loading...

Jumat, 01 Mei 2015

Mensyukuri nikmat ber-IMM



Ber-IMM menjadi sebuah segmen yang tak terencana dalam hidup saya. Semacam “trap by accident”. Berawal dari segala hal yang tak menggairahkan. Kampus yang tak menggairahkan hingga jurusan yang tak menggairahkan. Tapi seperti sebelum-sebelumnya, manusia memang berjalan dalam dua tapak takdir : takdir yang bisa kita jemput, dan takdir yang hanya bisa kita terima. ber-IMM, menjadi kader IMM, adalah pertimbangan yang tak begitu lama, sekalipun tak bisa juga dibilang cepat.


Seperti layaknya sebuah OMEK (Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus) IMM memang bertipe “kelamin ganda”. Ia bisa menjadi organisasi secara formal-struktural, tapi juga bersifat kaderisasi, dan melekat secara kultural. Sejak jadi kader disebut Immawan/i, kalau sudah tak menjadi pengurus disebut Domisioner, pun kalau sudah tak menjadi apa-apa, bahkan sudah bapak/ibu/kakek/nenek/buyut masih disebut Kakanda atau Ayunda. Kadang Ayahanda atau Ibunda IMM. Siapapun, yang pernah ber-IMM secara all out, harus siap menyandang gelar tersebut.

Bagi saya, ber-IMM menjadi catatan serius yang musti saya maknai lebih mendalam. Pertama, saya lahir, besar dan berproses di lingkungan yang terbuka, namun secara ideologis lebih dekat dengan NU. Bahkan saya belajar ngaji dan kitab-kitab klasik, di TPA dan Madrasah diniyah LP Ma’arif NU. Kedua, saya juga pernah berproses dalam lingkungan Rohis (kerohanian Islam) yang kiblat ideologisnya lebih ke salafi-Tarbiyah, dan afiliasi politik kebangsaannya lebih ke Islam Transnasional. Islam Transnasional dengan Aswaja, kadang memiliki benturan serius, terutama dalam pemaknaan Budaya. Antara Islam Arabistik, dan Islam ke-Indonesiaan.

Dengan memilih ber-IMM, maka saya akan masuk dalam kultur baru. Kultur Muhammadiyah, yang dalam pandangan saya kala itu, mengedepankan aspek rasional, kosmopolite dan modern. Tentu, jika tak hati-hati, saya bisa terombang ambing dalam tiga ideologi dan kiblat harakah yang berbeda cara, meski satu tujuan universal. NU yang lebih bergerak pada Budaya, Tarbiyah yang lebih pada politik praksis, dan Muhammadiyah yang mengaktualisasikan ke-Islamannya lebih institusional melalui amal usaha.

Meski sekarang ini, agaknya setiap organisasi sudah mulai melebarkan akses dakwahnya. NU sudah mulai mendirikan lembaga formal, bahkan perguruan tinggi. Begitu pun Tarbiyah, dan Muhammadiyah yang mulai merambah aspek Budaya dan Pemikiran. Banyak juga yang mulai bergerak di NGO. Dan ideologi itu, menjadi induknya. Akhirnya, baik NU, Tarbiyah, atau Muhammadiyah, lambat laun menjadi semacam “tafsir” atas pemaknaan gerakan Islam.

Ketika masuk IMM, saya kira akan menemukan satu “tafsir” tunggal atas gerakan Islam, sebagaimana yang terproyeksi dalam benak saya tentang Muhammadiyah sebelumnya. Ternyata tidak juga. Ada banyak tipe, dan terkhusus IMM UIN Malang, ada kesan ‘orda’, terutama wilayah pantura : Lamongan dan Gresik. Tak bisa dipungkiri, memang Lamongan dan Gresik adalah kontributor terbesar kader IMM, terutama di UIN Malang. Berbeda dengan di IMM Ikip Budi Utomo, yang mayoritas adalah dari Madura.

Karena memang, tidak semua kader IMM dulunya dari keluarga, lingkungan, atau aktivis Muhammadiyah. Tidak semua dari IPM lalu ke IMM. Sangat beraneka ragam. Bahkan banyak juga yang dulunya dari Persis, PII, IPNU dll. Dari corak pemikiran tokohnya pun, Muhammadiyah juga sangat beragam. Misalkan tokoh semisal Buya Syafii Maarif, Abdul Munir Mulkhan, Amin Abdullah, dll yang mungkin agak berbeda dengan Yunahar Ilyas, Adian Husaini, dll. Meski kesemuanya adalah dari Muhammadiyah.

Di IMM pula, saya berkenalan dengan dua majalah yang berbeda dalam mainstream pemikiran : Suara Muhammadiyah dan Majalah Tablig. Meksi keduanya, masih dalam satu naungan. Secara lokal-kultural di IMM Malang, kita bisa mendapati macam-macam kultur IMM, mulai dari yang di UMM, UB dan UM. Akhirnya, masuk IMM serasa masuk dalam ‘laboratorium gerakan Islam’. Ada banyak tipe kader dan corak berfikir yang bisa kita temui. Apalagi, setelah kita berkenalan dengan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah).

Sebagai kader, saya sangat mensyukuri iklim seperti ini. Iklim yang disatu sisi bisa menimbulkan ketegangan, tapi disisi lain selalu mengajak kita untuk berfikir, merenung, dan membuat analisis. Apalagi, IMM yang tumbuh di UIN Malang, sebuah kampus yang secara historis sangat akomodatif. Kampus yang dikenal NU sebagai mayoritas, PMII sebagai basis massa terbesar, tapi sesepuh dan pembesarnya juga orang Muhammadiyah, seperti Prof. Malik Fadjar. Terutama sejak berganti menjadi UIN.

Namun sekilas timbul pertanyaan, kalau begitu IMM apalagi Muhammadiyah, tidak punya ketegasan dalam ideologi? Itulah kenapa Muhammadiyah disebut Persyarikatan, selevel dengan kata Perserikatan. Kalau kita mengenal PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), isinya adalah negara-negara yang memiliki budaya dan pemerintahan yang berbeda-beda. Jadi, Persyarikatan Muhammadiyah seharusnya menjadi wadah organisasi Islam yang masih Muhammad – iyah (Pengikut/mengikuti Nabi SAW).

Sehingga, mereduksi makna persyarikatan menjadi organisasi atau ideologi, tentu tidak bijak. Akan tetapi, ciri Islam rasional, kosmopolite dan modern tersebut seolah tidak bisa lepas dari Muhammadiyah yang akhirnya menjadi “ideologi” tersendiri. Dalam bahasa sosial, tokoh Muhammadiyah lebih dikenal sebagai “Kyai berdasi”. Kyai yang tidak hanya mengurus pesantren, tapi juga sekolah formal hingga perguruan tinggi. Yang tidak hanya berkhotbah soal fiqh dan akhlak, tapi juga soal politik, pendidikan, sastra, dll. Yang kesemuanya, diyakini Muhammadiyah sebagai bagian integral dari Islam.

Di IMM pun juga demikian, saya kerap kali menemui kader yang punya ‘cita rasa’ Tarbiyah, dan itu jumlahnya lumayan signifikan. Karena dalam hal Ibadah mahdah, antara Tarbiyah dan Muhammadiyah tidak memiliki banyak perbedaan. Perbedaannya hanya soal persepsi politik. Sementara antara Muhammadiyah dan NU, perbedaan yang lebih terlihat justru pada ihwal Ibadah Mahdhah. Dan antara NU dan Muhammadiyah, dalam konteks pemikiran dan kelembagaan, justru hampir sama. Apalagi, sejak NU mencanangkan pendirian Universitas NU. Dan juga soal politik kebangsaan. NU pun kini juga sudah punya banyak “Kyai berdasi” yang bergelar Doktor dan Profesor.

Akhirnya, di IMM saya benar-benar mengartikulasikan makna “Islam moderat” tersebut. Berdiri diantara perbedaan yang bersifat perseptif hingga ideologis. Belajar menjadi seorang Muslim yang luas pandangan, terbuka, yang tak terkendala satu corak pemikiran atau ideologi tertentu. Belajar menerima perbedaan sekaligus menghargai perbedaan.

Meski menjadi kader IMM, tak membuat saya fanatik. Saya masih tetap kagum dengan tokoh-tokoh NU semisal Gus Mus, KH. Hasyim Muzadi, ataupun Gus Dur. Di lingkungan Tarbiyah, saya juga masih menaruh respect kepada Hidayat Nur Wahid, dan di Rohis pula, saya berkenalan dengan buku populer karya tokoh Ikhwanul Muslimin, Hasan Ismail Al Hudaiby yang berjudul “Nahnu Dhuat La Qhudat” yang menurut saya sangat bagus sekali.

Dan sejak SMA, saya sudah membaca karya dari tokoh-tokoh Muhammadiyah, misalkan novel Buya Hamka yang membuat kritik sosial-budaya. Novel di bawah lindungan ka’bah misalkan, mengkritik soal budaya yang tidak adil antara kaum Proletar dan Borjuis. Novel tenggelamnya kapal van der wijk juga mengkritik larangan menikah antar suku, terutama minang dan bugis. Dua Novel Hamka, menurut saya sangat revolusioner di Jamannya, beliau seolah hendak melakukan Dekonstruksi sosial.

Atau buku Buya Syafii Maarif “Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia” yang coba mengupas Islam sebagai peradaban utama Umat manusia, dan peluang untuk membumikan Islam di Indonesia. Belum lagi puisi-puisi balada dari Taufiq Ismail, yang dengan bahasa renyah tapi syarat kritik sosial, yang kemudian saya ketahui bahwa Taufiq Ismail adalah tokoh Muhammadiyah juga. Itulah awal saya tertarik dengan Muhammadiyah.

Mungkin berbeda dengan teman-teman lainnya, yang memang dari keluarga Muhammadiyah. Tapi bagi saya, ber-IMM, dan ber-Muhammadiyah adalah satu pintu untuk mengenal Islam lebih ramah dan terbuka. Ber-IMM adalah satu sesi dalam hidup yang mengajarkan saya banyak definisi dan pengalaman.

Tentunya, tidak dengan sendirinya, melainkan melalui proses yang panjang. Mulai menjadi kader biasa yang sering memprotes, menjadi pengurus yang akhirnya kena protes, menjadi domisioner yang harus benar-benar akomodatif. Hingga diskusi-diskusi kultural dengan senior, kader lintas komisariat, silaturahim ke tokoh-tokoh dan lain sebagainya.

Saya sangat mensyukurinya, apalagi bagi saya yang masih bodoh ini. Dan untuk senior serta teman-teman IMM lainnya, saya hanya bisa mengucapkan terima kasih. Jazakumullah ahsanal Jaza. Mari kita mensyukuri nikmat ber-IMM ini. Semoga kedepan IMM semakin menjadi organisasi yang menggairahkan, baik dari segi gerakan maupun pemikiran.

Pademangan, 8 Desember 2014
A Fahrizal Aziz