Awal tahun 2014, saya dihubungi oleh salah seorang
kakanda IMM Malang. Sebelumnya, seorang kakanda IMM Malang yang lain, yang
kesemuanya dari UMM, juga pernah mengirimkan sms kepada saya yang isinya
demikian “..Sekarang IMM UIN lumayan penetratif ya. Sampai-sampai posisi PC 1
dan mayoritas kursi Cabang diduduki kader IMM UIN..” saya hanya membalas
singkat. “...Bukankah ini makna dari Fastabiqul Khoirot Pak?”
Untuk yang kedua, saya diundang ke kantornya, terkhusus
mengomentari tulisan saya berjudul “Pradana Boy, akankah menjadi simbol
terakhir?”. Saya pikir, kakanda sekaligus senior IMM dari komisariat yang
sangat hegemonif tersebut akan marah, mangkel, atau memberikan ultimatum serius
kepada saya. Ternyata tidak. Justru sebaliknya.
“..Dari mana kamu bisa menganalisis sedetail itu?”
tanyanya. Pikiran saya, apa susahnya membuat analisis di era yang serba canggih
sekarang ini? jangankan untuk melacak tokoh-tokoh dalam negeri, dengan mudah
kita bisa mengakses hasil penelitian atau biografi tokoh-tokoh internasional. Ia
kemudian mengajak saya berdiskusi soal pengembangan keilmuan di Malang raya,
dan trend akan bermula dari UIN Malang. intinya, IMM UIN Malang akan menjadi
titik kedua simbol Intelektualisme IMM Malang raya, setelah UMM tentunya.
Bagaimana bisa? Pikir saya. Dengan mudah ia menjawab
“...kalau hanya menguasahi jabatan politik seperti PC IMM Malang saja bisa,
kenapa untuk hal-hal yang serba kultural begini saja tidak bisa?” sanggahnya.
Lalu saya menjelaskan bahwa kemenangan IMM UIN Malang
–khususnya IMM non PTM Malang—diarena Musycab hanyalah efek kelanjutan dari
gerakan cabang II yang perlahan-lahan berangsur menurun. Keterpilihan Yusuf
Hamdani Abdi sebagai ketua PC IMM Malang bukan proses politik yang didesain
oleh IMM UIN Malang, atau lebih tepatnya ---tidak berangkat dari proses
politik. Semua ini hanyalah gejala sosial. Dan secara bersamaan, kekuatan
Politik IMM UMM juga belum pulih benar. Faksi FAI dan Aufklarung masih susah
bersatu. Sementara IMM UM, UB, Budi Utomo dan Kanjuruhan bersatu padu dalam pencapaian
suara. Otomatis, ketika voting, kita menang telak.
Peristiwa keterpilihan kader non PTM –terutama UIN
Malang—dalam jabatan struktural di PC IMM Malang ini akan susah berulang tahun
depan (2015). Saya yakin. Karena yang tersisa di struktural hanyalah Fajrin dan
Hafidz (yang masih potensial) sementara Saya, Yusuf, dan Rasikh sudah hampir
tidak mungkin. Maka sia-sia saja menjadikan politik sebagai acuan kabangkitan.
Karena tak ada yang abadi. Saya bahkan lebih tertarik mengomentari soal simbol
intelektualisme yang terakhir terjadi di era Pradana Boy ZTF. Daripada
Politik-struktural yang akan susah terulang itu.
Lalu 2014? Bagaimana?
Akhirnya Kakanda yang dulunya juga pernah menjabat
sebagai Kabid Keilmuan PC IMM Malang tersebut mengajak kami untuk membangun
budaya Keilmuan, terutama di IMM UIN Malang.
Sejenak saya merenung, melalui apa? IMM UIN Malang tidak
punya L.O yang fokus ke kajian pemikiran. Saya jadi merenungi diri sendiri,
kalau begitu selama ini saya belajar dari mana? berbeda dengan UMM yang
memiliki L.O di berbagai fakultas, yang bisa diakses kader IMM. Ada PSIF, RGST,
Resist, Akademos, dll. Jadi maklum lah jika di UMM, kader-kadernya mengalami
akselerasi wacana.
La, di IMM UIN? Saya terdiam agak lama, sampai kemudian
Yusuf sms dan mengabarkan sesuatu “..Kita bikin lembaga.” Dengan segera saya
mengusulkan nama “..Paguyuban Srengenge.” Meskipun di otak saya berkecamuk
kekhawatiran –atau trauma masa lalu. kegagalan membikin Komsata dan Almaun
Community. Kalau ini gagal lagi, bakal menjadi lelucon.
Apa ini akan berhasil? Sementara Kakanda dari UMM itu
terus mengajak saya untuk bergabung ke acaranya. Workshop, Seminar, atau
sekedar diskusi interdisipliner yang tema kajiannya selalu berat dan harus
banyak membaca itu. Beberapa kali sebuah sms menanyakan hal yang sama
“...Bagaimana dengan gerakan keilmuan di UIN?”..
Sampai saat ini saya belum membalas sms itu!!!