loading...

Jumat, 01 Mei 2015

Immawati dan warung kopi




Budaya ngopi sangat populer di IMM. Bahkan, dalam kegiatan formal, semisal Musyawarah Cabang, ngopi pun menjadi hal yang tak terelakkan. Belum lagi kalau membahas soal program dan isu-isu kontemporer. Ngopi menjadi sebuah tradisi dan siklus kultural yang kadang bisa merubah kebijakan dan orientasi kerja struktural. Secara faktual pun, forum formal semisal Musycab hanya menjadi ajang adu argument. Forum ‘sesungguhnya’ justru di warung kopi. Namun yang menjadi soal, ngopi selalu identik dengan laki-laki (Immawan), kopi pun juga selalu dikaitkan dengan maskulitas. Terutama kopi hitam. Apalagi, jadwal ngopi biasanya berlangsung malam. Sudah dipastikan, jarang –bahkan tak ada—partisipasi aktif dari Immawati.


Sekilas memang sepele. Ngopi tanpa Immawati. Namun jika di fikirkan lebih mendalam, ternyata efeknya lumayan besar.

Tiga tahun belakangan ini, di IMM Malang raya, peran Immawati nampak menurun drastis, terutama dalam bidang politik dan kelimuan. Meskipun secara kuantitatif, reproduksi Immawati berangkali terus bertambah. Peran Immawati hanya terlihat di dua bidang : Immawati dan Dakwah/TK2. Itupun karena bid. Immawati tak ‘terkontaminasi’ dengan Immawan, dan bid. Dakwah/TK2 juga merupakan ‘lahan kosong’ yang tak menarik perhatian ‘pasukan’ warung kopi.

Tak bisa kita pungkiri, ketua cabang atau orang-orang yang berada di balik suksesi mereka beberapa tahun terakhir ini adalah ‘produk’ warung kopi. Mungkin juga termasuk ketua korkom, dan beberapa ketua komisariat juga ‘produk’ warung kopi, yang dulunya dikader secara kultural.

Tidak hadirnya Immawati dalam budaya ngopi itu memunculkan dua hipotesis : Pertama. Lemahnya peran Immawati dalam percaturan politik, baik internal maupun eksternal. Dalam acara Musycab misalkan, Immawan sangat dominan sekali dalam penguasaan isu, strategi, hingga partisipasi struktural (baik formatur maupun pimpinan). Lemahnya peran Immawati tersebut tentu bukan keterbatasan intelektual maupun sosial, melainkan karena minimnya proses interaktif yang biasanya terjadi di warung kopi. Akhirnya, Immawan lah yang berperan penuh disini.

Kedua. Lemahnya peran Immawati dalam proses intelektualisme. Padahal, wacana keilmuan ini bisa lebih mudah diakses Immawati selain wacana politik. Namun, kita tak bisa memungkiri, budaya ngopi ternyata lebih berperan penting dalam pembentukan karakter kader dibandingkan diskusi formal yang terprogram di komisariat. Karena jarangnya –bahkan tak pernah—Immawati nimbrung dalam budaya ngopi, membuat kualitas intelektualnya kalah dengan Immawan.

Akhirnya, peran Immawati menjadi sangat reduktif. Dalam struktural, Immawati kerap kali “hanya” diberikan posisi sebagai petugas administratif. Kalau tidak bid. Organisasi, kader, maksimal sekretaris umum. Dalam berbagai agenda outdor, Immawati kerap kali hanya dijadikan housekeeper : memasak, menyiapkan snack jika ada tamu berkunjung, mempersiapkan surat-surat, dan mencatat pengeluaran. Itulah yang berangkali menjadi landasan dibentuknya bidang Immawati, namun tak ada bidang Immawan. Agar Immawati bisa lebih mengeksplorasi perannya, karena di bidang lain, Immawan sudah begitu dominan.

Tapi itu tak salah, karena perempuan (baca: Immawati) memang pola pikirnya lebih spesifik dan rigid dibanding laki-laki. Namun akan menjadi permasalahan jika peran-peran administratif tersebut dibebankan kepada Immawati karena Immawati tak terlalu memiliki peran dalam politik dan keilmuan. Sementara untuk hal-hal yang substansial, yang menyangkut kebijakan atau orientasi kerja, hanya dikerjakan Immawan. Itu pun di warung kopi pula.

Maka perlu ada reformasi budaya. Immawati memang tak perlu ikut Immawan ngopi di jam-jam malam, tapi setidaknya ada ruang interaktif antara keduanya. Immawati juga tak perlu membuat budaya ngopi tandingan, semisal budaya nge-teh sore atau budaya ngerujak khusus Immawati, agar bisa melawan dominasi Immawan.

Tapi setidaknya, ada partisipasi aktif antara Immawan dan Immawati, terutama dalam pembahasan wacana politik atau isu-isu kontemporer. Jadwal ngopi malam yang susah dijangkau Immawati, ada baiknya dirubah sore atau setelah magrib. Jika Immawati aktif dalam tradisi ngopi tersebut, barangkali tak akan ada ketimpangan struktural di pimpinan, terutama pimpinan cabang dan korkom. Dan Immawati tak selalu mendapatkan peran reduksionistik sebagai petugas administrasi atau penyedia snack.

Semoga ada yang membantah tulisan ini.
Blitar, 23 Desember 2014
A Fahrizal Aziz
Mantan Kabid RPK PC IMM Malang