Kerap kali saya mendapatkan undangan dari beberapa lembaga, yang secara
kultural dikelola oleh kader-kader HMI dan PMII. Lembaga tersebut bisa
berbentuk komunitas ataupun LSM. Secara hirarkis memang tidak berada langsung
dibawah naungan HMI ataupun PMII, tetapi lembaga tersebut merupakan bagian
integral dari bangunan kultural dua OMEK tersebut.
Di UIN Malang, PMII telah melebarkan sayapnya melalui institusi formal
semisal OMIK, hingga ke institusi non formal, L.O hingga komunitas kebudayaan
semisal klub teater atau klub sastra. HMI pun, melalui jejaring KAHMI juga
menempa basis kulturalnya di LSM besar, yang paling kentara adalah MCW dan
Instrans Institute. KAMMI, dulunya juga memiliki beberapa wadah kultural
semisal AIR, GPN (Gerakan Pewaris Negeri) dan secara ideologis mengelola LDK
(Lembaga Dakwah Kampus).
Betapa pentingnya bangunan kultural tersebut? Tentu sangat penting,
selain tidak begitu mengikat secara kelembagaan, wadah-wadah kultural tersebut
lebih cair dalam menjalankan agenda-agendanya, serta lebih spesifik. Misalkan
wadah kajian politik, klub teater, sastra, penerbitan, dll. OMEK-OMEK tersebut
menjadi wadah besar atau payung ideologis.
IMM UIN Malang, termasuk yang –entah kurang peka atau bagaimana—sangat
jarang menyentuh wilayah kultural yang bersifat orientatif. Kritik semacam ini,
tentu dialamatkan kepada semua pihak, termasuk saya sendiri, yang pada saat
masih menjadi pengurus harian, mencoba membangun wadah kultural semisal Al
Ma’un Community dan Komsata (Komunitas Syariah Tarbiyah). Penetrasi tersebut
sempat saya lebarkan hingga ke forum IMM non PTM Malang. Namun memang kurang maksimal.
Kita harus menyadari bahwa : Pertama, IMM UIN Maliki tak memiliki
kekuatan politik secara signifikan. Ekspansi kader ke lembaga semisal OMIK dan
UKM, juga cenderung lemah, kalaupun ada hanya bersifat individual dan
selebihnya hanya sebagai follower. Belum lagi jejaring alumni, secara garis
besar, jejaring Muhammadiyah di UIN Maliki masih satu komando dengan KAHMI.
KAHMI pun terpecah menjadi dua kubu. Kubu yang pro kampus, dan kubu yang
kritis.
Kedua, karena lemahnya kekuatan politik, maka tak ada pilihan lain
selain membangun wadah kultural dengan memaksimalkan jejaring yang ada. Sebagai
bekas bid. Keilmuan/RPK, saya masih belum menyerah untuk turut serta dalam
membangun wadah kultural tersebut. Di PC IMM Malang, Tim Riset yang seharusnya
kini bernama Khalam Institute, yang kelak menjadi wadah kultural bagi para
peneliti muda di IMM, telah gagal terbentuk karena beberapa hal.
Maka, salah satu gagasan terbaru adalah dengan mendirikan Paguyuban
Srengenge yang lebih berorientasi pada intelectual networking. Paguyuban
inilah yang diharapkan mampu menjadi katalisator pengembangan keilmuan.
Tentunya dengan memanfaatkan jejaring yang ada semisal Rumah Inspirasi, PSIF,
RGST dll yang secara kultural juga dikelola oleh kader-kader/domisioner IMM.
Betapapun adanya, optimisme harus selalu digelorakan, terlepas ada atau
tidaknya, karena perubahan menuntut sikap, bukan sekedar penantian. Salam
perjuangan!
A Fahrizal Aziz,