loading...

Jumat, 01 Mei 2015

IMM dan Prototipe Gerakan Mahasiswa



IMM adalah sebuah organisasi. Tentu ungkapan ini benar dan tak ada satupun yang membantah. Namun apakah sekedar organisasi? Untuk pertanyaan ini tentu kita butuh diskusi yang mendalam. Apalagi mengingat banyaknya organisasi mahasiswa dalam sebuah universitas.


Ketika masuk dalam kultur kampus, mahasiswa dihadapkan pada banyak pilihan organisasi. Mulai dari OMEK (Organisasi Mahasiswa ektra kampus), UKM (Unit kegiatan mahasiswa)/Ormawa, Organisasi intra semisal HMJ, Himaprodi, BEM, dan Sema, Orda (Organisasi daerah) hingga organisasi-organisasi lain yang berbasis komunitas. Dengan fakta demikian, banyak yang mengira jika kehidupan organisasi adalah ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa terpisahkan bagi mahasiswa.

Dari prototipe tersebut, IMM masuk dalam kategori OMEK. Khusus di PTM (Perguruan tinggi Muhammadiyah), IMM masuk dalam kategori ortom. Secara garis besar sama dengan OMEK, yang membedakan hanya fasilitas dan administrasi. Namun, antara OMEK, Intra, UKM, Orda dan lain-lain itu, tentu memiliki perbedaan. Itulah yang akan menjadi kajian utama dalam tulisan ini.

OMEK rata-rata adalah organisasi berbasis ideologi, meskipun ada juga yang tidak, namun stigma tersebut sudah sejak lama melekat. Di UIN Malang sendiri, Organisasi yang masuk kategori OMEK selain IMM adalah HMI, PMII, KAMMI, dan dikampus lain ada lagi semisal GMNI, Gema Pembebasan, PMKRI, Himmabudhi, dan sejenisnya. Organisasi berbasis ideologi tersebut biasanya memiliki garis struktural mulai dari lokal hingga nasional. Di IMM dikenal dengan hirarki Komisariat, Cabang, DPD, dan DPP.

Sebagai organisasi berbasis ideologi dan memiliki hirarki struktural, IMM memiliki ideologi dan tujuan yang sama secara nasional. Tujuannya adalah mengusahakan terbentuknya akademisi muslim yang berakhlak mulia dengan tiga kompetensi dasar : Intelektualitas, Religiusitas dan Humanitas. Seluruh kader/pengurus pasti hafal dengan tujuan dan tri kompetensi dasar tersebut. Meskipun untuk ideologi, hingga kini masih menjadi sesuatu yang sangat dialektis dan debatable.

Hal ini tentu berbeda dengan organisasi intra yang bersifat lokalistik semisal HMJ, Himaprodi, BEM, dan Sema. Secara fungsional, peran organisasi ini mungkin sama, di semua kampus di Indonesia. Namun kesamaan tersebut tidak terikat secara hirarkis. Organisasi intra tersebut sebagai wadah aktualisasi mahasiswa sekaligus lembaga penunjang jurusan/prodi/fakultas/universitas. Biasanya, organisasi intra ini dijadikan ajang perebutan OMEK, termasuk di UIN Malang ini.

Selain Organisasi Intra, ada juga organisasi berbasis hobi semisal UKM (Unit kegiatan Mahasiswa). Biasanya, UKM/Ormawa secara spesifik bergerak dalam satu hobi. Seperti UKM Musik, UKM Olah raga, UKM kepenulisan, UKM Jurnalistik, UKM Penelitian, UKM Pecinta Alam, UKM teater, dan sejenisnya. UKM adalah organisasi yang secara khusus bergerak dalam meningkatkan hobi/minat/skill tertentu. Dan mahasiswa yang mendaftarkan diri di UKM tersebut, tentu bertujuan untuk mengasah kemampuan/skill mereka dalam hal tertentu.

Beda lagi dengan orda (organisasi daerah). Organisasi ini hanya sebagai wadah silaturahim mahasiswa dari daerah tertentu. Tidak memiliki ideologi dan juga tidak bersifat hirarkis. Orda hanya tempat untuk bertemu, saling berbagi dan saling memupuk persaudaraan. Orda biasanya berkembang pesat, terutama yang letaknya jauh. Misalkan di Malang ini, orda dari luar jawa justru bisa hidup besar dan bahkan memiliki rumah/asrama permanen. Selain itu, Orda ini ada yang sebagian didanai oleh Pemerintah daerah.

Selain itu, ada lagi organisasi lain yang berbasis komunitas dan itu bersifat mandiri atau dikelola pihak kampus. Kalau di UIN Malang ada HTQ (Haiah tahfidz Quran) yang menjadi wadah penghafal Quran. Ada JDFI yang merupakan tempat mengasah skill mahasastri terutama dalam hal musik islami, broadcast, dan sejenisnya. Ada juga FLP (forum lingkar pena) yang fokus pada kepenulisan. Terkhusus FLP, bisa juga dikategorikan dalam OMEK karena memiliki hirarki mulai dari Ranting, Cabang, Wilayah, hingga Pusat.

OMEK, sebagai organisasi berbasis ideologi, tentu memiliki garis pergerakan yang sangat global. Secara administratif, OMEK berbeda dengan Intra yang bersifat koordinatif dan terikat oleh Universitas, Fakultas, dan Prodi. Selain itu, OMEK juga bukan organisasi yang bertujuan mengasah skill tertentu semisal UKM, bukan pula organisasi yang hanya terfokus pada ikatan daerah. hal inilah yang disatu sisi menjadi kelebihan OMEK, namun disisi lain memberikan kebingungan bagi kader atau pendaftar yang hendak bergabung dalam OMEK, termasuk IMM.

Saya pernah mengajak seseorang untuk mendaftar di IMM dan ia pun bertanya. IMM itu apa? Lalu ia menjelaskan, jika ikut UKM A, maka jelas yang diasah adalah kemampuan A. Kalau ikut intra maka jelas akan memiliki bergaining position dilingkungan kampus. Jika ikut Orda A pun jelas karena dia merupakan putra asli daerah tersebut. Kalau ikut IMM, maka apa yang kita lakukan?

Tentu kita tidak perlu menjelaskan jika IMM adalah salah satu OMEK dan juga salah satu ortom muhammadiyah. hal itu jelas sudah diketahui banyak orang. Selain itu, pada studi kasus di IMM UIN Malang, beberapa kader bahkan pengurus masih menganggap jika IMM sama seperti Intra, UKM atau bahkan Orda. Misalkan, untuk organisasi Intra, barometer kesuksesan kelembagaannya adalah kegiatan-kegiatan yang bersifat momentual semisal Ospek, seminar, diklat, dan sejenisnya. Maka tak sedikit pula yang beranggapan jika kesuksesan IMM sebagai organisasi adalah dengan banyaknya progam kerja yang terlaksana. Hal itu tidak salah, namun tentu terlalu sederhana.

IMM, Selalu disebut organisasi Dakwah, disebut juga organisasi perkaderan. Berjilid-jilid buku telah menjelaskan tentang itu. Namun bagi organisasi berbasis ideologi sebagaimana IMM ini, barometer kesuksesannya tentu tidak hanya pada program kerja, melainkan pada penanaman idealisme pada kadernya. Dan idealisme tentu sangat erat kaitannya dengan ideologi. Memang tidak semua orang mampu mendefinisikan ideologi yang ia anut, namun secara sadar atau tidak, setiap manusia memiliki ideologinya masing-masing, sekalipun tak terikat dengan organisasi apapun.

Idealisme, hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki ideologi. Idealisme adalah paham yang ideal. Ideal tidaknya paham yang ia anut maka sangat berkaitan erat dengan ideologi tersebut. Ideologi adalah ide-ide dasar. Sebagaimana pengertian yang pernah dikemukakan oleh Destutt De Tracy yang merupakan tokoh pertama yang memunculkan istilah itu. Ideologi adalah kumpulan ide  atau gagasan. Ide-ide atau gagasan dalam IMM sangat berkaitan dengan sejarah. Siapa yang mendirikan, kenapa didirikan, dan apa tujuan didirikannya.

Masalah ideologi di IMM masih bersifat dialektis dan debatable kemungkinan karena beberapa hal. Pertama, karena sang pendiri, Djasman Al Kindi tidak pernah secara rigid menjelaskan ide-ide dasar atau gagasan pribadinya ketika harus mendirikan IMM. Kedua, bisa juga karena ide-ide atau gagasan yang ada terlalu umum dan perlu penjabaran yang lebih spesifik. Dalam menjabarkan inilah, terjadi dialektika yang berkepanjangan. Ketiga, ideologi IMM tidak terwakili dalam satu tokoh melainkan dalam kesepakatan yang bersifat komunal. Sehingga sangat susah merumuskan yang spesifik.

Hal ini tentu berbeda dengan ideologi sosialis atau komunis yang di pelopori oleh Karl Marx. Ada tokohnya yang secara rigid menjelaskan ide-ide atau gagasannya dalam sebuah buku seperti Das Capital. Sehingga, seseorang yang mengikuti ide atau gagasan Karl Marx ini kemudian disebut Marxisme. Sosok Karl Marx tidak terwakilkan dalam ide atau gagasan ini. IMM secara umum menyakat jika ideloginya Islam. Lantas siapa yang bisa mewakili Islam secara spesifik?

Islam dalam perspektif Uslu Fiqh memiliki perbedaan yang begitu mencolok. Maka kemudian timbul pertanyaan, bisakah Islam dijadikan sebuah ideologi? Apalagi, menurut Destutt De Tracy, Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kalau Islam dijadikan ideologi, siapakah kiranya yang merumuskan ide atau gagasan Islam secara spesifik. Maka tak heran jika di barat, seorang Muslim sering disebut Muhammadanisme. Pengikut gereja pun juga diklaim sebagai pengikut Nabi Paulus.

Apalagi, dalam keyakinan kita sebagai Muslim, Nabi Muhammad hanya sebagai perantara. Sumber otentik dari Agama Islam ini berasal dari Allah Swt. Tak salah jika kemudian terjadi perdebatan panjang karena Islam memiliki instrument yang sangat luas jika dijadikan ideologi. Instrument itu bisa di sederhankan dengan kitab Suci Alquran, namun Alquran sendiri ternyata memiliki beragam tafsir. Maka sampai kapanpun, jika IMM menyatakan diri sebagai organisasi yang berideologi Islam, maka perdebatan itu tak akan pernah usai. Karena, siapakah sosok yang mampu mewakili Islam dalam satu makna?

Namun kekhawatiran tentang ideologi yang terlalu umum dan debatable tersebut bisa teratasi dengan mengkaji tujuan serta tiga kompetensi dasar yang telah ditetapkan IMM dan telah menjadi kesepakatan bersama. Hanya saja, baik tujuan maupun tri kompetensi dasar tersebut bersifat umum dan masih debatable.

Misalkan saja, apa yang disebut akademisi muslim? Kenapa tri kompetensi dasar yang dipilih adalah Intelektualitas, Religiusitas, dan Humanitas. Dalam bahasa kurikulum, tujuan IMM bisa juga disebut standart kompetensi dan tiga hal itu adalah kompetensi dasarnya. Hanya saja, belum ada indikator yang jelas bagimana mewujudkan standart kompetensi dan kompetensi dasar tersebut. SPI (Sistem Perkaderan Ikatan) pun juga belum begitu menjawab. Akhirnya, tipikal kader IMM sangat beraneka ragam. Ada yang kiri sekali, ada yang kanan pula.

Bisa jadi (dan sudah terjadi) jikalau ideologi IMM sangat akomodatif dengan ideologi lain seperti Marxisme yang masuk kategori kiri, serta ideologi kanan semisal Hasan Albanna yang mengilhami Ikhwanul Muslimin. Semoga tulisan ini dibaca oleh pengurus struktural tertinggi di IMM dan beliau bisa memberikan ulasan yang bisa menjawab tulisan dalam artikel ini.

Kembali ke bahasan awal tentang prototipe gerakan mahasiswa. Meskipun ideologi, tujuan dan kompetensi dasar masih bersifat dialektis, namun setidaknya IMM adalah organisasi yang tidak hanya berorientasi pada program kerja yang bersifat momentual, tapi disisi lain memiliki misi khusus untuk mendidik kadernya menjadi seorang yang intelek, religius, dan humanis. Hal itu tentu tidak mudah dan butuh waktu panjang, bisa jadi seumur hidup.

Dalam setiap kesempatan, ketika membuka acara DAD atau mengisi materi ke-IMM-an, saya selalu mengatakan bahwa IMM ingin kader-kadernya menjadi ‘Nabi’. Hal itu dikarenakan, tidak gampang membentuk pribadi yang intelek, religius dan humanis. Mungkin hanya Nabi yang memiliki tiga kepribadian itu secara sinergis. Karena dahulu, beliau tidak hanya sebagai agamawan, tapi juga tokoh politik, negarawan, sosok yang humanis dan intelek (menjadi rujukan umat dalam memecahkan persoalan hidup).

Selama ini, kita jarang menemui sosok yang mampu mewakili tiga hal tersebut. Rata-rata, seorang yang intelek terkonsentrasi di lembaga pendidikan semisal universitas. Para Agamawan terkonsentrasi di masjid-masjid untuk berceramah. Para aktivis sosial juga terkonsentrasi di LSM-LSM. Kader-kader pun juga demikian. Kadang yang rajin ibadah ritual disebut religius, yang rajin demonstrasi dan aksi advokasi disebut humanis. Yang rajin membaca, diskusi dan menulis disebut intelek. Sangat jarang sekali yang rajin ibadah, rajin juga melakukan advokasi, rajin pula membaca, diskusi dan menulis.

Meskipun demikian, upaya untuk menuju tri kompetensi dasar tersebut harus tetap diwujudkan. Karna pada akhirnya, tidak ada yang sempurna. Meskipun tri kompetensi dasar tersebut masih bersifat dialektis dan melahirkan beragam persepsi, namun pada akhirnya kita paham, jika perbedaan itulah yang mewakili Islam secara ideologi. Karena pada akhirnya, tidak mungkin juga menyederhanakan Islam dalam satu sudut pandang seseorang.

Karena prototipe gerakan yang begitu luas tersebut, siapapun yang masuk ke dalam OMEK, termasuk IMM, membutuhkan kedewasaan. Karena IMM memiliki dua tujuan yang sangat akomodatif dalam perspektif organisasi keumuman. Peran internal adalah untuk perkaderan, yaitu dengan mendidik kader. Salah satunya dengan merancang program pendukung perkaderan. Peran eksternal adalah dengan melakukan kegiatan-kegiatan momentual semisal seminar, bakti sosial, advokasi, dan bahkan demonstrasi.

Karena terjiwai oleh kedewasaan ideologis itulah, kadang OMEK memiliki pengaruh yang kuat terhadap lembaga lain. Misalkan di lembaga intra, UKM hingga Orda. Bahkan tak sedikit, baik lembaga intra, UKM, atau Orda yang digunakan sebagai ajang kaderisasi OMEK. Hal itu karena idelisme yang terbangun dalam organisasi yang berbasis ideologi, akan memberikan resonansi terhadap jiwa seseorang termasuk orang disekitarnya.

Di OMEK, termasuk IMM, selain dididik agar matang secara organisasi, juga matang secara ideologis. Seorang organisatoris bergerak dalam pertimbangan formal dan sistematis. Sementara ideologi digerakkan oleh pemahaman intelektual yang akhirnya mempengaruhi sikap dan cara pikir seseorang.

Jika ada kader IMM yang rajin shalat, bisa jadi karena terjiwai oleh ideologinya. Jika ada kader IMM yang rajin membaca, bisa jadi terjiwai oleh ideologinya, pun ketika kader IMM rajin demonstrasi, menulis, dan seterusnya, bisa jadi terjiwai oleh ideologinya. Hal ini sama dengan seorang Marxis yang tak pernah mau membeli barang-barang di supermarket karena itu merupakan simbol dari kapitalisasi ekonomi. Seorang marxis pun akhirnya memilih untuk berbelanja di pasar tradisional yang merupakan simbol ekonomi kerakyatan. Hal itu karena terjiwai oleh ideologi marxis.

Maka, sekalipun tri kompetensi dasar masih bersifat umum dan dialektis, selama semua memiliki tujuan yang baik, maka tak perlu di persoalkan. Namun akan menjadi masalah jika terjadi konflik karena perbedaan tersebut. Misalkan, akhir-akhir ini sering terjadi conflict of interest di IMM karena masalah cara pandang keislaman. Ada yang pro dengan liberalisme ada yang anti. Padahal, jika mengkaji ideologi IMM, sebagaimana tertulis diatas, kemungkinan perbedaan itu memang akan terjadi.

Semoga tulisan sederhana ini bisa menjadi bahan diskusi untuk kemajuan IMM kedepan. Wollohu’alam


Blitar, 5 Juni 2014
A Fahrizal Aziz
(Mantan Kabid Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Malang)