Subuh-subuh sekali saya sudah memanaskan motor beat merah
kesayangan. Bapak dan Emak terlihat heran, mau kemana subuh-subuh begini? Tak
biasa-biasanya. Saya lirik jam dinding, masih menunjukkan pukul 04.12. Saya
teringat jika ini tanggal 5 April 2014, hari sabtu, dan saya harus ke Malang
karena pagi ini ada Miss Immawati. Kebetulan saya di telepon suruh menjadi
juri. Akhirnya pagi-pagi sekali, sekitar jam 05.00, selepas shalat subuh, saya
langsung tancap gas dari Blitar menuju Malang. Dingin masih meranggas, tapi
saya tidak ingin datang terlambat, menurut informasi acara di mulai pukul
08.00. saya harus tepat waktu. Karena ini komitment.
Jarak Blitar-Malang sekitar 96 Kilometer, secara normal
bisa ditempuh dalam waktu 150 menit. Apalagi jalanan masih sepi, paling hanya
truk-truk besar yang memadati, itupun hanya satu dua. Sembari menikmati
perjalanan menuju Blitar-Malang, saya mengingat-ingat kembali puluhan artikel
yang pernah saya baca seputar perempuan, dan kenapa di IMM sendiri harus muncul
bidang Immawati? Lalu untuk apa acara Miss Immawati tersebut?
Dan itu bertepatan dengan kegemaran saya yang baru-baru
ini mempelajari tentang Feminisme. Mula-mulanya saya tertarik dengan sebuah
buku yang berjudul “Pengantin dan Pelacur adalah saya” karya Kris Budiman. Saya
membeli buku itu, membacanya dan rasanya deg-deg syer. Saya obrak-abrik
lagi tumpukan buku yang pernah saya dapat gratisan dari Pak Ahmad “Alex”
Djunaidi (Editor Senior The Jakarta Post) yang berjudul PORNO dan Jurnalisme
Keberagaman. Bodohnya saya. Ternyata saya sudah punya buku tentang feminisme,
dan baru menyadarinya setelah lama “tak terjamah” karena (masih) harus membaca
buku lain yang belum terbaca.
Saya juga baru ngeh kalau novel-novel Ayu Utami
yang fulgar itu, novel Nawal El Sadawi yang emosional itu, Novel Djenar Maesa
Ayu, dan beberapa karya sastra klasik seperti siti Nurbaya, burung-burung
rantau, Canting dan Putri, manusia bebas, senja di Jakarta, itu adalah karya
yang secara tersirat maupun tersurat mengangkat tema-tema feminisme. Sebuah
karya yang sangat falosentrik dan emansipatif, dan itu sudah berlangsung sejak
dulu, sejak angkatan Marah Rusli, Sutan Takdir Alisahbana, N.H Dini, A.A Navis
hingga Pramoedya Ananta Toer.
Kenapa saya mengambil contoh dari novel-novel? Karena
itulah jejak-jejak yang terdokumentasi. Meskipun Falosentrisme sudah pernah
muncul di era R.A Kartini dengan karya fenomenalnya “Habis gelap terbitlah
terang”. Karena nalar kepotologi itulah, saya akhirnya dengan giat mencari
literature tentang feminisme dan walhasil, ada satu sosok feminis yang
menyeruak, tapi juga tak terlalu dikenal banyak pihak, terutama kader-kader IMM
dan terutama Immawati. Dia adalah Gadis Arivia, putri dari Atikah yang
merupakan aktivis Aisyiyah, organisasi perempuan Muhammadiyah yang kiprah dan
gerakannya jauh melampaui oranisasi perempuan lain di tanah air.
Saya tak bermaksud mengaitkan lahirnya bidang Immawati
dan acara miss Immawati yang diadakan IMM Koms. Reformer ini dengan gerakan
falosentris. Tapi jika direnungi, mungkin agak ada keterkaitan. Jangan-jangan,
demam falosentrisme –entah secara sadar atau tidak—telah memberikan ilham dan
inspirasi untuk keberlangsungan acara miss Immawati ini. saya tidak tahu.
Mungkin Immawati Umi Mahtum dan segenap pengurus komisariat Reformer yang bisa
menjawabnya.
Tapi tidak masalah. Justru diadakannya acara miss
Immawati ini akan semakin memperkaya progam-progam baru di IMM, terutama di IMM
UIN Malang. Setiap ide/gagasan dari kader, sekecil apapun harus dihargai.
Apalagi acara sekaliber Miss Immawati ini. IMM akan besar jika ruang
“kemerdekaan berfikir” dan “kemerdekaan ide” itu terbuka lebar. Senior tidak
boleh terlalu intervensi, ini adalah era mereka (Para pimpinan harian) untuk
berinovasi, berkreasi, dan berproses mendewasakan diri. Toh, hanya satu tahun
kepengurusan. Silahkan lakukan hal se “gila” mungkin. Jika perlu.
Ini pula yang pernah saya sampaikan ke salah seorang
pengurus di IMM Koms. Pelopor. Jikalau apa-apa yang dulu pernah dikerjakan
senior ada yang kurang pas. Misalkan konsep DAD, Mekanisme keorganisasian,
hingga progam-progam yang ada perlu di evaluasi. Silahkan di evaluasi, jika
perlu di rubah, silahkan di rubah. Jika ada gagasan/ide/uneg-uneg dan
lain-lain, silahkan diungkapkan. Lalu bagaimana jika akhirnya gagal? Jika
akhirnya tidak lebih baik dari sebelumnya? Tidak apa-apa. Gagal tidak masalah,
tidak lebih baik dari sebelumnya juga tidak masalah. Asalkan jangan pernah
berhenti belajar. Jangan pernah berhenti berproses. Jatuh bangkit lagi. Gagal
bangkit lagi. Hancur lebur bangkit lagi. Itu adalah sebuah pembelajaran yang
berharga.
Dalam perjalanan menuju Malang tersebut. Saya sudah
mengantongi sedikit hal tentang bidang Immawati, Miss Immawati, feminisme dan
gerakan falosentris. Hanya saja, tidak mungkin saya sharingkan di forum.
Apalagi (mohon maaf), pemahaman sebagian besar Immawati baik di UIN Malang maupun
se-Malang raya tentang feminisme begitu rendah. Saya tidak bermaksud
merendahkan Immawati. Tapi itu sejauh yang saya pahami. Jika ada yang
memprotes, tentu saya akan sangat senang sekali.
Untuk itu, rasa-rasanya Miss Immawati ini sangat tepat
sekali untuk diadakan sebagai bentuk “memperkenalkan diri”. Inilah Immawati!
Dan inilah kami! Kenapa? Karena selama ini Immawati terlalu pendiam.
Pertanyaannya, apa karena Immawan yang terlalu dominan atau karena Immawati
memang pendiam. Jika alasan yang pertama, maka perlu adanya gerakan feminisme,
atau falosentrisme. Jika alasannya yang kedua, maka cukup membangun kembali
saja “suara” Immawati.
Tapi perlu dipahami, feminisme atau falosentrisme bukan
sebuah upaya untuk “melawan” atau “meniadakan” laki-laki. Tapi adalah upaya
memberi ruang yang sama dalam konteks ke-umuman. Maksudnya, perempuan akan
sangat berbeda dengan laki-laki dalam hal-hal khusus semisal melahirkan dan
menyusui, karena itu hanya bisa dilakukan laki-laki. Dalam hal lain, misalkan
dalam pengambilan keputusan, dalam debat argument, dalam pengelolaan
organisasi, semua sama. Tidak ada yang berbeda.
Contoh sederhana, dalam sebuah kepanitiaan DAD, Immawati
rata-rata selalu ditempat pada posisi-posisi non-fundamental. Misalkan sie.
Konsumsi, yang memasak air, menyiapkan makanan jika ada tamu, mencuci piring,
gelas, dan menyiapkan snack-snack. Disatu sisi, para Immawan yang (tidak paham
Gender) selalu beranggapan jika itu memang tugas perempuan, itu memang ahlinya
perempuan, itu memang keharusan bagi perempuan. Nah, disinilah paham feminisme
itu harus dimunculkan.
Bagaimana caranya? Apakah berganti tugas? Immawan yang
memasak air, menyiapkan snack dan mencuci piring, atau bagaimana? Dan Immawati
tidak mau lagi melakukan urusan-urusan dapur tersebut dengan alasan kesetaraan
gender? Tentu tidak sesederhana itu. Dan feminisme memang bukan seperti itu.
Itulah pemahaman yang salah kaprah selama ini.
Feminisme adalah upaya revolusi mindset dan memahami
posisi perempuan bukan sebagai hal yang bersifat komplementer (pelengkap). Tapi
feminisme mencoba membangun kesadaran jika tugas ke-umuman adalah tugas
bersama. Misalkan, laki-laki jangan alergi untuk ke dapur, memasak, mencuci
piring, menyapu rumah, mengasuh anak, dan dengan mudah mengklaim jika itu
harusnya tugas perempuan. Ada kalanya Istri tidak bisa melakukan hal-hal
tersebut karena berapa alasan. Laki-laki tidak boleh menuntut Istri begini
begitu, misalkan, dia menuntut Istrinya agar selalu berpakaian seksi ketika di
rumah dan tampil cantik agar dirinya tak bosan. Jika Istri menuntut balik, maka
itu dianggap melanggar agama dan laki-laki bisa leluasa memukulnya karena ada
dalil (tafsir yang membolehkan).
Feminisme adalah upaya untuk saling memahami satu sama
lain, mengerti satu sama lain. dalam konteks Miss Immawati tersebut, diharapkan
akan membuka satu ruang khusus agar sosok Immawati semakin kuat dan setelah itu
mampu bergumul dengan para Immawan baik dari segi pemikiran, gerakan dan
keorganisasian. Untuk itu saya menyarankan, jikalau progam ini dilanjut tahun
depan, atau ada komisariat lain yang mengadopsi progam ini, tak ada salahnya
untuk membuat RTL (Rencana tindak lanjut) pasca acara. Sekaligus untuk mengukur
sejauh mana tingkat keberhasilan Miss Immawati. Sudahkan kira-kira, Immawati
itu menunjukkan gadingnya?
Untuk itu, Miss Immawati tentu berbeda dengan Miss
Indonesia dan ajang-ajang sejenisnya yang lebih mengeksplore tubuh dan
kecantikan. Atau bahasa lainnya, Komersialisasi tubuh. Miss Immawati tentu
memiliki tujuan yang lebih mulai, bukan bertujuan untuk komersialisasi Immawati
tau mempertontonkan Immawati. Melainkan melihat sejauh manakah Immawati mampu
menjadi sosok/tokoh yang ikut berperan aktif, tidak hanya secara fisik
melainkan juga secara moral dan pemikiran.
Untuk itu, saya akan memaparkan tiga tipikal perempuan,
hasil dari beberapa buku atau artikel yang saya baca, serta mengamati fenomena
di masyarakat :
Pertama, adalah perempuan yang memiliki Hypno-women.
Rata-rata, perempuan tipe ini memiliki daya tarik secara fisik. Ia cantik,
jelita, dan menggoda. Barangkali, penyanyi dangdut koplo, model seksi, penari
stripis, dan sejenisnya itu masuk kriteria ini. ia bisa menghipnotis laki-laki
dengan gaya sensualnya. Namun tipe pertama ini tentu tidak begitu relevan jika
dikaitkan dengan Miss Immawati.
Kedua, adalah perempuan yang memiliki Inner
beauty. Tipe kedua ini agak berbeda. ia memiliki daya tarik yang tinggi, namun
tidak secara fisik. Secara fisik mungkin saja menarik, tapi bukan itu yang
utama. Melainkan bisa karena kecerdasannya, wawasan yang dimiliki, serta bakat
alamiah yang jarang dimiliki banyak perempuan. Banyak orang akan tertarik
dengan dia, tapi bukan secara fisik yang utama.
Kedua, adalah Inspiring women. Ini menurut saya
level yang paling tinggi. Perempuan pada level ini akan memiliki magnet yang
kuat dan bermartabat. Lelaki, meskipun hidung belang seperti apapun, akan segan
dengannya. Kecantikannya terpancar dari sikap, wawasan, dan perilaku yang
membuat perempuan lain termotivai untuk menjadi seperti dia (dalam hal kebaikan
sikap, wawasan, dan perilaku). Mungkin saja secara fisik ia tak se-bohay tipe
Hypno-women, tapi ia bisa memiliki magnet yang kuat dan orang lain menaruh
hormat yang tinggi padanya.
Untuk itu, saya berharap para peserta Miss Immawati, atau
Immawati secara umum, akan menjadi seorang Inspiring women. Yang kuat,
berkarakter, dan mampu memotivasi yang lain untuk menjadi lebih baik lagi dalam
berproses dalam kehidupan dan berdakwah dalam Ikatan.
Akhirnya, saya berhasil tiba di tempat acara pukul 07.58.
setelah sempat sarapan roti dan segelas susu kemasan di Alfa Mart terdekat
sambil melepas lelah. Acara baru dimulai pukul 09.47. rasa kantuk tiba-tiba
menyergap, karena semalam saya tidur jam diatas jam 00.00 dan bangun sekitar
jam 03.30. Acara Miss Immawati sendiri baru selesai sekitar jam 14.15. sehabis
acara saya masih diajak Yusuf untuk ngopi, sampai ashar habis. Malamnya ba’da
magrib ada acara futsal dengan kader-kader Komisariat. Untung saja, saya tak
terlalu memforsir tenaga.
Sepulang futsal saya masih berbincang dengan tamu dari
IMM Surabaya yang kebetulan mampir di Komisariat Pelopor. Tubuh saya sudah
sangat lelah. Tidur hanya 3 jam, perjalanan Blitar-Malang dengan motor 2,5 jam.
Menjadi juri sampai sore, ngopi, futsal, dan ngobrol. Saya baru bisa tidur sekitar
jam 23.56. padahal besok pagi jam 05.00 saya harus ke Surabaya. Saya sudah
memesan tiket pesawat ke Bandung. Dan itu tidak boleh telat. Untung saja saya
bisa bangun jam 04.00. walhasil, saya terlelap di dalam pesawat dan tidak bisa
menikmati pemandangan indah dari atas awan.
Lelah memang. Tapi kita harus mensyukuri nikmat sehat
ini, nikmat silaturahim ini, dan nikmat waktu yang telah diberikan Allah kepada
kita. Selamat untuk IMM Koms. Reformer atas terselenggaranya Miss Immawati.
Selamat kepada Alam, Umi, Fitri, Robeto, Lely, Fuad, dkk. Selamat untuk Retno
yang terpilih menjadi Miss Immawati. Selamat kepada Fairuz, Terry, Nisa,
Fadila, Nanda yang telah berkompetisi di acara ini. meski lelah dan ngantuk,
saya masih bisa menyumbangkan satu buah lagu, meski suara cempreng dan lirik
agak lupa-lupa dikit. Hehe
Selamat berproses. Fastabiqul Khairot.
Bandung, 6 April 2014 20:22 wib
A Fahrizal Aziz
Mantan Kabid Riset dan Pengembangan keilmuan
PC IMM Malang