loading...

Jumat, 01 Mei 2015

Mempertimbangkan Manhaj al-fikr IMM



Sembari menikmati sepiring nasi plus ikan patin ukuran sedang, saya melanjutkan diskusi kultural dengan lima teman lainnya, kebetulan tiga diantara mereka adalah kader PMII, dua kader HMI dan saya sebagai kader IMM. Saat itu, posisi kami tengah berada di lesehan iwak kali, depan pom bensin bolorejo – Tulung agung. Kami melanjutkan diskusi kami sebelumnya, diskusi tentang mahzab al-fikr masing-masing organisasi.


Dari PMII, dengan semangatnya menjelaskan tentang Aswaja, yang menjadi manhaj al-fikr (sejenis ideologi). Aswaja sendiri adalah sebuah pemaknaan terhadap Islam yang bertumpu pada empat hal : tasamuh, tafahum, ta’adul dan tawasun. Meskipun nama Aswaja identik dengan ormas NU, tapi tak bisa dipungkiri, PMII memiliki kaitan ideologis yang kuat dengan NU, meski secara hirarki organisasi, bukan lagi bagian dari NU. Tetapi ideologi Aswaja itulah yang membuat kedua organisasi ini memiliki benang merah yang saling berkaitan.

Aswaja sendiri, secara faktual telah diterapkan oleh beberapa tokoh yang menjadi rujukan kader-kader muda NU yang tergabung dalam PMII, semisal Gus Dur, Gus Mus, KH. Said Agil Siradj, Zuhairi Misrwai, Masdar F. Mashuki, hingga Ulil Abshar Abdalla. Aswaja, disadari atau tidak, telah menjadi magnet kuat dalam membentuk karakter atau kepribadian kader-kader NU, termasuk yang berafiliasi di PMII.

Tokoh-tokoh tersebut, setidaknya bisa menjadi rujukan secara personal bagi kader-kader PMII. Dan adanya tokoh-tokoh tersebut, lebih memudahkan organisasi yang identik dengan warna kuning ini, untuk mengartikulasikan ideologi (aswaja) yang menjadi manhaj al-fikr mereka dalam bergerak maupun bersikap.

Sementara dari pihak HMI, tentu sangat menjunjung tokoh besarnya, Prof. Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang selanjutnya menjadi “trend ideologis” terutama perihal keislaman. Cak Nur sendiri adalah penggagas sekaligus penyusun NDP (Nilai Dasar Perjuangan) HMI yang kemudian menjadi rujukan dalam gerak organisasi ini. Teologi inklusif Cak Nur yang menitik beratkan pada sekularisasi dan pluralisme pun, tak pelak menjadi rujukan bagi mayoritas kader-kader HMI.

HMI sendiri, sebagai organisasi mahasiswa tertua di Indonesia telah memiliki banyak tokoh yang berdiaspora ke berbagai sektor mulai dari politik, hukum, pendidikan, dll. HMI pun juga punya banyak cendekiawan. Secara literal maupun faktual, HMI tak akan mengalami ‘dehidrasi’ konsep. Ada hubungan resiprokal antara HMI dan KAHMI (Korps. Alumni HMI) yang memiliki struktur sangat rapi.

Maka tak heran, jika kader HMI pun bisa dengan lancar menjelaskan Mahzab al-fikr, terutama ideologi Islam yang lebih mengacu pada teologi inklusivisme Cak Nur, yang mencoba memaknai Islam, sejalan dengan ke-Indonesian. Konon, teori sekularisasi dan pluralisme tersebut sangat akomodatif dengan paham HMI.

Lalu bagaimana dengan IMM? Sebenarnya IMM sudah memiliki konsep umum yang di ringkas menjadi tri kompetensi dasar. IMM juga sudah memiliki NDI. Seharusnya juga, IMM bisa lebih mudah mengartikulasikan ideologinya karena memiliki garis struktur-hirarkis dengan Muhammadiyah. Minimal, IMM bisa menjadikan ideologi Muhammadiyah sebagai ideologi organisasinya. Namun, kalau boleh jujur, tri kompetensi dasar pun masih sangat umum dan serba debatable.

Sebenarnya, IMM tidak kekurangan konsep, sekalipun disadari atau tidak, banyak kader yang merasa bingung ketika pertama kali masuk IMM. Kebingungan tersebut memunculkan dua pertanyaan, IMM itu apa dan setelah menjadi kader saya mau kemana? Jika ditarik ke pertanyaan yang lebih ilmiah, mungkin akan muncul beberapa pertanyaan mendasar.

Apa ideologi IMM? Bagaimana profil kadernya? Islam yang seperti apa, yang menjadi basis karakter dan gerakan IMM? Apakah Mainstream ke-Islaman IMM sama dengan HMI, PMII, atau justru KAMMI. Kalau berbeda, maka dimana letak perbedaannya?

Pertanyaan itulah yang sempat muncul dalam benak saya. Untungnya, sebelum resign dari PC IMM Malang, saya sempat membuat beberapa catatan yang sebenarnya adalah upaya menjawab sendiri berbagai pertanyaan diatas. Selanjutnya, beberapa senior plus alumnus IMM lainnya turut memberikan sumbangsih jawaban tersebut, terutama Mas Hasnan Bachtiar yang secara eksplisit menyodorkan empat pemikiran tokoh yang bisa menjadi manhaj al-fikr IMM.

Jawaban lainnya saya dapat dari membaca beberapa buku, terutama buku-buku yang ditulis senior IMM yang terhimpun dalam JIMM. Karena posisi saya di Malang, persinggungan langsungnya adalah dengan Pradana Boy ZTF.

Sejauh ini, manhaj al-fikr yang populer di lingkungan IMM adalah Kuntowijoyo dengan ISP (Ilmu Sosial Profetik). Pemikiran Kuntowijoyo tentang Kader Profetik yang melakukan tiga misi : Transedensi, Liberasi, dan Humanisasi tersebut, dinilai sangat sejalan dengan Muhammadiyah. Secara faktual, apa yang di teorikan Kuntowijoyo sudah dijalankan Muhammadiyah di awal-awal gerakannya, hingga memunculkan banyak amal usaha.

Alternatif lain adalah teori Islam Transformatif atau Teologi Transformatif yang dikarang oleh Moeslim Abdurrahman dan Mansour Fakih, yang lebih mengartikulasikan Islam sebagai solusi mengatasi kemiskinan. Berbeda dengan Cak Nur –berdasar kritik Nur Khalik Ridwan—yang lebih menekankan pada aspek teologis antar agama. Pemikiran Kang Moeslim dan Mansour Fakih dinilai lebih membumi. Islam bisa menjadi alat transformasi sosial.

Pemikiran Moeslim Abdurrahman dan Mansour Fakih ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan pemikiran Muhammadiyah awal yang diusung oleh KH. Ahmad Dahlan, yang menginginkan Islam bukan sebatas Ibadah-ritual, melainkan bisa menjadi medium pembebasan umat, terutama dari kemiskinan dan kebodohan. Andaikan KH. Ahmad Dahlan membuat satu konstruksi teori, mungkin hasilnya kurang lebih sama dengan Teologi Transformatif ataupun Islam Transformatif. Hanya saja, KH. Ahmad Dahlan bukan berlatar akademisi. Beliau hanya seorang Kyai kampung yang kebetulan memiliki pola pikir yang kosmopolite.

Disisi lain, pemikiran Moeslim Abdurrahman kemudian di apresiasi oleh anak-anak muda Muhammadiyah yang tergabung dalam JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). meskipun JIMM kerap kali mendapatkan serangan argumentatif dari berbagai pihak, yang menyamakannya dengan JIL. Bahkan ada statement terbuka yang mengatakan jika JIMM adalah JIL-nya Muhammadiyah. Padahal jika dikaji ulang, baik secara ideologis maupun gerakan, tentu sangat berbeda.

Lahirnya JIMM adalah berkah ideologis, meskipun disatu sisi bisa menimbulkan friksi dikalangan sesepuh Muhammadiyah yang rata-rata belum siap menerima pemikiran progresif anak-anak mudanya, atau bisa jadi karena memang ada perbedaan, meskipun hanya pada terminologi (semantik). JIMM yang sebagian besar adalah aktivis IMM, bisa menjadi partner yang bagus dalam pengembangan kader, maupun rujukan institusional terhadap manhaj al-fikr IMM kedepan.

Apalagi, friksi antara Muhammadiyah konservatif –meminjam istilah Pradana Boy—dan JIMM kian hari kian mereda. JIMM sudah bisa diterima oleh banyak pihak, bahkan ketua umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin sudah sangat welcome dengan JIMM.

Tentu ini adalah moment yang berharga bagi IMM untuk membuat konstruksi ideologi organisasinya. Kalau PMII punya Aswaja, HMI condong ke teologi Inklusif Cak nur, maka IMM bisa menggunakan Islam Transformatif sebagai aktualisasi ideologi. Tentunya, melalui diskusi serius terlebih dahulu, baik secara formal maupun kultural, serta mengajak alumni IMM yang tergabung dalam JIMM untuk membuat konstruksi ideologi tersebut.

Terkhusus kader-kader IMM di Malang, tentu kesempatan untuk dialog itu semakin terbuka, karena koordinator JIMM kini ada di Malang, dan saya dengar kedepan basis gerakannya juga akan semakin masif, setelah lahir Rumah Inspirasi yang menaungi beberapa lembaga.
Selamat berjuang, Fastabiqul Khoirot!
1 Desember 2014,
A Fahrizal Aziz, Mantan Kabid RPK PC IMM Malang