproses membuat manifestasi, membangun kultur wacana, mereduksi eksistensi
organisasi mahasiswa yang lain, kita masih terbuai oleh modernitas masa lalu.
padahal, sekarang ini kita sudah jauh tertinggal dari kemodernitas-annya
mereka.
Ayo bangkit!