Ber-IMM menjadi sebuah segmen yang tak terencana dalam
hidup saya. Semacam “trap by accident”. Berawal dari segala hal yang tak
menggairahkan. Kampus yang tak menggairahkan hingga jurusan yang tak
menggairahkan. Tapi seperti sebelum-sebelumnya, manusia memang berjalan dalam
dua tapak takdir : takdir yang bisa kita jemput, dan takdir yang hanya bisa
kita terima. ber-IMM, menjadi kader IMM, adalah pertimbangan yang tak begitu
lama, sekalipun tak bisa juga dibilang cepat.
Seperti layaknya sebuah OMEK (Organisasi Mahasiswa Ekstra
Kampus) IMM memang bertipe “kelamin ganda”. Ia bisa menjadi organisasi secara
formal-struktural, tapi juga bersifat kaderisasi, dan melekat secara kultural.
Sejak jadi kader disebut Immawan/i, kalau sudah tak menjadi pengurus disebut
Domisioner, pun kalau sudah tak menjadi apa-apa, bahkan sudah
bapak/ibu/kakek/nenek/buyut masih disebut Kakanda atau Ayunda. Kadang Ayahanda
atau Ibunda IMM. Siapapun, yang pernah ber-IMM secara all out, harus
siap menyandang gelar tersebut.
Bagi saya, ber-IMM menjadi catatan serius yang musti saya
maknai lebih mendalam. Pertama, saya lahir, besar dan berproses di lingkungan
yang terbuka, namun secara ideologis lebih dekat dengan NU. Bahkan saya belajar
ngaji dan kitab-kitab klasik, di TPA dan Madrasah diniyah LP Ma’arif NU. Kedua,
saya juga pernah berproses dalam lingkungan Rohis (kerohanian Islam) yang
kiblat ideologisnya lebih ke salafi-Tarbiyah, dan afiliasi politik
kebangsaannya lebih ke Islam Transnasional. Islam Transnasional dengan Aswaja,
kadang memiliki benturan serius, terutama dalam pemaknaan Budaya. Antara Islam
Arabistik, dan Islam ke-Indonesiaan.
Dengan memilih ber-IMM, maka saya akan masuk dalam kultur
baru. Kultur Muhammadiyah, yang dalam pandangan saya kala itu, mengedepankan
aspek rasional, kosmopolite dan modern. Tentu, jika tak hati-hati, saya bisa
terombang ambing dalam tiga ideologi dan kiblat harakah yang berbeda cara,
meski satu tujuan universal. NU yang lebih bergerak pada Budaya, Tarbiyah yang
lebih pada politik praksis, dan Muhammadiyah yang mengaktualisasikan
ke-Islamannya lebih institusional melalui amal usaha.
Meski sekarang ini, agaknya setiap organisasi sudah mulai
melebarkan akses dakwahnya. NU sudah mulai mendirikan lembaga formal, bahkan
perguruan tinggi. Begitu pun Tarbiyah, dan Muhammadiyah yang mulai merambah
aspek Budaya dan Pemikiran. Banyak juga yang mulai bergerak di NGO. Dan
ideologi itu, menjadi induknya. Akhirnya, baik NU, Tarbiyah, atau Muhammadiyah,
lambat laun menjadi semacam “tafsir” atas pemaknaan gerakan Islam.
Ketika masuk IMM, saya kira akan menemukan satu “tafsir”
tunggal atas gerakan Islam, sebagaimana yang terproyeksi dalam benak saya
tentang Muhammadiyah sebelumnya. Ternyata tidak juga. Ada banyak tipe, dan
terkhusus IMM UIN Malang, ada kesan ‘orda’, terutama wilayah pantura : Lamongan
dan Gresik. Tak bisa dipungkiri, memang Lamongan dan Gresik adalah kontributor
terbesar kader IMM, terutama di UIN Malang. Berbeda dengan di IMM Ikip Budi
Utomo, yang mayoritas adalah dari Madura.
Karena memang, tidak semua kader IMM dulunya dari
keluarga, lingkungan, atau aktivis Muhammadiyah. Tidak semua dari IPM lalu ke
IMM. Sangat beraneka ragam. Bahkan banyak juga yang dulunya dari Persis, PII,
IPNU dll. Dari corak pemikiran tokohnya pun, Muhammadiyah juga sangat beragam.
Misalkan tokoh semisal Buya Syafii Maarif, Abdul Munir Mulkhan, Amin Abdullah,
dll yang mungkin agak berbeda dengan Yunahar Ilyas, Adian Husaini, dll. Meski
kesemuanya adalah dari Muhammadiyah.
Di IMM pula, saya berkenalan dengan dua majalah yang
berbeda dalam mainstream pemikiran : Suara Muhammadiyah dan Majalah Tablig.
Meksi keduanya, masih dalam satu naungan. Secara lokal-kultural di IMM Malang,
kita bisa mendapati macam-macam kultur IMM, mulai dari yang di UMM, UB dan UM.
Akhirnya, masuk IMM serasa masuk dalam ‘laboratorium gerakan Islam’. Ada banyak
tipe kader dan corak berfikir yang bisa kita temui. Apalagi, setelah kita
berkenalan dengan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah).
Sebagai kader, saya sangat mensyukuri iklim seperti ini.
Iklim yang disatu sisi bisa menimbulkan ketegangan, tapi disisi lain selalu
mengajak kita untuk berfikir, merenung, dan membuat analisis. Apalagi, IMM yang
tumbuh di UIN Malang, sebuah kampus yang secara historis sangat akomodatif.
Kampus yang dikenal NU sebagai mayoritas, PMII sebagai basis massa terbesar,
tapi sesepuh dan pembesarnya juga orang Muhammadiyah, seperti Prof. Malik
Fadjar. Terutama sejak berganti menjadi UIN.
Namun sekilas timbul pertanyaan, kalau begitu IMM apalagi
Muhammadiyah, tidak punya ketegasan dalam ideologi? Itulah kenapa Muhammadiyah
disebut Persyarikatan, selevel dengan kata Perserikatan. Kalau kita mengenal
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), isinya adalah negara-negara yang memiliki
budaya dan pemerintahan yang berbeda-beda. Jadi, Persyarikatan Muhammadiyah
seharusnya menjadi wadah organisasi Islam yang masih Muhammad – iyah (Pengikut/mengikuti
Nabi SAW).
Sehingga, mereduksi makna persyarikatan menjadi
organisasi atau ideologi, tentu tidak bijak. Akan tetapi, ciri Islam rasional,
kosmopolite dan modern tersebut seolah tidak bisa lepas dari Muhammadiyah yang
akhirnya menjadi “ideologi” tersendiri. Dalam bahasa sosial, tokoh Muhammadiyah
lebih dikenal sebagai “Kyai berdasi”. Kyai yang tidak hanya mengurus pesantren,
tapi juga sekolah formal hingga perguruan tinggi. Yang tidak hanya berkhotbah
soal fiqh dan akhlak, tapi juga soal politik, pendidikan, sastra, dll. Yang
kesemuanya, diyakini Muhammadiyah sebagai bagian integral dari Islam.
Di IMM pun juga demikian, saya kerap kali menemui kader
yang punya ‘cita rasa’ Tarbiyah, dan itu jumlahnya lumayan signifikan. Karena
dalam hal Ibadah mahdah, antara Tarbiyah dan Muhammadiyah tidak memiliki banyak
perbedaan. Perbedaannya hanya soal persepsi politik. Sementara antara
Muhammadiyah dan NU, perbedaan yang lebih terlihat justru pada ihwal Ibadah
Mahdhah. Dan antara NU dan Muhammadiyah, dalam konteks pemikiran dan
kelembagaan, justru hampir sama. Apalagi, sejak NU mencanangkan pendirian
Universitas NU. Dan juga soal politik kebangsaan. NU pun kini juga sudah punya
banyak “Kyai berdasi” yang bergelar Doktor dan Profesor.
Akhirnya, di IMM saya benar-benar mengartikulasikan makna
“Islam moderat” tersebut. Berdiri diantara perbedaan yang bersifat perseptif
hingga ideologis. Belajar menjadi seorang Muslim yang luas pandangan, terbuka,
yang tak terkendala satu corak pemikiran atau ideologi tertentu. Belajar
menerima perbedaan sekaligus menghargai perbedaan.
Meski menjadi kader IMM, tak membuat saya fanatik. Saya
masih tetap kagum dengan tokoh-tokoh NU semisal Gus Mus, KH. Hasyim Muzadi,
ataupun Gus Dur. Di lingkungan Tarbiyah, saya juga masih menaruh respect kepada
Hidayat Nur Wahid, dan di Rohis pula, saya berkenalan dengan buku populer karya
tokoh Ikhwanul Muslimin, Hasan Ismail Al Hudaiby yang berjudul “Nahnu Dhuat La
Qhudat” yang menurut saya sangat bagus sekali.
Dan sejak SMA, saya sudah membaca karya dari tokoh-tokoh
Muhammadiyah, misalkan novel Buya Hamka yang membuat kritik sosial-budaya.
Novel di bawah lindungan ka’bah misalkan, mengkritik soal budaya yang tidak
adil antara kaum Proletar dan Borjuis. Novel tenggelamnya kapal van der wijk
juga mengkritik larangan menikah antar suku, terutama minang dan bugis. Dua
Novel Hamka, menurut saya sangat revolusioner di Jamannya, beliau seolah hendak
melakukan Dekonstruksi sosial.
Atau buku Buya Syafii Maarif “Peta Bumi Intelektualisme
Islam di Indonesia” yang coba mengupas Islam sebagai peradaban utama Umat
manusia, dan peluang untuk membumikan Islam di Indonesia. Belum lagi
puisi-puisi balada dari Taufiq Ismail, yang dengan bahasa renyah tapi syarat
kritik sosial, yang kemudian saya ketahui bahwa Taufiq Ismail adalah tokoh
Muhammadiyah juga. Itulah awal saya tertarik dengan Muhammadiyah.
Mungkin berbeda dengan teman-teman lainnya, yang memang
dari keluarga Muhammadiyah. Tapi bagi saya, ber-IMM, dan ber-Muhammadiyah
adalah satu pintu untuk mengenal Islam lebih ramah dan terbuka. Ber-IMM adalah
satu sesi dalam hidup yang mengajarkan saya banyak definisi dan pengalaman.
Tentunya, tidak dengan sendirinya, melainkan melalui
proses yang panjang. Mulai menjadi kader biasa yang sering memprotes, menjadi
pengurus yang akhirnya kena protes, menjadi domisioner yang harus benar-benar
akomodatif. Hingga diskusi-diskusi kultural dengan senior, kader lintas
komisariat, silaturahim ke tokoh-tokoh dan lain sebagainya.
Saya sangat mensyukurinya, apalagi bagi saya yang masih
bodoh ini. Dan untuk senior serta teman-teman IMM lainnya, saya hanya bisa
mengucapkan terima kasih. Jazakumullah ahsanal Jaza. Mari kita
mensyukuri nikmat ber-IMM ini. Semoga kedepan IMM semakin menjadi organisasi
yang menggairahkan, baik dari segi gerakan maupun pemikiran.
Pademangan, 8 Desember 2014
A Fahrizal Aziz