Ada sebuah pertanyaan yang sebenarnya mudah-mudah susah
di jawab. Yaitu, tentang ideologi IMM. Pertanyaan tersebut muncul karena banyak
yang merasa “tidak mendapatkan kejelasan” ketika baru menjadi kader IMM. Bahkan
ada yang mengatakan jika IMM tak memiliki sebuah konstruksi ideologi yang riil.
Itulah kenapa IMM tak memiliki keseragaman gerakan, dari pusat hingga
komisariat. Tak adanya konstruksi ideologi itu kemudian memunculkan konflik
yang sangat kontraproduktif di beberapa aspek, terutama dalam pemaknaan tri
kompetensi dasar.
Setelah lima tahun menjadi kader IMM, saya memiliki
beberapa pandangan terkait permasalahan tersebut. Dimana saya sendiri juga
pernah merasakan hal yang serupa.
Pertama. Kita diperkenalkan bahwa ideologi IMM adalah
Islam. Islam secara otentik merujuk pada Alquran dan Alhadits. Dimana dalam
pemaknaannya, Islam sendiri memiliki beragam tafsir. Hal itulah yang kemudian
memantik perbincangan panjang. Lalu, Islam yang dimaksud Islam yang bagaimana?
Padahal, IMM sebagai Ortom Muhammadiyah, sudah memiliki dua pegangan formal
berupa HPT (Himpunan Putusan Tarjih), Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah,
atau jika masih kurang, ada buku tanya jawab. Seharusnya, jika konsisten secara
kelembagaan. Buku-buku tersebut bisa menjadi rujukan.
Kedua. Selama ini, dialog yang kerap terlihat bukan
berpijak dalam hal-hal Fiqiyah, melainkan muamalah. Di IMM sendiri, konstruksi
ideologi yang dimaksud berkaitan kuat dengan aktivisme pergerakan. Untuk
hal-hal ibadah, seperti bacaan sholat, soal qunut, shalawat, dll sudah tak ada
lagi perbedaan. Namun untuk isu-isu sosial semisal gerakan dakwah, pemaknaan
terhadap pluralisme, HAM, Budaya, dll masih muncul beberapa perdebatan.
Dalam kultur gerakan Mahasiswa, ada istilah gerakan kanan
dan kiri. Kanan merepresentasikan gerakan keagamaan. Dan kiri lebih bersifat
sekular. Dalam aspek ini juga muncul beberapa perbedaan. Apakah kanan yang
dimaksud, bahwa IMM harus bergerak secara eksklusif dan tertutup serta radikal?
Hal tersebut dikarenakan, secara kategorial, IMM masuk sebagai gerakan kanan.
Perdebatan inilah yang kemudian memunculkan friksi, dimana ada sebagian dari
IMM yang bergerak ke kiri. Mereka yang bergerak ke kiri pun juga memiliki
argumentasi sendiri. Kiri tak selalu “lepas dari agama”. Melainkan ada
nilai-nilai substansial yang itu juga terdapat dalam teks-teks keagamaan.
Perbedaan tersebut muncul karena IMM tidak memiliki
konstruksi ideologi yang jelas. Lantas apakah itu berarti IMM adalah organisasi
yang tidak jelas? Tidak juga.
Begini. IMM menjadikan Islam sebagai ideologi. Sementara
Islam sendiri memiliki banyak pemaknaan. Alquran saja memunculkan beragam
tafsir. Dalam aspek gerakan, ada istilah Islam Radikal, Moderat dan Liberal.
Kesemuanya mengklaim mewakili Islam secara tekstual maupun kontekstual. Itu
berarti secara Umum, Islam berisi pemikiran serta cara pandang yang beragam,
bukan sebuah konformitas. Maka, jika harus membuat sebuah konstruksi ideologi
dengan pemikiran atau cara pandang tertentu, justru itu akan menyederhanakan
makna Islam sebagai agama yang akomodatif untuk banyak cara pandang.
Related Article
Meskipun, menurut Destut De Tracy –penggagas makna
ideologi—ideologi adalah ide-ide dasar yang muncul dari pemikiran manusia.
Seperti contohnya ideologi sosialis. Ia bisa berkembang dan seragam karena
diusung oleh satu orang bernama Karl Marx yang secara deskriptif dijelaskan
melalui buku fenomenalnya, Das Capital. Sementara, Islam adalah Agama samawi
yang diturunkan oleh Allah Swt, sang segala Maha. Pertanyaannya, bisakah satu
tafsir, satu pemikiran, dan satu cara pandang yang digagas manusia, mampu
mewakili makna utuh dari apa yang telah diturunkan Tuhan? Tentu sangat
mustahil.
Lantas lalu bagaimana membuat satu konstruksi ideologi
yang berdasar Islam sebagai agama yang bukan buatan manusia, melainkan di
turunkan oleh Tuhan? Tentu sangat sulit sekali. Untuk itulah, kenapa kemudian
Islam memiliki banyak tafsir dan cara pandang. Justru itu menunjukkan jika
Islam adalah agama yang sangat akomodatif dan dialektis. Dan beragam cara
pandang tersebut-lah yang sejauh ini mewakili Islam secara umum.
Jadi tak ada salahnya pula, jika IMM baik secara personal
(kader) atau secara institusional (gerakan) memiliki bergaman perbedaan, selama
ada dasar yang menguatkan, tentu itu adalah sebuah keniscayaan. Sebagaimana
Islam yang juga memiliki tafsir dan cara pandang yang berbeda.
Ketiga. IMM sebagai ortom Muhammadiyah, yang bergerak
dalam dunia akademik dan gerakan, tentu memiliki dinamika yang berbeda dengan
induk Muhammadiyah maupun ortom Muhammadiyah lainnya. Secara Umum, Muhammadiyah
adalah gerakan pembaharuan. Makna pembaharuan berarti bersifat
adaptatif-solutif. Selalu ada upaya kontenkstualisasi gerakan. Tidak statis.
Maka ketika ada yang berkata “Muhammadiyah sekarang berbeda dengan dulu” atau
“IMM sekarang berbeda dengan dulu”. Seharusnya tidak serta merta membuat
justifikasi negatif. Perbedaan tersebut bisa jadi sebagai “bentuk pembaharuan”
karena tantangan zaman yang memang berbeda.
Keempat. Berbagai permasalahan tersebut sebenarnya bisa
sedikit teratasi jika Muhammadiyah punya “Ideolog kontemporer”. Misalkan di NU
punya Gus Dur yang pengaruhnya sangat luas. Di Muhammadiyah, sebenarnya punya
beberapa tokoh yang juga bisa menjadi rujukan sebagai “Ideolog kontemporer”.
Namun Budaya ketokohan memang bukan budaya Muhammadiyah. Meskipun, ideolog
kontemporer tersebut kadang dibutuhkan juga.
Misalkan begini. Muhammadiyah yang didirikan oleh KH.
Ahmad Dahlan, yang merupakan founding Father sekaligus Ideolog utama
Muhammadiyah, apakah kira-kira pemikiran beliau dulu (1912) masih relevan
dengan sekarang? Contohnya, apakah andaikan KH. Ahmad Dahlan hidup di era
sekarang, masihkan fokus Muhammadiyah memerangi TBC? Disinilah peran ideolog
kontemporer, yang tak hanya fokus membuat sebuah “tadjid” melainkan juga
menjadi Uswah.
Semoga catatan sederhana ini sedikit bisa menjawab
pertanyaan yang susah di jawab tersebut. IMM bukannya tidak jelas, namun memang
tak mudah membuat satu konstruksi ideologi tertentu. Dan kalaupun bisa, justru
itu akan membuat IMM terjebak dalam eksklusifitas gerakan. Padahal, Islam
sendiri adalah agama yang sangat inklusif.
Blitar, 19 September 2014
A Fahrizal Aziz*
(*) Mantan Kabid Riset dan Pengembangan
Keilmuan PC IMM Malang