loading...

Jumat, 01 Mei 2015

BBM naik, IMM tak perlu demo



Pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM Subsidi sebesar Rp2.000,-. Seperti halnya kebijakan kenaikan BBM yang lalu-lalu, respon masyarakat selalu beragam. Ada yang pro, dan tentu lebih banyak yang kontra. Aksi demonstrasi pun tak terelakkan. Seantero nusantara, di berbagai kota, melakukan protes. Salah satunya, melalui aksi demonstrasi.


Di beberapa jejaring sosial, saya membaca postingan-postingan yang konon sebuah instruksi yang ber-signature ketua Umum DPP IMM, Beni Pramula. Entah benar atau tidak, postingan tersebut berisi instruksi agar IMM seluruh pelosok negeri, mulai melakukan kajian intensif dan lekas turun ke jalan untuk menolak kenaikan harga BBM. Bahkan ada penegasan : TOLAK atau REVOLUSI, dengan tambahan kalimat provokatif seperti : Jokowi penuh kebohongan.

Pertama. Kita menolak kenaikan BBM jika alasannya adalah subsidi. Pasalnya, pengguna BBM Subsidi (Premium dan Solar subsidi) adalah kendaraan roda empat. Bukan motor. Sementara pemilik kendaraan roda empat, rata-rata adalah orang menengah ke atas.

Pemerintah menilai, subsidi BBM terlalu tinggi dan rata-rata dinikmati oleh orang-orang kaya (pemilik kendaraan roda empat). Maka subsidi harus dikurangi, dan dampaknya, harga premium dan solar pun naik. Tahun ini, nilai subsidi BBM sebesar 199,8 Triliun.[1]

Padahal bisa saja pemerintah membuat regulasi, seperti halnya aturan yang melarang kendaraan berplat merah menggunakan BBM Subsidi. Aturan kemudian diperluas. Tidak hanya kendaraan berplat merah saja yang dilarang menggunakan BBM bersubsidi, tapi mobil pribadi juga. Kalau mobil pribadi tersebut berbahan bakar bensin, maka diwajibkan menggunakan pertamax. Kalau berbahan bakar solar, maka wajib membeli solar non subsidi.

Premium dan solar subsidi, hanya dipergunakan untuk kendaraan bermotor atau angkutan umum. Alasannya, motor tidak terlalu banyak menggunakan bahan bakar. Satu motor, diisi 3-4 liter saja sudah cukup. Sementara angkutan umum, adalah transportasi massal. Kalau mobil pribadi, tentu menggunakan banyak BBM. Kalau mobil itu menggunakan BBM subsidi, jadi pemerintah “bayar” dia lebih mahal. Padahal, pemilik mobil adalah orang kaya, atau minimal menengah ke atas.[2]

Jadi, Pemerintah bisa mengurangi subsidi BBM, namun disatu sisi tidak memberatkan masyarakat menengah ke bawah, terutama pengguna motor atau pengguna angkutan umum. Biarlah orang-orang kaya yang membayar lebih untuk kebutuhan mereka sendiri. Tidak perlu harga naik.

Jika BBM Subsidi dinaikkan seperti ini, tanpa regulasi diatas, maka tetap saja. Subsidi (meskipun telah dikurangi) akan tetap dinikmati oleh para pemilik kendaraan roda empat, dan rakyat kecil akan semakin sengsara karena harus membayar lebih untuk biaya transportasi dan imbas kebutuhan pokok lainnya.

Sebagai negara yang menganut asas keadilan sosial, harusnya Pemerintah tahu bagaimana membuat regulasi yang adil. Yang kaya biarlah membayar lebih, karena secara ekonomi ada. Yang miskin tetap di-subsidi, sembari pemerintah membuat beberapa program kesejahteraan sosial melalui kartu-kartu itu atau pembukaan lapangan kerja. Adil tidak harus sama rata.

Kedua, kita mendukung kenaikan BBM dengan catatan. Subsidi benar-benar dialihkan pada sektor-sektor produktif atau dialihkan untuk memperbesar subsidi lain. Misalkan pupuk untuk pertanian.

Selama ini, masyarakat lebih enjoy menggunakan kendaraan pribadi (mobil dan motor) karena transportasi umum dinilai kurang nyaman. Terutama, infrastruktur belum terlalu memadahi. Selain itu, daya beli masyarakat terhadap kendaraan juga meningkat, terlebih setelah pemerintah meluncurkan mobil murah.

Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) Nasional, jumlah kendaraan baru, terutama mobil, membengkak dari 9.546.866 unit ke 10.432.259 (2012) sementara motor lebih besar, dari 68.839.341 unit ke 76.381.183 unit (2012) data terbaru mungkin lebih tinggi, namun BPS belum merilisnya.[3]

Akhirnya, semakin banyaknya kendaraan akan berkorelasi dengan kebutuhan BBM. Mau tidak mau, Pemerintah harus menambah pasokan BBM dan subsidi pun dari tahun ke tahun kian membengkak. Selama ini, untuk mengantisipasi ledakan subsidi, pemerintah mengurangi subsidi. Meskipun subsidi akan terus naik, kalau jumlah kendaraan juga semakin bertambah.

Jika pemerintah mengalihkan subsidi BBM untuk hal-hal produktif, misalkan membangun infrastuktur atau subsidi pertanian. Maka harus benar-benar tegas. Misalkan untuk pembangunan jalan, membuka space untuk pejalan kaki dan pe-sepeda. Atau pengadaan transportasi massal yang murah dan memadahi. Sehingga masyarakat lebih enjoy menggunakan kendaraan umum.[4]

Selanjutnya subsidi dialihkan untuk mengembangkan pertanian. Selama ini, petani banyak mengeluh tentang mahalnya biaya produksi, beserta ketersediaan pupuk. Akhirnya, produksi nasional melemah dan pemerintah harus impor beras, gula, ketela, garam, dll. Infrastruktur pertanian lain misalkan penyediaan sumber air, baik sumur maupun bendungan untuk pengairan sawah dan kebun.[5]

Kalau harga pupuk terjangkau, dan infrastruktur pertanian terpenuhi. Maka petani kita akan produktif. Persediaan pangan tersedia, dan harga kebutuhan pokok stabil. Sebenarnya, yang ditakutkan oleh masyarakat tentang naiknya BBM bukan harga BBM itu sendiri, melainkan imbasnya berupa naiknya harga kebutuhan pokok lainnya.

IMM tak perlu demo
IMM tak perlu terburu-buru melakukan aksi demonstrasi, namun ada baiknya dikaji lebih detail dan harus memberikan beberapa solusi – sikap solutif. Karena kenaikan BBM ini adalah moment politik untuk menyerang Jokowi-JK, terutama bagi kekuatan politik yang mayoritas tersebut. IMM jangan sampai terkubang dalam kepentingan pragmatis itu. kenapa?

Pertama, menaikkan BBM bukan kebijakan yang populer. Kalau membuat idealifikasi tentang sosok Jokowi yang rajin pencitraan, tentu seharusnya Jokowi tak menaikkan harga BBM. Karena akan menurunkan citranya, dan membuat dia dihujat. Terlebih, kebijakan ini diambil saat Kabinetnya baru berjalan 3 minggu-an.

Kedua, kenaikan BBM ini masih masuk dalam batas argumentatif. Masih bisa di diskusikan, bahkan diperdebatkan secara ilmiah. Baik yang pro maupun yang kontra. Alasan pemerintah re-alokasi subsidi BBM pun juga masih cukup rasional, misalkan dengan pengalihan ke sektor produktif seperti infrastruktur dan pertanian.

Jika IMM memilih jalan demonstrasi yang bersifat anarkis, maka akan memunculkan friksi sosial di Masyarakat. Dampaknya akan lebih mengerikan daripada kenaikan BBM itu sendiri. Karena bisa berujung pada krisis sosial. Karena jumlah kader IMM se-antero negeri tidak sedikit. Mungkin jutaan.

Untuk itu, jika harus menolak. Maka ajukan secara argumentatif dan ilmiah. Jika bersikap netral, dan membiarkan BBM naik dengan alasan yang diajukan pemerintah, maka tugas IMM kedepan adalah mengawal re-alokasi anggaran tersebut. Benarkan untuk pembenahan infrastruktur dan pertanian?

Karena ini kebijakan pemerintah pusat, maka DPP IMM, daripada membuat statement yang provokatif dan agitatif di media massa, seperti “Kabinet Jokowi penuh kebohongan” dll. Alangkah baiknya untuk melakukan kajian intensif. Kalau perlu membuat sikap tertulis dengan dibarengi solusi jangka panjang.

Kalau menolak paparkan alasannya. Kalau mendukung paparkan juga alasannya. Tidak melalui surat instruksi seperti itu. Hal ini agar IMM di daerah, cabang hingga komisariat, memahami sikap DPP IMM secara utuh. Logis-rasional dan sistematis.

Setelah itu, DPP IMM membuat forum mediasi dengan pemerintah pusat dan menawarkan sikap tertulis itu beserta solusinya. Jika pemerintah pusat tak menanggapi atau bahkan mengacuhkan, maka demonstrasi adalah jalan yang baik untuk menyuarakan aspirasi.

Jika DPP IMM punya jejaring untuk internasionalisasi gerakan, dan sudah sering keluar negeri. Maka kalau hanya ke istana negara tentu sangat mudah. Kecuali jika ada interest politik tertentu. Saya tidak mau berprasangka, dan saya harap memang tidak ada. IMM tetap seperti halnya Muhammadiyah, tidak mendukung poros politik tertentu. Tetap kritis dan solutif.

Begitupun yang di daerah, cabang, hingga komisariat. Tak perlu terburu-buru untuk demonstrasi. Apalagi, ini adalah era penuh keterbukaan. Banyak cara menyuarakan aspirasi. Salah satunya dengan menemui pemerintah pusat, mediasi, atau menulis di media massa. Kalau tujuannya untuk didengar.

Demonstrasi, dan cara-cara represif lainnya, adalah langkah akhir ketika aspirasi sangat susah disuarakan. Misalkan era orde baru. Ketika politik dikuasahi oleh kekuatan tertentu, dan rakyat tak memilih sendiri pemimpinnya. Di lain hal, media dibungkam, dan orang kritis di cekal.

Sementara Jokowi-JK adalah pemimpin yang dipilih oleh mayoritas masyarakat, bukan parlemen, atau kekuatan politik tertentu. Sementara komunikasi masih sangat terbuka, baik melalui media massa atau mediasi langsung dengan penguasa. Hari ini, tidak gampang menjatuhkan presiden yang dipilih secara demokratis, melalui pemilu langsung. Berbeda dengan rezim Soeharto yang otoriter dan bertangan besi tersebut.

Demonstrasi sah-sah saja, asal bukan sebatas euforia. Karena tak sedikit demonstrasi yang hanya berujung pada kericuhan, atau ajang peneguhan eksistensi. Justru membuat masyarakat jengah dan semakin apriori terhadap gerakan mahasiswa.

Semoga IMM bisa menentukan sikap dengan bijak.

18 November 2014
A Fahrizal Aziz
Mantan Kabid RPK PC IMM Malang



[1]http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/09/25/1857475/Anggaran.Subsidi.BBM.2014.Masih.Besar
[2]http://www.bphmigas.go.id/new/berita/dinikmati-94-orang-kaya-subsidi-bbm-sebaiknya-dihapus/
[3]http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=17&notab=12
[4]http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/11/141117_bbm_subsidi
[5]http://www.tempo.co/read/news/2014/11/04/090619559/Jokowi-Subsidi-BBM-Dialihkan-ke-Pertanian