Ini pertanyaan yang susah sekali saya jawab ketika harus
membujuk satu-dua kader yang merasa ‘kapok’ di IMM. Sebagai instruktur, tentu
saya memiliki tanggung jawab moral dalam hal ini. Selain itu, beberapa
‘eksodus’ kader IMM juga banyak yang mengajak saya diskusi tentang IMM yang
menurutnya tak sesuai dengan apa yang diceritakan senior-seniornya. Katanya,
antara teori (teks) dan realita sangat jauh berbeda.
Pernah suatu ketika, saya diajak bertemu kader IMM (Bukan
dari kampus UIN Malang), dengan suasana ‘patah hati’ dia bercerita banyak hal.
Mulai dari harapan besarnya masuk IMM dan realita empirik yang ia temui. “Kok
begini mas?” keluhnya kala itu. Ia merasa kecewa dengan sikap seniornya yang
awalnya melarang ini melarang itu, akan tetapi si senior tersebut justru
melakukannya. Saya tidak bisa menuliskan permasalahan apa yang di maksud dalam
blog ini, demi etika.
Jujur. Hal yang sama juga pernah saya rasakan ketika
masuk IMM dulu. Tetapi saya jadi teringat pesan Buya Syafii Maarif yang pernah
ditulis dalam sebuah artikel, saya lupa di koran mana, tapi beginilah pesannya.
“Lihatlah Islam dari sumber, bukan dari perilaku umatnya. Jika kita menilai
Islam berdasarkan perilaku umatnya, maka banyak hal yang mengecewakan. Misalkan
saja, Islam menyuruh umatnya untuk bersatu, ukhuwah, tetapi konflik antar
golongan tak pernah berkesudahan. Islam mengajak umatnya hidup sederhana, tetapi
banyak juga para muslim yang hidup bermewah-mewah.”
Saya mengambil sebuah korelasi terhadap IMM. “Lihatlah
IMM dari sumbernya, bukan dari perilaku kader/pengurusnya.” IMM boleh-boleh
saja mengajarkan tri kompentensi dasar ; Intelektualitas, Religiusitas, Humanitas.
Tapi banyak juga kader/pengurus IMM yang malas membaca buku, malas berdiskusi,
kalau adzan berkumandang tak lekas ke masjid untuk shalat, masih apatis
terhadap isu sosial yang berkembang terutama di kampusnya.
Selama ini, ia melihat IMM dari perilaku kader/pengurus,
terutama yang lebih senior darinya. Ia menilai bahwa segala hal yang melekat
terhadap kader, juga akan melekat dengan IMM. Misalkan ada satu kader IMM tak
menjalankan shalat wajib, maka segera berkembang isu : IMM nggak shalat. Hal itu
sama dengan perilaku segelintir umat Islam yang suka bertikai. Ketika orang non
muslim melihat ada kelompok islam yang gemar melakukan kekerasan. Dengan lekas
ia menjustice, Islam itu agama kekerasan.
Hal inilah yang kadang membuat kita resah. Timbul dua
pertanyaan besar dalam hal ini. Pertama, bagaimana pola perkaderan di IMM
selama ini, sehingga masih ada kader yang berlaku diluar teks atau garis haluan
ikatan. Kedua, apakah kemudian kita harus membenarkan perilaku tersebut? Saya
pun dilema menjawabnya.
Namun sejak dulu saya sudah belajar untuk menilai diri
sendiri. Barangkali, ada kader yang kecewa dengan sikap saya ketika menjadi
pengurus atau seniornya. Dan itu berimbas pada penilaiannya terhadap IMM.
Misalkan saja ketika saya memutuskan untuk resign dari kepengurusan PC IMM
Malang empat bulan lalu. ada salah seorang kader protes begini : seharusnya
kader IMM itu berlaku amanah dan tidak meninggalkan temannya yang berjuang
untuk membesarkan ikatan.
Lalu saya menjawab : saya tidak keluar dari IMM, tetapi
saya hanya keluar dari struktur. Sampai kapanpun saya tetap kader IMM dan
sebisa mungkin menjalankan program kerja di cabang yang sudah saya gagas. Namun
jawaban tersebut ternyata tak cukup. Dia kecewa berat dengan saya. Biar saja,
Kadang tak cukup kata untuk menjelaskan, karena saya yakin waktu lah yang akan
menjawabnya.
Maka saya mengambil kesimpulan. Satu sikap yang kita
anggap biasa, rasional dan realistis. Kadang dimaknai lain oleh kader baru.
Misalkan saja, ketika ada senior yang pacaran dan hubungan mereka berdua sangat
terbuka, ada salah seorang kader yang bertanya ke saya : kok kakak itu pacaran
ya? Kan tak etis sebagai senior IMM. Tentu saya kaget. Karena selama ini, hal
seperti itu biasa-biasa saja. Saya pun juga tak terlalu mempermasalahkan,
karena setahu saya, pacaran mereka masih wajar-wajar saja, tak sampai ekstrim.
Namun ternyata ada penilaian lain dan itu lumayan
mengusik pikiran, terutama kader baru yang bertanya tadi. Saya yakin, pemikiran
yang sama, dengan permasalahan yang berbeda, juga pernah dialami banyak kader
baru. Sehingga mereka tak lagi aktif di IMM bisa karena dua hal ; karena tak
punya keseriusan di IMM, atau karena terlalu menaruh harapan besar di IMM dan
harapan itu kandas karena realita yang ia temukan di dalamnya.
Sampai saat ini, saya masih kelimpungan kalau ada
pertanyaan seperti itu. Sembari mengukur diri dengan bayang-bayang. IMM memang
berbeda, antara teks (teori) yang mereka dapatkan di DAD dan realita yang
mereka temui ketika aktif menjadi kader, tetapi yang perlu diingat, kita selalu
berupaya untuk meraih idealitas itu. idealitas sebagai organisasi islam dan
idealitas sebagai kader IMM yang sesungguhnya. Apalagi, kerja di IMM adalah
kerja komunal, kolektif kolegial.
Ibarat kita memilih pasangan hidup, ketika hendak
menikah, kita percaya dia yang paling sempurna dan ideal sesuai kriteria kita.
Tetapi ketika suatu waktu ada hal-hal lain yang membuat kita kecewa, akankah
kita memutuskan hubungan begitu saja. Menceraikan begitu saja? Tentu tak
semudah itu.
Segala hal memang butuh pertimbangan, termasuk ketika
kita harus belajar menghadapi realita yang jauh dari harapan. Sembari
meluruskan yang bisa diluruskan, dan membenarkan yang bisa dibenarkan. Tanpa
sedikitpun merasa paling benar.
17 Ramadhan 1435 H
A Fahrizal Aziz