loading...

Jumat, 01 Mei 2015

IMM UIN Malang dalam stigma Politik dan Keilmuan




Awal tahun 2014, saya dihubungi oleh salah seorang kakanda IMM Malang. Sebelumnya, seorang kakanda IMM Malang yang lain, yang kesemuanya dari UMM, juga pernah mengirimkan sms kepada saya yang isinya demikian “..Sekarang IMM UIN lumayan penetratif ya. Sampai-sampai posisi PC 1 dan mayoritas kursi Cabang diduduki kader IMM UIN..” saya hanya membalas singkat. “...Bukankah ini makna dari Fastabiqul Khoirot Pak?”


Untuk yang kedua, saya diundang ke kantornya, terkhusus mengomentari tulisan saya berjudul “Pradana Boy, akankah menjadi simbol terakhir?”. Saya pikir, kakanda sekaligus senior IMM dari komisariat yang sangat hegemonif tersebut akan marah, mangkel, atau memberikan ultimatum serius kepada saya. Ternyata tidak. Justru sebaliknya.

“..Dari mana kamu bisa menganalisis sedetail itu?” tanyanya. Pikiran saya, apa susahnya membuat analisis di era yang serba canggih sekarang ini? jangankan untuk melacak tokoh-tokoh dalam negeri, dengan mudah kita bisa mengakses hasil penelitian atau biografi tokoh-tokoh internasional. Ia kemudian mengajak saya berdiskusi soal pengembangan keilmuan di Malang raya, dan trend akan bermula dari UIN Malang. intinya, IMM UIN Malang akan menjadi titik kedua simbol Intelektualisme IMM Malang raya, setelah UMM tentunya.

Bagaimana bisa? Pikir saya. Dengan mudah ia menjawab “...kalau hanya menguasahi jabatan politik seperti PC IMM Malang saja bisa, kenapa untuk hal-hal yang serba kultural begini saja tidak bisa?” sanggahnya.

Lalu saya menjelaskan bahwa kemenangan IMM UIN Malang –khususnya IMM non PTM Malang—diarena Musycab hanyalah efek kelanjutan dari gerakan cabang II yang perlahan-lahan berangsur menurun. Keterpilihan Yusuf Hamdani Abdi sebagai ketua PC IMM Malang bukan proses politik yang didesain oleh IMM UIN Malang, atau lebih tepatnya ---tidak berangkat dari proses politik. Semua ini hanyalah gejala sosial. Dan secara bersamaan, kekuatan Politik IMM UMM juga belum pulih benar. Faksi FAI dan Aufklarung masih susah bersatu. Sementara IMM UM, UB, Budi Utomo dan Kanjuruhan bersatu padu dalam pencapaian suara. Otomatis, ketika voting, kita menang telak.

Peristiwa keterpilihan kader non PTM –terutama UIN Malang—dalam jabatan struktural di PC IMM Malang ini akan susah berulang tahun depan (2015). Saya yakin. Karena yang tersisa di struktural hanyalah Fajrin dan Hafidz (yang masih potensial) sementara Saya, Yusuf, dan Rasikh sudah hampir tidak mungkin. Maka sia-sia saja menjadikan politik sebagai acuan kabangkitan. Karena tak ada yang abadi. Saya bahkan lebih tertarik mengomentari soal simbol intelektualisme yang terakhir terjadi di era Pradana Boy ZTF. Daripada Politik-struktural yang akan susah terulang itu.

Lalu 2014? Bagaimana?

Akhirnya Kakanda yang dulunya juga pernah menjabat sebagai Kabid Keilmuan PC IMM Malang tersebut mengajak kami untuk membangun budaya Keilmuan, terutama di IMM UIN Malang.

Sejenak saya merenung, melalui apa? IMM UIN Malang tidak punya L.O yang fokus ke kajian pemikiran. Saya jadi merenungi diri sendiri, kalau begitu selama ini saya belajar dari mana? berbeda dengan UMM yang memiliki L.O di berbagai fakultas, yang bisa diakses kader IMM. Ada PSIF, RGST, Resist, Akademos, dll. Jadi maklum lah jika di UMM, kader-kadernya mengalami akselerasi wacana.

La, di IMM UIN? Saya terdiam agak lama, sampai kemudian Yusuf sms dan mengabarkan sesuatu “..Kita bikin lembaga.” Dengan segera saya mengusulkan nama “..Paguyuban Srengenge.” Meskipun di otak saya berkecamuk kekhawatiran –atau trauma masa lalu. kegagalan membikin Komsata dan Almaun Community. Kalau ini gagal lagi, bakal menjadi lelucon.

Apa ini akan berhasil? Sementara Kakanda dari UMM itu terus mengajak saya untuk bergabung ke acaranya. Workshop, Seminar, atau sekedar diskusi interdisipliner yang tema kajiannya selalu berat dan harus banyak membaca itu. Beberapa kali sebuah sms menanyakan hal yang sama “...Bagaimana dengan gerakan keilmuan di UIN?”..

Sampai saat ini saya belum membalas sms itu!!!