Budaya ngopi sangat populer di IMM. Bahkan, dalam kegiatan
formal, semisal Musyawarah Cabang, ngopi pun menjadi hal yang tak
terelakkan. Belum lagi kalau membahas soal program dan isu-isu kontemporer. Ngopi
menjadi sebuah tradisi dan siklus kultural yang kadang bisa merubah kebijakan
dan orientasi kerja struktural. Secara faktual pun, forum formal semisal
Musycab hanya menjadi ajang adu argument. Forum ‘sesungguhnya’ justru di warung
kopi. Namun yang menjadi soal, ngopi selalu identik dengan laki-laki (Immawan),
kopi pun juga selalu dikaitkan dengan maskulitas. Terutama kopi hitam. Apalagi,
jadwal ngopi biasanya berlangsung malam. Sudah dipastikan, jarang
–bahkan tak ada—partisipasi aktif dari Immawati.
Sekilas memang sepele. Ngopi tanpa Immawati. Namun jika di fikirkan
lebih mendalam, ternyata efeknya lumayan besar.
Tiga tahun belakangan ini, di IMM Malang raya, peran Immawati nampak
menurun drastis, terutama dalam bidang politik dan kelimuan. Meskipun secara
kuantitatif, reproduksi Immawati berangkali terus bertambah. Peran Immawati
hanya terlihat di dua bidang : Immawati dan Dakwah/TK2. Itupun karena bid.
Immawati tak ‘terkontaminasi’ dengan Immawan, dan bid. Dakwah/TK2 juga
merupakan ‘lahan kosong’ yang tak menarik perhatian ‘pasukan’ warung kopi.
Tak bisa kita pungkiri, ketua cabang atau orang-orang yang berada di
balik suksesi mereka beberapa tahun terakhir ini adalah ‘produk’ warung kopi.
Mungkin juga termasuk ketua korkom, dan beberapa ketua komisariat juga ‘produk’
warung kopi, yang dulunya dikader secara kultural.
Tidak hadirnya Immawati dalam budaya ngopi itu memunculkan dua hipotesis
: Pertama. Lemahnya peran Immawati dalam percaturan politik, baik
internal maupun eksternal. Dalam acara Musycab misalkan, Immawan sangat dominan
sekali dalam penguasaan isu, strategi, hingga partisipasi struktural (baik
formatur maupun pimpinan). Lemahnya peran Immawati tersebut tentu bukan
keterbatasan intelektual maupun sosial, melainkan karena minimnya proses
interaktif yang biasanya terjadi di warung kopi. Akhirnya, Immawan lah yang
berperan penuh disini.
Kedua. Lemahnya peran Immawati dalam proses
intelektualisme. Padahal, wacana keilmuan ini bisa lebih mudah diakses Immawati
selain wacana politik. Namun, kita tak bisa memungkiri, budaya ngopi ternyata
lebih berperan penting dalam pembentukan karakter kader dibandingkan diskusi
formal yang terprogram di komisariat. Karena jarangnya –bahkan tak
pernah—Immawati nimbrung dalam budaya ngopi, membuat kualitas
intelektualnya kalah dengan Immawan.
Akhirnya, peran Immawati menjadi sangat reduktif. Dalam struktural,
Immawati kerap kali “hanya” diberikan posisi sebagai petugas administratif.
Kalau tidak bid. Organisasi, kader, maksimal sekretaris umum. Dalam berbagai
agenda outdor, Immawati kerap kali hanya dijadikan housekeeper :
memasak, menyiapkan snack jika ada tamu berkunjung, mempersiapkan surat-surat,
dan mencatat pengeluaran. Itulah yang berangkali menjadi landasan dibentuknya
bidang Immawati, namun tak ada bidang Immawan. Agar Immawati bisa lebih
mengeksplorasi perannya, karena di bidang lain, Immawan sudah begitu dominan.
Tapi itu tak salah, karena perempuan (baca: Immawati) memang pola
pikirnya lebih spesifik dan rigid dibanding laki-laki. Namun akan
menjadi permasalahan jika peran-peran administratif tersebut dibebankan kepada
Immawati karena Immawati tak terlalu memiliki peran dalam politik dan keilmuan.
Sementara untuk hal-hal yang substansial, yang menyangkut kebijakan atau
orientasi kerja, hanya dikerjakan Immawan. Itu pun di warung kopi pula.
Maka perlu ada reformasi budaya. Immawati memang tak perlu ikut Immawan
ngopi di jam-jam malam, tapi setidaknya ada ruang interaktif antara keduanya.
Immawati juga tak perlu membuat budaya ngopi tandingan, semisal budaya nge-teh
sore atau budaya ngerujak khusus Immawati, agar bisa melawan dominasi
Immawan.
Tapi setidaknya, ada partisipasi aktif antara Immawan dan Immawati,
terutama dalam pembahasan wacana politik atau isu-isu kontemporer. Jadwal ngopi
malam yang susah dijangkau Immawati, ada baiknya dirubah sore atau setelah
magrib. Jika Immawati aktif dalam tradisi ngopi tersebut, barangkali tak akan
ada ketimpangan struktural di pimpinan, terutama pimpinan cabang dan korkom.
Dan Immawati tak selalu mendapatkan peran reduksionistik sebagai petugas
administrasi atau penyedia snack.
Semoga ada yang membantah tulisan ini.
Blitar, 23 Desember 2014
A Fahrizal Aziz
Mantan Kabid RPK PC IMM Malang