Sembari menikmati
sepiring nasi plus ikan patin ukuran sedang, saya melanjutkan diskusi kultural
dengan lima teman lainnya, kebetulan tiga diantara mereka adalah kader PMII,
dua kader HMI dan saya sebagai kader IMM. Saat itu, posisi kami tengah berada
di lesehan iwak kali, depan pom bensin bolorejo – Tulung agung. Kami
melanjutkan diskusi kami sebelumnya, diskusi tentang mahzab al-fikr
masing-masing organisasi.
Dari PMII, dengan
semangatnya menjelaskan tentang Aswaja, yang menjadi manhaj al-fikr
(sejenis ideologi). Aswaja sendiri adalah sebuah pemaknaan terhadap Islam yang
bertumpu pada empat hal : tasamuh, tafahum, ta’adul dan tawasun. Meskipun nama
Aswaja identik dengan ormas NU, tapi tak bisa dipungkiri, PMII memiliki kaitan
ideologis yang kuat dengan NU, meski secara hirarki organisasi, bukan lagi
bagian dari NU. Tetapi ideologi Aswaja itulah yang membuat kedua organisasi ini
memiliki benang merah yang saling berkaitan.
Aswaja sendiri,
secara faktual telah diterapkan oleh beberapa tokoh yang menjadi rujukan
kader-kader muda NU yang tergabung dalam PMII, semisal Gus Dur, Gus Mus, KH.
Said Agil Siradj, Zuhairi Misrwai, Masdar F. Mashuki, hingga Ulil Abshar
Abdalla. Aswaja, disadari atau tidak, telah menjadi magnet kuat dalam membentuk
karakter atau kepribadian kader-kader NU, termasuk yang berafiliasi di PMII.
Tokoh-tokoh
tersebut, setidaknya bisa menjadi rujukan secara personal bagi kader-kader
PMII. Dan adanya tokoh-tokoh tersebut, lebih memudahkan organisasi yang identik
dengan warna kuning ini, untuk mengartikulasikan ideologi (aswaja) yang menjadi
manhaj al-fikr mereka dalam bergerak maupun bersikap.
Sementara dari
pihak HMI, tentu sangat menjunjung tokoh besarnya, Prof. Nurcholish Madjid (Cak
Nur) yang selanjutnya menjadi “trend ideologis” terutama perihal keislaman. Cak
Nur sendiri adalah penggagas sekaligus penyusun NDP (Nilai Dasar Perjuangan)
HMI yang kemudian menjadi rujukan dalam gerak organisasi ini. Teologi inklusif
Cak Nur yang menitik beratkan pada sekularisasi dan pluralisme pun, tak pelak menjadi
rujukan bagi mayoritas kader-kader HMI.
HMI sendiri,
sebagai organisasi mahasiswa tertua di Indonesia telah memiliki banyak tokoh
yang berdiaspora ke berbagai sektor mulai dari politik, hukum, pendidikan, dll.
HMI pun juga punya banyak cendekiawan. Secara literal maupun faktual, HMI tak
akan mengalami ‘dehidrasi’ konsep. Ada hubungan resiprokal antara HMI dan KAHMI
(Korps. Alumni HMI) yang memiliki struktur sangat rapi.
Maka tak heran,
jika kader HMI pun bisa dengan lancar menjelaskan Mahzab al-fikr,
terutama ideologi Islam yang lebih mengacu pada teologi inklusivisme Cak Nur,
yang mencoba memaknai Islam, sejalan dengan ke-Indonesian. Konon, teori
sekularisasi dan pluralisme tersebut sangat akomodatif dengan paham HMI.
Lalu bagaimana
dengan IMM? Sebenarnya IMM sudah memiliki konsep umum yang di ringkas menjadi
tri kompetensi dasar. IMM juga sudah memiliki NDI. Seharusnya juga, IMM bisa
lebih mudah mengartikulasikan ideologinya karena memiliki garis
struktur-hirarkis dengan Muhammadiyah. Minimal, IMM bisa menjadikan ideologi
Muhammadiyah sebagai ideologi organisasinya. Namun, kalau boleh jujur, tri
kompetensi dasar pun masih sangat umum dan serba debatable.
Sebenarnya, IMM
tidak kekurangan konsep, sekalipun disadari atau tidak, banyak kader yang
merasa bingung ketika pertama kali masuk IMM. Kebingungan tersebut memunculkan
dua pertanyaan, IMM itu apa dan setelah menjadi kader saya mau kemana? Jika
ditarik ke pertanyaan yang lebih ilmiah, mungkin akan muncul beberapa
pertanyaan mendasar.
Apa
ideologi IMM? Bagaimana profil kadernya? Islam yang seperti apa, yang menjadi
basis karakter dan gerakan IMM? Apakah Mainstream ke-Islaman IMM sama dengan
HMI, PMII, atau justru KAMMI. Kalau berbeda, maka dimana letak perbedaannya?
Pertanyaan itulah
yang sempat muncul dalam benak saya. Untungnya, sebelum resign dari PC IMM
Malang, saya sempat membuat beberapa catatan yang sebenarnya adalah upaya
menjawab sendiri berbagai pertanyaan diatas. Selanjutnya, beberapa senior plus
alumnus IMM lainnya turut memberikan sumbangsih jawaban tersebut, terutama Mas
Hasnan Bachtiar yang secara eksplisit menyodorkan empat pemikiran tokoh yang
bisa menjadi manhaj al-fikr IMM.
Jawaban lainnya
saya dapat dari membaca beberapa buku, terutama buku-buku yang ditulis senior
IMM yang terhimpun dalam JIMM. Karena posisi saya di Malang, persinggungan
langsungnya adalah dengan Pradana Boy ZTF.
Sejauh ini, manhaj
al-fikr yang populer di lingkungan IMM adalah Kuntowijoyo dengan ISP (Ilmu
Sosial Profetik). Pemikiran Kuntowijoyo tentang Kader Profetik yang melakukan
tiga misi : Transedensi, Liberasi, dan Humanisasi tersebut, dinilai sangat
sejalan dengan Muhammadiyah. Secara faktual, apa yang di teorikan Kuntowijoyo
sudah dijalankan Muhammadiyah di awal-awal gerakannya, hingga memunculkan banyak
amal usaha.
Alternatif lain
adalah teori Islam Transformatif atau Teologi Transformatif yang dikarang oleh
Moeslim Abdurrahman dan Mansour Fakih, yang lebih mengartikulasikan Islam
sebagai solusi mengatasi kemiskinan. Berbeda dengan Cak Nur –berdasar kritik
Nur Khalik Ridwan—yang lebih menekankan pada aspek teologis antar agama.
Pemikiran Kang Moeslim dan Mansour Fakih dinilai lebih membumi. Islam bisa
menjadi alat transformasi sosial.
Pemikiran Moeslim
Abdurrahman dan Mansour Fakih ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan pemikiran
Muhammadiyah awal yang diusung oleh KH. Ahmad Dahlan, yang menginginkan Islam
bukan sebatas Ibadah-ritual, melainkan bisa menjadi medium pembebasan umat,
terutama dari kemiskinan dan kebodohan. Andaikan KH. Ahmad Dahlan membuat satu
konstruksi teori, mungkin hasilnya kurang lebih sama dengan Teologi
Transformatif ataupun Islam Transformatif. Hanya saja, KH. Ahmad Dahlan bukan
berlatar akademisi. Beliau hanya seorang Kyai kampung yang kebetulan memiliki
pola pikir yang kosmopolite.
Disisi lain,
pemikiran Moeslim Abdurrahman kemudian di apresiasi oleh anak-anak muda
Muhammadiyah yang tergabung dalam JIMM (Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah). meskipun JIMM kerap kali mendapatkan serangan argumentatif dari
berbagai pihak, yang menyamakannya dengan JIL. Bahkan ada statement terbuka
yang mengatakan jika JIMM adalah JIL-nya Muhammadiyah. Padahal jika dikaji
ulang, baik secara ideologis maupun gerakan, tentu sangat berbeda.
Lahirnya JIMM
adalah berkah ideologis, meskipun disatu sisi bisa menimbulkan friksi
dikalangan sesepuh Muhammadiyah yang rata-rata belum siap menerima pemikiran
progresif anak-anak mudanya, atau bisa jadi karena memang ada perbedaan,
meskipun hanya pada terminologi (semantik). JIMM yang sebagian besar adalah aktivis
IMM, bisa menjadi partner yang bagus dalam pengembangan kader, maupun rujukan
institusional terhadap manhaj al-fikr IMM kedepan.
Apalagi, friksi
antara Muhammadiyah konservatif –meminjam istilah Pradana Boy—dan JIMM kian
hari kian mereda. JIMM sudah bisa diterima oleh banyak pihak, bahkan ketua umum
PP Muhammadiyah Din Syamsudin sudah sangat welcome dengan JIMM.
Tentu ini adalah
moment yang berharga bagi IMM untuk membuat konstruksi ideologi organisasinya.
Kalau PMII punya Aswaja, HMI condong ke teologi Inklusif Cak nur, maka IMM bisa
menggunakan Islam Transformatif sebagai aktualisasi ideologi. Tentunya, melalui
diskusi serius terlebih dahulu, baik secara formal maupun kultural, serta
mengajak alumni IMM yang tergabung dalam JIMM untuk membuat konstruksi ideologi
tersebut.
Terkhusus
kader-kader IMM di Malang, tentu kesempatan untuk dialog itu semakin terbuka,
karena koordinator JIMM kini ada di Malang, dan saya dengar kedepan basis
gerakannya juga akan semakin masif, setelah lahir Rumah Inspirasi yang menaungi
beberapa lembaga.
Selamat berjuang,
Fastabiqul Khoirot!
1
Desember 2014,
A
Fahrizal Aziz, Mantan Kabid RPK PC IMM Malang