loading...

Jumat, 01 Mei 2015

Haruskah kader Muhammadiyah masuk kabinet?



Oleh : A Fahrizal Aziz*

Pertanyaan ini semacam resitasi dari pertanyaan yang beberapa hari ini beredar. Kenapa tidak ada kader Muhammadiyah yang masuk kabinet Jokowi-JK? dan para pakar hanya bisa menerka jawabannya. Yang lebih tahu secara spesifik, adalah Jokowi sendiri, dan juga Jusuf Kalla. Tapi kalau pertanyaannya di balik, Haruskah kader Muhammadiyah masuk kabinet Jokowi-JK? maka siapapun bisa menjawab, mulai dari petinggi hingga kader biasa di Muhammadiyah.


Saya termasuk yang kaget dengan struktur kabinet Jokowi-JK. Ada beberapa nama yang prediktif, dan masuk. Ada beberapa nama yang akseptable, tapi ternyata tidak masuk. Misalkan, Dahlan Iskan. Ada nama yang tidak pernah terdengar, tapi justru masuk, dan jumlahnya signifikan. Terutama di kursi MenKo.

Salah satu yang mengejutkan, adalah minusnya kader Muhammadiyah. Kenapa? Bukan berarti Muhammadiyah mengharap posisi. Meskipun tidak ada hubungan resiprokal antara Jokowi-JK dan Muhammadiyah dalam hal Politik. Muhammadiyah tetap memilih menjadi sintesa antara pro dan kontra, tak terjebak dalam kultur transaksional. Tapi saya sedikit paham, kenapa muncul pertanyaan tersebut.

Pertama, Muhammadiyah diasosiasikan sebagai Organisasi yang sukses dalam sosial-development, terutama dalam tiga bidang : Pendidikan, Kesehatan, dan Agama. Belakangan, Muhammadiyah juga massif sekali dalam gerakan penanggulangan bencana, yang dikomandoi secara progresif oleh MDMC (Muhammadiyah Disaster and Mitigation Center). Maka, secara aplikatif Muhammadiyah sudah cukup teruji.

Untuk itu, berbicara soal kabinet, bukan soal Preferensi. Melainkan soal prestasi. Bukan soal disilusi, tapi soal kinerja yang teruji. Muhammadiyah dinilai mampu bekerja dalam tingkat kesulitan yang tinggi. Untuk itulah, sebagian menyayangkan, kenapa tidak ada kader Muhammadiyah dalam kabinet Jokowi? Meskipun kita harus paham juga, bahwa jabatan Menteri bukan jabatan kepangkatan. Melainkan Jabatan Politik. Dan Presiden lah yang memiliki wewenang untuk menentukannya.

Kedua, dalam proses kampanye, kader-kader Muhammadiyah juga ikut serta dalam dukungan relawan. Tak terkecuali untuk kampanye Jokowi-JK, yang dikenal dengan Relawan Matahari. Tetapi sekali lagi, mengungkit-ungkit itu justru akan membuat kita terjebak dalam disilusi berkepanjangan. Apalagi, sejak awal Jokowi-JK mengusung jargon koalisi tanpa syarat. Meski terdengar utopis, tapi itu cukup menjadi prasyarat normatif sekaligus persistensi bagi Jokowi untuk keluar dari budaya balas budi.

Tidak harus masuk kabinet

Kendati demikian, Muhammadiyah tetap membutuhkan keterbukaan birokrasi untuk mengembangkan dakwahnya, terutama dalam membangun amal usaha seperti lembaga pendidikan dan rumah sakit. Apalagi, kini Kementrian Pendidikan dibagi menjadi dua. Kementrian Pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) dan Kementrian Riset dan Pendidikan Tinggi. Domain yang selama ini juga dijalankan oleh Muhammadiyah. Justifikasinya bukan soal menteri, tapi soal keterbukaan birokrasi.

Untuk itu, kekecewaan karena tidak adanya Menteri di dalam kabinet, justru mereduksi semangat Muhammadiyah sebagai organisasi besar yang usianya 32 tahun lebih tua dari NKRI. Karena seharusnya, dalam struktur silsilah. Muhammadiyah adalah Bapak bagi NKRI, bukan sebaliknya. Muhammadiyah bisa memainkan perannya sebagai seorang Bapak.
                                          
Berperan sebagai Bapak bagi NKRI

Bapak memiliki sikap menjaga dan mengayomi. Tapi Bapak juga memikul peran untuk mengoreksi jika terjadi kekeliruan, atau bergeser dari khittah (pijakan) yang seharusnya. Dengan tidak adanya kader Muhammadiyah dalam kabinet, justru akan lebih mudah bagi Muhammadiyah memainkan perannya. Tidak harus merasa sungkan, atau canggung.

Sejauh ini, dalam berbagai aspek, Muhammadiyah sudah menjalankan fungsi sebagai bapak dengan sangat baik. Misalkan dalam sektor pendidikan, Muhammadiyah sangat mandiri, tidak tergantung oleh pemerintah. Muhammadiyah telah berperan serta dalam proses pencerdasan bangsa. Betapa banyak kader-kader brilian lahir dari rahim Muhammadiyah, dan mereka berdiaspora dalam berbagai bidang, turut serta membangun keutuhan dan kemajuan negara.

Dalam bidang Politik, Muhammadiyah juga berperan sebagai penyeimbang, bukan dalam arti oposisi. Melainkan lebih sebagai sintesa. Tidak memihak ke satu figur atau satu kekuatan politik tertentu. Kalaupun ada, itu bersifat personal bukan organisasional. Dalam bidang Politik, Muhammadiyah pun sudah berperan dengan sangat baik sebagai seorang bapak.

Dalam bidang agama, Muhammadiyah juga turut serta menciptakan wajah Islam yang damai, sejuk, dan produktif. Dakwah tak hanya bil lisan, melainkan juga bil hal. Keislaman dan keimanan dimanifestasikan dalam wujud karya, tidak hanya dalam bentuk ritual semata. Dan masih banyak lagi peran sentral Muhammadiyah bagi NKRI ini.

Terkhusus untuk kepemimpinan Jokowi-JK, Muhammadiyah harus tetap memerankan diri sebagai seorang Bapak. Di satu sisi tetap turut serta memajukan bangsa, melalui amal usaha, karya-karya intelektual, atau gerakan nyata yang lainnya. Di satu sisi tetap tajam mengkritis, mengawal bangsa ini dalam menjalankan konstitusi.

Apalagi, Kabinet Jokowi-JK hanya didesain untuk 5 tahun kedepan, dan Muhammadiyah tak terukur oleh waktu (Beyond the time), insyaallah Muhammadiyah akan tetap tegak berdiri selama matahari masih terbit dan menyinari. Sehingga, kursi menteri adalah ukuran yang sederhana untuk organisasi sekelas Muhammadiyah.

Sebagai bapak, tugas Muhammadiyah adalah memberi dan mengoreksi. Bukan menagih janji. Sekalipun bukan janji tertulis. Wallohu’alam.

*Eksponen Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)