Oleh : A Fahrizal Aziz*
Pertanyaan ini semacam resitasi dari pertanyaan yang
beberapa hari ini beredar. Kenapa tidak ada kader Muhammadiyah yang masuk
kabinet Jokowi-JK? dan para pakar hanya bisa menerka jawabannya. Yang lebih
tahu secara spesifik, adalah Jokowi sendiri, dan juga Jusuf Kalla. Tapi kalau
pertanyaannya di balik, Haruskah kader Muhammadiyah masuk kabinet Jokowi-JK?
maka siapapun bisa menjawab, mulai dari petinggi hingga kader biasa di
Muhammadiyah.
Saya termasuk yang kaget dengan struktur kabinet
Jokowi-JK. Ada beberapa nama yang prediktif, dan masuk. Ada beberapa nama yang
akseptable, tapi ternyata tidak masuk. Misalkan, Dahlan Iskan. Ada nama yang tidak
pernah terdengar, tapi justru masuk, dan jumlahnya signifikan. Terutama di
kursi MenKo.
Salah satu yang mengejutkan, adalah minusnya kader
Muhammadiyah. Kenapa? Bukan berarti Muhammadiyah mengharap posisi. Meskipun
tidak ada hubungan resiprokal antara Jokowi-JK dan Muhammadiyah dalam hal
Politik. Muhammadiyah tetap memilih menjadi sintesa antara pro dan kontra, tak
terjebak dalam kultur transaksional. Tapi saya sedikit paham, kenapa muncul
pertanyaan tersebut.
Pertama, Muhammadiyah diasosiasikan sebagai Organisasi
yang sukses dalam sosial-development, terutama dalam tiga bidang :
Pendidikan, Kesehatan, dan Agama. Belakangan, Muhammadiyah juga massif sekali
dalam gerakan penanggulangan bencana, yang dikomandoi secara progresif oleh
MDMC (Muhammadiyah Disaster and Mitigation Center). Maka, secara
aplikatif Muhammadiyah sudah cukup teruji.
Untuk itu, berbicara soal kabinet, bukan soal Preferensi.
Melainkan soal prestasi. Bukan soal disilusi, tapi soal kinerja yang teruji.
Muhammadiyah dinilai mampu bekerja dalam tingkat kesulitan yang tinggi. Untuk
itulah, sebagian menyayangkan, kenapa tidak ada kader Muhammadiyah dalam
kabinet Jokowi? Meskipun kita harus paham juga, bahwa jabatan Menteri bukan
jabatan kepangkatan. Melainkan Jabatan Politik. Dan Presiden lah yang memiliki
wewenang untuk menentukannya.
Kedua, dalam proses kampanye, kader-kader Muhammadiyah
juga ikut serta dalam dukungan relawan. Tak terkecuali untuk kampanye
Jokowi-JK, yang dikenal dengan Relawan Matahari. Tetapi sekali lagi, mengungkit-ungkit
itu justru akan membuat kita terjebak dalam disilusi berkepanjangan. Apalagi,
sejak awal Jokowi-JK mengusung jargon koalisi tanpa syarat. Meski terdengar
utopis, tapi itu cukup menjadi prasyarat normatif sekaligus persistensi bagi
Jokowi untuk keluar dari budaya balas budi.
Tidak harus masuk kabinet
Kendati demikian, Muhammadiyah tetap membutuhkan
keterbukaan birokrasi untuk mengembangkan dakwahnya, terutama dalam membangun
amal usaha seperti lembaga pendidikan dan rumah sakit. Apalagi, kini Kementrian
Pendidikan dibagi menjadi dua. Kementrian Pendidikan dasar dan menengah
(Dikdasmen) dan Kementrian Riset dan Pendidikan Tinggi. Domain yang selama ini
juga dijalankan oleh Muhammadiyah. Justifikasinya bukan soal menteri, tapi soal
keterbukaan birokrasi.
Untuk itu, kekecewaan karena tidak adanya Menteri di
dalam kabinet, justru mereduksi semangat Muhammadiyah sebagai organisasi besar
yang usianya 32 tahun lebih tua dari NKRI. Karena seharusnya, dalam struktur
silsilah. Muhammadiyah adalah Bapak bagi NKRI, bukan sebaliknya. Muhammadiyah
bisa memainkan perannya sebagai seorang Bapak.
Berperan sebagai Bapak bagi NKRI
Bapak memiliki sikap menjaga dan mengayomi. Tapi Bapak
juga memikul peran untuk mengoreksi jika terjadi kekeliruan, atau bergeser dari
khittah (pijakan) yang seharusnya. Dengan tidak adanya kader Muhammadiyah dalam
kabinet, justru akan lebih mudah bagi Muhammadiyah memainkan perannya. Tidak
harus merasa sungkan, atau canggung.
Sejauh ini, dalam berbagai aspek, Muhammadiyah sudah menjalankan
fungsi sebagai bapak dengan sangat baik. Misalkan dalam sektor pendidikan,
Muhammadiyah sangat mandiri, tidak tergantung oleh pemerintah. Muhammadiyah
telah berperan serta dalam proses pencerdasan bangsa. Betapa banyak kader-kader
brilian lahir dari rahim Muhammadiyah, dan mereka berdiaspora dalam berbagai
bidang, turut serta membangun keutuhan dan kemajuan negara.
Dalam bidang Politik, Muhammadiyah juga berperan sebagai
penyeimbang, bukan dalam arti oposisi. Melainkan lebih sebagai sintesa. Tidak
memihak ke satu figur atau satu kekuatan politik tertentu. Kalaupun ada, itu
bersifat personal bukan organisasional. Dalam bidang Politik, Muhammadiyah pun
sudah berperan dengan sangat baik sebagai seorang bapak.
Dalam bidang agama, Muhammadiyah juga turut serta
menciptakan wajah Islam yang damai, sejuk, dan produktif. Dakwah tak hanya bil
lisan, melainkan juga bil hal. Keislaman dan keimanan
dimanifestasikan dalam wujud karya, tidak hanya dalam bentuk ritual semata. Dan
masih banyak lagi peran sentral Muhammadiyah bagi NKRI ini.
Terkhusus untuk kepemimpinan Jokowi-JK, Muhammadiyah
harus tetap memerankan diri sebagai seorang Bapak. Di satu sisi tetap turut
serta memajukan bangsa, melalui amal usaha, karya-karya intelektual, atau
gerakan nyata yang lainnya. Di satu sisi tetap tajam mengkritis, mengawal
bangsa ini dalam menjalankan konstitusi.
Apalagi, Kabinet Jokowi-JK hanya didesain untuk 5 tahun
kedepan, dan Muhammadiyah tak terukur oleh waktu (Beyond the time),
insyaallah Muhammadiyah akan tetap tegak berdiri selama matahari masih terbit
dan menyinari. Sehingga, kursi menteri adalah ukuran yang sederhana untuk
organisasi sekelas Muhammadiyah.
Sebagai bapak, tugas Muhammadiyah adalah memberi dan
mengoreksi. Bukan menagih janji. Sekalipun bukan janji tertulis. Wallohu’alam.
*Eksponen Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah (JIMM)