loading...

Jumat, 01 Mei 2015

Menata bangunan kultural IMM Maliki




Kerap kali saya mendapatkan undangan dari beberapa lembaga, yang secara kultural dikelola oleh kader-kader HMI dan PMII. Lembaga tersebut bisa berbentuk komunitas ataupun LSM. Secara hirarkis memang tidak berada langsung dibawah naungan HMI ataupun PMII, tetapi lembaga tersebut merupakan bagian integral dari bangunan kultural dua OMEK tersebut.


Di UIN Malang, PMII telah melebarkan sayapnya melalui institusi formal semisal OMIK, hingga ke institusi non formal, L.O hingga komunitas kebudayaan semisal klub teater atau klub sastra. HMI pun, melalui jejaring KAHMI juga menempa basis kulturalnya di LSM besar, yang paling kentara adalah MCW dan Instrans Institute. KAMMI, dulunya juga memiliki beberapa wadah kultural semisal AIR, GPN (Gerakan Pewaris Negeri) dan secara ideologis mengelola LDK (Lembaga Dakwah Kampus).

Betapa pentingnya bangunan kultural tersebut? Tentu sangat penting, selain tidak begitu mengikat secara kelembagaan, wadah-wadah kultural tersebut lebih cair dalam menjalankan agenda-agendanya, serta lebih spesifik. Misalkan wadah kajian politik, klub teater, sastra, penerbitan, dll. OMEK-OMEK tersebut menjadi wadah besar atau payung ideologis.

IMM UIN Malang, termasuk yang –entah kurang peka atau bagaimana—sangat jarang menyentuh wilayah kultural yang bersifat orientatif. Kritik semacam ini, tentu dialamatkan kepada semua pihak, termasuk saya sendiri, yang pada saat masih menjadi pengurus harian, mencoba membangun wadah kultural semisal Al Ma’un Community dan Komsata (Komunitas Syariah Tarbiyah). Penetrasi tersebut sempat saya lebarkan hingga ke forum IMM non PTM Malang. Namun memang kurang maksimal.

Kita harus menyadari bahwa : Pertama, IMM UIN Maliki tak memiliki kekuatan politik secara signifikan. Ekspansi kader ke lembaga semisal OMIK dan UKM, juga cenderung lemah, kalaupun ada hanya bersifat individual dan selebihnya hanya sebagai follower. Belum lagi jejaring alumni, secara garis besar, jejaring Muhammadiyah di UIN Maliki masih satu komando dengan KAHMI. KAHMI pun terpecah menjadi dua kubu. Kubu yang pro kampus, dan kubu yang kritis.

Kedua, karena lemahnya kekuatan politik, maka tak ada pilihan lain selain membangun wadah kultural dengan memaksimalkan jejaring yang ada. Sebagai bekas bid. Keilmuan/RPK, saya masih belum menyerah untuk turut serta dalam membangun wadah kultural tersebut. Di PC IMM Malang, Tim Riset yang seharusnya kini bernama Khalam Institute, yang kelak menjadi wadah kultural bagi para peneliti muda di IMM, telah gagal terbentuk karena beberapa hal.

Maka, salah satu gagasan terbaru adalah dengan mendirikan Paguyuban Srengenge yang lebih berorientasi pada intelectual networking. Paguyuban inilah yang diharapkan mampu menjadi katalisator pengembangan keilmuan. Tentunya dengan memanfaatkan jejaring yang ada semisal Rumah Inspirasi, PSIF, RGST dll yang secara kultural juga dikelola oleh kader-kader/domisioner IMM.

Betapapun adanya, optimisme harus selalu digelorakan, terlepas ada atau tidaknya, karena perubahan menuntut sikap, bukan sekedar penantian. Salam perjuangan!

A Fahrizal Aziz,