loading...

Jumat, 01 Mei 2015

IMM bukannya tidak jelas, tapi ...



Ada sebuah pertanyaan yang sebenarnya mudah-mudah susah di jawab. Yaitu, tentang ideologi IMM. Pertanyaan tersebut muncul karena banyak yang merasa “tidak mendapatkan kejelasan” ketika baru menjadi kader IMM. Bahkan ada yang mengatakan jika IMM tak memiliki sebuah konstruksi ideologi yang riil. Itulah kenapa IMM tak memiliki keseragaman gerakan, dari pusat hingga komisariat. Tak adanya konstruksi ideologi itu kemudian memunculkan konflik yang sangat kontraproduktif di beberapa aspek, terutama dalam pemaknaan tri kompetensi dasar.


Setelah lima tahun menjadi kader IMM, saya memiliki beberapa pandangan terkait permasalahan tersebut. Dimana saya sendiri juga pernah merasakan hal yang serupa.

Pertama. Kita diperkenalkan bahwa ideologi IMM adalah Islam. Islam secara otentik merujuk pada Alquran dan Alhadits. Dimana dalam pemaknaannya, Islam sendiri memiliki beragam tafsir. Hal itulah yang kemudian memantik perbincangan panjang. Lalu, Islam yang dimaksud Islam yang bagaimana? Padahal, IMM sebagai Ortom Muhammadiyah, sudah memiliki dua pegangan formal berupa HPT (Himpunan Putusan Tarjih), Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah, atau jika masih kurang, ada buku tanya jawab. Seharusnya, jika konsisten secara kelembagaan. Buku-buku tersebut bisa menjadi rujukan.

Kedua. Selama ini, dialog yang kerap terlihat bukan berpijak dalam hal-hal Fiqiyah, melainkan muamalah. Di IMM sendiri, konstruksi ideologi yang dimaksud berkaitan kuat dengan aktivisme pergerakan. Untuk hal-hal ibadah, seperti bacaan sholat, soal qunut, shalawat, dll sudah tak ada lagi perbedaan. Namun untuk isu-isu sosial semisal gerakan dakwah, pemaknaan terhadap pluralisme, HAM, Budaya, dll masih muncul beberapa perdebatan.

Dalam kultur gerakan Mahasiswa, ada istilah gerakan kanan dan kiri. Kanan merepresentasikan gerakan keagamaan. Dan kiri lebih bersifat sekular. Dalam aspek ini juga muncul beberapa perbedaan. Apakah kanan yang dimaksud, bahwa IMM harus bergerak secara eksklusif dan tertutup serta radikal? Hal tersebut dikarenakan, secara kategorial, IMM masuk sebagai gerakan kanan. Perdebatan inilah yang kemudian memunculkan friksi, dimana ada sebagian dari IMM yang bergerak ke kiri. Mereka yang bergerak ke kiri pun juga memiliki argumentasi sendiri. Kiri tak selalu “lepas dari agama”. Melainkan ada nilai-nilai substansial yang itu juga terdapat dalam teks-teks keagamaan.

Perbedaan tersebut muncul karena IMM tidak memiliki konstruksi ideologi yang jelas. Lantas apakah itu berarti IMM adalah organisasi yang tidak jelas? Tidak juga.

Begini. IMM menjadikan Islam sebagai ideologi. Sementara Islam sendiri memiliki banyak pemaknaan. Alquran saja memunculkan beragam tafsir. Dalam aspek gerakan, ada istilah Islam Radikal, Moderat dan Liberal. Kesemuanya mengklaim mewakili Islam secara tekstual maupun kontekstual. Itu berarti secara Umum, Islam berisi pemikiran serta cara pandang yang beragam, bukan sebuah konformitas. Maka, jika harus membuat sebuah konstruksi ideologi dengan pemikiran atau cara pandang tertentu, justru itu akan menyederhanakan makna Islam sebagai agama yang akomodatif untuk banyak cara pandang.

Meskipun, menurut Destut De Tracy –penggagas makna ideologi—ideologi adalah ide-ide dasar yang muncul dari pemikiran manusia. Seperti contohnya ideologi sosialis. Ia bisa berkembang dan seragam karena diusung oleh satu orang bernama Karl Marx yang secara deskriptif dijelaskan melalui buku fenomenalnya, Das Capital. Sementara, Islam adalah Agama samawi yang diturunkan oleh Allah Swt, sang segala Maha. Pertanyaannya, bisakah satu tafsir, satu pemikiran, dan satu cara pandang yang digagas manusia, mampu mewakili makna utuh dari apa yang telah diturunkan Tuhan? Tentu sangat mustahil.

Lantas lalu bagaimana membuat satu konstruksi ideologi yang berdasar Islam sebagai agama yang bukan buatan manusia, melainkan di turunkan oleh Tuhan? Tentu sangat sulit sekali. Untuk itulah, kenapa kemudian Islam memiliki banyak tafsir dan cara pandang. Justru itu menunjukkan jika Islam adalah agama yang sangat akomodatif dan dialektis. Dan beragam cara pandang tersebut-lah yang sejauh ini mewakili Islam secara umum.

Jadi tak ada salahnya pula, jika IMM baik secara personal (kader) atau secara institusional (gerakan) memiliki bergaman perbedaan, selama ada dasar yang menguatkan, tentu itu adalah sebuah keniscayaan. Sebagaimana Islam yang juga memiliki tafsir dan cara pandang yang berbeda.

Ketiga. IMM sebagai ortom Muhammadiyah, yang bergerak dalam dunia akademik dan gerakan, tentu memiliki dinamika yang berbeda dengan induk Muhammadiyah maupun ortom Muhammadiyah lainnya. Secara Umum, Muhammadiyah adalah gerakan pembaharuan. Makna pembaharuan berarti bersifat adaptatif-solutif. Selalu ada upaya kontenkstualisasi gerakan. Tidak statis. Maka ketika ada yang berkata “Muhammadiyah sekarang berbeda dengan dulu” atau “IMM sekarang berbeda dengan dulu”. Seharusnya tidak serta merta membuat justifikasi negatif. Perbedaan tersebut bisa jadi sebagai “bentuk pembaharuan” karena tantangan zaman yang memang berbeda.

Keempat. Berbagai permasalahan tersebut sebenarnya bisa sedikit teratasi jika Muhammadiyah punya “Ideolog kontemporer”. Misalkan di NU punya Gus Dur yang pengaruhnya sangat luas. Di Muhammadiyah, sebenarnya punya beberapa tokoh yang juga bisa menjadi rujukan sebagai “Ideolog kontemporer”. Namun Budaya ketokohan memang bukan budaya Muhammadiyah. Meskipun, ideolog kontemporer tersebut kadang dibutuhkan juga.

Misalkan begini. Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, yang merupakan founding Father sekaligus Ideolog utama Muhammadiyah, apakah kira-kira pemikiran beliau dulu (1912) masih relevan dengan sekarang? Contohnya, apakah andaikan KH. Ahmad Dahlan hidup di era sekarang, masihkan fokus Muhammadiyah memerangi TBC? Disinilah peran ideolog kontemporer, yang tak hanya fokus membuat sebuah “tadjid” melainkan juga menjadi Uswah.

Semoga catatan sederhana ini sedikit bisa menjawab pertanyaan yang susah di jawab tersebut. IMM bukannya tidak jelas, namun memang tak mudah membuat satu konstruksi ideologi tertentu. Dan kalaupun bisa, justru itu akan membuat IMM terjebak dalam eksklusifitas gerakan. Padahal, Islam sendiri adalah agama yang sangat inklusif.

Blitar, 19 September 2014
A Fahrizal Aziz*
(*) Mantan Kabid Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Malang