IMM adalah sebuah organisasi. Tentu ungkapan ini benar dan tak ada satupun yang membantah. Namun
apakah sekedar organisasi? Untuk pertanyaan ini tentu kita butuh diskusi yang
mendalam. Apalagi mengingat banyaknya organisasi mahasiswa dalam sebuah
universitas.
Ketika masuk
dalam kultur kampus, mahasiswa dihadapkan pada banyak pilihan organisasi. Mulai
dari OMEK (Organisasi Mahasiswa ektra kampus), UKM (Unit kegiatan
mahasiswa)/Ormawa, Organisasi intra semisal HMJ, Himaprodi, BEM, dan Sema, Orda
(Organisasi daerah) hingga organisasi-organisasi lain yang berbasis komunitas.
Dengan fakta demikian, banyak yang mengira jika kehidupan organisasi adalah
ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa terpisahkan bagi mahasiswa.
Dari prototipe
tersebut, IMM masuk dalam kategori OMEK. Khusus di PTM (Perguruan tinggi
Muhammadiyah), IMM masuk dalam kategori ortom. Secara garis besar sama dengan
OMEK, yang membedakan hanya fasilitas dan administrasi. Namun, antara OMEK,
Intra, UKM, Orda dan lain-lain itu, tentu memiliki perbedaan. Itulah yang akan
menjadi kajian utama dalam tulisan ini.
OMEK rata-rata
adalah organisasi berbasis ideologi, meskipun ada juga yang tidak, namun stigma
tersebut sudah sejak lama melekat. Di UIN Malang sendiri, Organisasi yang masuk
kategori OMEK selain IMM adalah HMI, PMII, KAMMI, dan dikampus lain ada lagi
semisal GMNI, Gema Pembebasan, PMKRI, Himmabudhi, dan sejenisnya. Organisasi
berbasis ideologi tersebut biasanya memiliki garis struktural mulai dari lokal
hingga nasional. Di IMM dikenal dengan hirarki Komisariat, Cabang, DPD, dan
DPP.
Sebagai
organisasi berbasis ideologi dan memiliki hirarki struktural, IMM memiliki
ideologi dan tujuan yang sama secara nasional. Tujuannya adalah mengusahakan
terbentuknya akademisi muslim yang berakhlak mulia dengan tiga kompetensi
dasar : Intelektualitas, Religiusitas dan Humanitas. Seluruh kader/pengurus
pasti hafal dengan tujuan dan tri kompetensi dasar tersebut. Meskipun untuk
ideologi, hingga kini masih menjadi sesuatu yang sangat dialektis dan
debatable.
Hal ini tentu
berbeda dengan organisasi intra yang bersifat lokalistik semisal HMJ, Himaprodi,
BEM, dan Sema. Secara fungsional, peran organisasi ini mungkin sama, di semua
kampus di Indonesia. Namun kesamaan tersebut tidak terikat secara hirarkis.
Organisasi intra tersebut sebagai wadah aktualisasi mahasiswa sekaligus lembaga
penunjang jurusan/prodi/fakultas/universitas. Biasanya, organisasi intra ini
dijadikan ajang perebutan OMEK, termasuk di UIN Malang ini.
Selain Organisasi
Intra, ada juga organisasi berbasis hobi semisal UKM (Unit kegiatan Mahasiswa).
Biasanya, UKM/Ormawa secara spesifik bergerak dalam satu hobi. Seperti UKM
Musik, UKM Olah raga, UKM kepenulisan, UKM Jurnalistik, UKM Penelitian, UKM
Pecinta Alam, UKM teater, dan sejenisnya. UKM adalah organisasi yang secara
khusus bergerak dalam meningkatkan hobi/minat/skill tertentu. Dan mahasiswa
yang mendaftarkan diri di UKM tersebut, tentu bertujuan untuk mengasah
kemampuan/skill mereka dalam hal tertentu.
Beda lagi dengan
orda (organisasi daerah). Organisasi ini hanya sebagai wadah silaturahim
mahasiswa dari daerah tertentu. Tidak memiliki ideologi dan juga tidak bersifat
hirarkis. Orda hanya tempat untuk bertemu, saling berbagi dan saling memupuk
persaudaraan. Orda biasanya berkembang pesat, terutama yang letaknya jauh.
Misalkan di Malang ini, orda dari luar jawa justru bisa hidup besar dan bahkan
memiliki rumah/asrama permanen. Selain itu, Orda ini ada yang sebagian didanai
oleh Pemerintah daerah.
Selain itu, ada
lagi organisasi lain yang berbasis komunitas dan itu bersifat mandiri atau
dikelola pihak kampus. Kalau di UIN Malang ada HTQ (Haiah tahfidz Quran) yang
menjadi wadah penghafal Quran. Ada JDFI yang merupakan tempat mengasah skill
mahasastri terutama dalam hal musik islami, broadcast, dan sejenisnya. Ada juga
FLP (forum lingkar pena) yang fokus pada kepenulisan. Terkhusus FLP, bisa juga
dikategorikan dalam OMEK karena memiliki hirarki mulai dari Ranting, Cabang,
Wilayah, hingga Pusat.
OMEK, sebagai
organisasi berbasis
ideologi, tentu memiliki garis pergerakan yang sangat
global. Secara administratif, OMEK berbeda dengan Intra yang bersifat
koordinatif dan terikat oleh Universitas, Fakultas, dan Prodi. Selain itu, OMEK
juga bukan organisasi yang bertujuan mengasah skill tertentu semisal UKM, bukan
pula organisasi yang hanya terfokus pada ikatan daerah. hal inilah yang disatu
sisi menjadi kelebihan OMEK, namun disisi lain memberikan kebingungan bagi
kader atau pendaftar yang hendak bergabung dalam OMEK, termasuk IMM.
Saya pernah
mengajak seseorang untuk mendaftar di IMM dan ia pun bertanya. IMM itu apa?
Lalu ia menjelaskan, jika ikut UKM A, maka jelas yang diasah adalah kemampuan
A. Kalau ikut intra maka jelas akan memiliki bergaining position
dilingkungan kampus. Jika ikut Orda A pun jelas karena dia merupakan putra asli
daerah tersebut. Kalau ikut IMM, maka apa yang kita lakukan?
Tentu kita tidak
perlu menjelaskan jika IMM adalah salah satu OMEK dan juga salah satu ortom
muhammadiyah. hal itu jelas sudah diketahui banyak orang. Selain itu, pada
studi kasus di IMM UIN Malang, beberapa kader bahkan pengurus masih menganggap
jika IMM sama seperti Intra, UKM atau bahkan Orda. Misalkan, untuk organisasi
Intra, barometer kesuksesan kelembagaannya adalah kegiatan-kegiatan yang
bersifat momentual semisal Ospek, seminar, diklat, dan sejenisnya. Maka tak
sedikit pula yang beranggapan jika kesuksesan IMM sebagai organisasi adalah
dengan banyaknya progam kerja yang terlaksana. Hal itu tidak salah, namun tentu
terlalu sederhana.
IMM, Selalu
disebut organisasi Dakwah, disebut juga organisasi perkaderan. Berjilid-jilid
buku telah menjelaskan tentang itu. Namun bagi organisasi berbasis ideologi
sebagaimana IMM ini, barometer kesuksesannya tentu tidak hanya pada program
kerja, melainkan pada penanaman idealisme
pada kadernya. Dan idealisme tentu sangat erat kaitannya dengan ideologi.
Memang tidak semua orang mampu mendefinisikan ideologi yang ia anut, namun
secara sadar atau tidak, setiap manusia memiliki ideologinya masing-masing,
sekalipun tak terikat dengan organisasi apapun.
Idealisme, hanya
diperuntukkan bagi mereka yang memiliki ideologi. Idealisme adalah paham yang
ideal. Ideal tidaknya paham yang ia anut maka sangat berkaitan erat dengan
ideologi tersebut. Ideologi adalah ide-ide dasar. Sebagaimana pengertian yang
pernah dikemukakan oleh Destutt De Tracy
yang merupakan tokoh pertama yang memunculkan istilah itu. Ideologi adalah
kumpulan ide atau gagasan. Ide-ide atau
gagasan dalam IMM sangat berkaitan dengan sejarah. Siapa yang mendirikan,
kenapa didirikan, dan apa tujuan didirikannya.
Masalah ideologi
di IMM masih bersifat dialektis dan debatable
kemungkinan karena beberapa hal. Pertama, karena sang pendiri, Djasman Al Kindi
tidak pernah secara rigid menjelaskan ide-ide dasar atau gagasan pribadinya
ketika harus mendirikan IMM. Kedua, bisa juga karena ide-ide atau gagasan yang
ada terlalu umum dan perlu penjabaran yang lebih spesifik. Dalam menjabarkan
inilah, terjadi dialektika yang berkepanjangan. Ketiga, ideologi IMM tidak
terwakili dalam satu tokoh melainkan dalam kesepakatan yang bersifat komunal.
Sehingga sangat susah merumuskan yang spesifik.
Hal ini tentu
berbeda dengan ideologi sosialis atau komunis yang di pelopori oleh Karl Marx.
Ada tokohnya yang secara rigid menjelaskan ide-ide atau gagasannya dalam sebuah
buku seperti Das Capital. Sehingga, seseorang yang mengikuti ide atau gagasan
Karl Marx ini kemudian disebut Marxisme. Sosok Karl Marx tidak terwakilkan dalam ide
atau gagasan ini. IMM secara umum menyakat jika ideloginya Islam. Lantas siapa
yang bisa mewakili Islam secara spesifik?
Islam dalam
perspektif Uslu Fiqh memiliki perbedaan yang begitu mencolok. Maka kemudian
timbul pertanyaan, bisakah
Islam dijadikan sebuah ideologi? Apalagi, menurut
Destutt De Tracy, Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kalau Islam
dijadikan ideologi, siapakah kiranya yang merumuskan ide atau gagasan Islam
secara spesifik. Maka tak heran jika di barat, seorang Muslim sering disebut
Muhammadanisme. Pengikut gereja pun juga diklaim sebagai pengikut Nabi Paulus.
Apalagi, dalam
keyakinan kita sebagai Muslim, Nabi Muhammad hanya sebagai perantara. Sumber
otentik dari Agama Islam ini berasal dari Allah Swt. Tak salah jika kemudian
terjadi perdebatan panjang karena Islam memiliki instrument yang sangat luas jika dijadikan ideologi. Instrument itu bisa di sederhankan dengan
kitab Suci Alquran, namun Alquran sendiri ternyata memiliki beragam tafsir.
Maka sampai kapanpun, jika IMM menyatakan diri sebagai organisasi yang
berideologi Islam, maka perdebatan itu tak akan pernah usai. Karena, siapakah
sosok yang mampu mewakili Islam dalam satu makna?
Namun
kekhawatiran tentang ideologi yang terlalu umum dan debatable tersebut bisa
teratasi dengan mengkaji tujuan serta tiga kompetensi dasar yang telah
ditetapkan IMM dan telah menjadi kesepakatan bersama. Hanya saja, baik tujuan
maupun tri kompetensi dasar tersebut bersifat umum dan masih debatable.
Misalkan saja,
apa yang disebut akademisi muslim? Kenapa tri kompetensi dasar yang dipilih
adalah Intelektualitas, Religiusitas, dan Humanitas. Dalam bahasa kurikulum,
tujuan IMM bisa juga disebut standart kompetensi dan tiga hal itu adalah
kompetensi dasarnya. Hanya saja, belum ada indikator yang jelas bagimana
mewujudkan standart kompetensi dan kompetensi dasar tersebut. SPI (Sistem
Perkaderan Ikatan) pun juga belum begitu menjawab. Akhirnya, tipikal kader IMM sangat
beraneka ragam. Ada yang kiri sekali, ada yang kanan pula.
Bisa jadi (dan
sudah terjadi) jikalau ideologi IMM sangat akomodatif dengan ideologi lain
seperti Marxisme yang masuk kategori kiri, serta ideologi kanan semisal Hasan
Albanna yang mengilhami Ikhwanul Muslimin. Semoga tulisan ini dibaca oleh
pengurus struktural tertinggi di IMM dan beliau bisa memberikan ulasan yang
bisa menjawab tulisan dalam artikel ini.
Kembali ke
bahasan awal tentang prototipe gerakan mahasiswa. Meskipun ideologi, tujuan dan
kompetensi dasar masih bersifat dialektis, namun setidaknya IMM adalah
organisasi yang tidak hanya berorientasi pada program kerja yang bersifat
momentual, tapi disisi lain memiliki misi khusus untuk mendidik kadernya
menjadi seorang yang intelek, religius, dan humanis. Hal itu tentu tidak mudah
dan butuh waktu panjang, bisa jadi seumur hidup.
Dalam setiap
kesempatan, ketika membuka acara DAD atau mengisi materi ke-IMM-an, saya selalu
mengatakan bahwa IMM ingin kader-kadernya menjadi ‘Nabi’. Hal itu dikarenakan,
tidak gampang membentuk pribadi yang intelek, religius dan humanis. Mungkin
hanya Nabi yang memiliki tiga kepribadian itu secara sinergis. Karena dahulu,
beliau tidak hanya sebagai agamawan, tapi juga tokoh politik, negarawan, sosok
yang humanis dan intelek (menjadi rujukan umat dalam memecahkan persoalan
hidup).
Selama ini, kita
jarang menemui sosok yang mampu mewakili tiga hal tersebut. Rata-rata, seorang
yang intelek terkonsentrasi di lembaga pendidikan semisal universitas. Para
Agamawan terkonsentrasi di masjid-masjid untuk berceramah. Para aktivis sosial
juga terkonsentrasi di LSM-LSM. Kader-kader pun juga demikian. Kadang yang
rajin ibadah ritual disebut religius, yang rajin demonstrasi dan aksi advokasi
disebut humanis. Yang rajin membaca, diskusi dan menulis disebut intelek.
Sangat jarang sekali yang rajin ibadah, rajin juga melakukan advokasi, rajin
pula membaca, diskusi dan menulis.
Meskipun
demikian, upaya untuk menuju tri kompetensi dasar tersebut harus tetap
diwujudkan. Karna pada akhirnya, tidak ada yang sempurna. Meskipun tri
kompetensi dasar tersebut masih bersifat dialektis dan melahirkan beragam
persepsi, namun pada akhirnya kita paham, jika perbedaan itulah yang mewakili
Islam secara ideologi. Karena pada akhirnya, tidak mungkin juga menyederhanakan
Islam dalam satu sudut pandang seseorang.
Karena prototipe
gerakan yang begitu luas tersebut, siapapun yang masuk ke dalam OMEK, termasuk
IMM, membutuhkan kedewasaan. Karena IMM memiliki dua tujuan yang sangat
akomodatif dalam perspektif organisasi keumuman. Peran internal adalah untuk
perkaderan, yaitu dengan mendidik kader. Salah satunya dengan merancang program
pendukung perkaderan. Peran eksternal adalah dengan melakukan kegiatan-kegiatan
momentual semisal seminar, bakti sosial, advokasi, dan bahkan demonstrasi.
Karena terjiwai
oleh kedewasaan ideologis itulah, kadang OMEK memiliki pengaruh yang kuat
terhadap lembaga lain. Misalkan di lembaga intra, UKM hingga Orda. Bahkan tak
sedikit, baik lembaga intra, UKM, atau Orda yang digunakan sebagai ajang
kaderisasi OMEK. Hal itu karena idelisme yang terbangun dalam organisasi yang
berbasis ideologi, akan memberikan resonansi terhadap jiwa seseorang termasuk
orang disekitarnya.
Di OMEK, termasuk
IMM, selain dididik agar matang secara organisasi, juga matang secara
ideologis. Seorang organisatoris bergerak dalam pertimbangan formal dan
sistematis. Sementara ideologi digerakkan oleh pemahaman intelektual yang
akhirnya mempengaruhi sikap dan cara pikir seseorang.
Jika ada kader
IMM yang rajin shalat, bisa jadi karena terjiwai oleh ideologinya. Jika ada
kader IMM yang rajin membaca, bisa jadi terjiwai oleh ideologinya, pun ketika
kader IMM rajin demonstrasi, menulis, dan seterusnya, bisa jadi terjiwai oleh
ideologinya. Hal ini sama dengan seorang Marxis yang tak pernah mau membeli
barang-barang di supermarket karena itu merupakan simbol dari kapitalisasi
ekonomi. Seorang marxis pun akhirnya memilih untuk berbelanja di pasar
tradisional yang merupakan simbol ekonomi kerakyatan. Hal itu karena terjiwai
oleh ideologi marxis.
Maka, sekalipun
tri kompetensi dasar masih bersifat umum dan dialektis, selama semua memiliki
tujuan yang baik, maka tak perlu di persoalkan. Namun akan menjadi masalah jika
terjadi konflik karena perbedaan tersebut. Misalkan, akhir-akhir ini sering
terjadi conflict of interest di IMM karena masalah cara pandang keislaman. Ada
yang pro dengan liberalisme ada yang anti. Padahal, jika mengkaji ideologi IMM,
sebagaimana tertulis diatas, kemungkinan perbedaan itu memang akan terjadi.
Semoga tulisan
sederhana ini bisa menjadi bahan diskusi untuk kemajuan IMM kedepan.
Wollohu’alam
Blitar,
5 Juni 2014
A
Fahrizal Aziz
(Mantan
Kabid Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Malang)