Selepas mengikuti acara tadarus
pemikiran kaum muda Muhammadiyah yang dihelat Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah di UMM (17-19/07/14) yang lalu, ada sebuah pertanyaan hinggap
dalam benak saya. Apakah saya harus bangga menjadi bagian dari JIMM? Pasalnya,
setelah penutupan acara, Mas Pradana Boy ZTF berujar demikian : setelah acara
ini, para peserta diperbolehkan menggunakan nama JIMM. Itu berarti, saya bisa
menambahkan nama JIMM dalam gelar, afiliasi, serta curiculum vitae. Apa yang
membedakan saya –sebelum dan sesudah—menjadi bagian dari JIMM?
Kita tahu sendiri bahwa nama JIMM
sempat menjadi perbincangan panas di internal Muhammadiyah ataupun di
Masyarakat umum sebagai idealifikasi dari JIL (Jaringan Islam Liberal). Label
Liberal pun tak sekali dua kali dialamatkan kepada JIMM. Sebagaimana JIL, di
otak sebagaian orang, nama JIMM segera dinisbatkan sebagai wadahnya pemikir
liberal anak-anak Muhammadiyah. Bukan tidak mungkin, saya pun akan dilabeli
liberal lantaran menjadi bagian dari JIMM, sekalipun saya tak pernah menelurkan
pemikiran/opini yang kontroversial.
Tetapi yang harus dikoreksi,
sebagaimana statemen Prof. Dr. Din Syamsudin dan Dr. Haedar Nashir yang hadir
dalam acara itu, sesungguhnya tak ada masalah dengan JIMM. Bukti riilnya, ketua
Umum yang juga orang nomor satu di Muhammadiyah, rela menyempatkan waktunya
untuk hadir dalam acara Tadarus Pemikiran tersebut, bahkan memberikan statement
yang menyejukkan. Itu berarti adanya JIMM tak menjadi masalah di internal
Muhammadiyah. jika ada yang masih mempermasalahkan, sesuai ajakan Mas Andar
Nubowo, tak ada salahnya untuk duduk bersama dan berdiskusi hangat.
Jika ditelisik lebih dalam, label
liberal yang disematkan oleh JIMM memang berkorelasi dengan statement atau
tulisan para founding fathers-nya. Tokoh-tokoh yang menjadi payung JIMM semisal
Buya Syafii Maarif dan Moeslim Abdurrahman, sejak awal memang diwaspadai
sebagai agen liberalisme karena merupakan jebolan Universitas Amerika. Mereka,
rata-rata menolak formalisasi syariat Islam, sekalipun penolakan tersebut
bersifat dialogis, bukan antipatif.
Sangkaan liberal itu semakin gencar
ketika diketahui eksponen utama JIMM rata-rata juga jebolan Universitas luar
negeri. Semisal Mas Pradana Boy ZTF yang merupakan jebolan Australia dan
Singapore, Pak Zakiyudin Baidhawy yang merupakan jebolan Amerika, Pak Andar
Nubowo jebolan Sorbone Prancis, Mas Hilmi Lathief jebolan Leiden University
Belanda, dan lain-lain.
Namun jika diamati lebih mendalam,
label liberal hanya booming dalam debat keagamaan. Dialektika tersebut kurang
begitu tumbuh dalam perspektif lainnya. Kang Moeslim Abdurrahman misalkan,
dicap leberal karena statementnya seputar syariat Islam, padahal beliau adalah
Antropolog. Pembelaan terhadap kaum buruh dan petani, serta isu kemiskinan
jarang (bahkan tak pernah) dibahas. Padahal, jika dikaji secara tekstual,
pembelaan terhadap kaum mustad’afin adalah salah satu ajaran pokok dalam Islam.
Di Malang sendiri, Mas Pradana Boy ZTF dianggap liberal, karena background
kajian keilmuannya seputar Islamic studies.
JIMM, sebagaimana awal dibentuknya,
memang mengundang kontroversi, bahkan pada muktamar muhammadiyah di Malang,
ketika transisi kepemimpinan dari Prof. Dr. Syafii Maarif ke Prof. Dr. Din
Syamsudin, sempat muncul wacana anti-liberalisme dalam kubu Muhammadiyah. Prof.
Din Syamsudin dinilai merupakan sosok yang mewakili aspirasi tersebut. Namun
pada acara tadarus pemikiran JIMM kemarin, Prof. Din Syamsudin hadir dan
memberikan penghargaan sedalam-dalamnya. Hal tersebut sekaligus menjadi simbol,
bahwa konflik-dialektis yang pro-kontra kelahiran JIMM telah tutup buku.
Kembali pada pertanyaan awal, haruskah
bangga menjadi bagian dari JIMM? Tentu tak bisa terjawab dalam waktu singkat.
Karena kebanggaan sebagai anggota JIMM adalah kebanggaan produktif. Menjadi
bagian dari JIMM, juga merupakan bagian dari produktifitas melalui karya-karya
ilmiah maupun kerja-kerja sosial lainnya. Idealnya, selepas mengikuti acara
tadarus pemikiran tersebut, selepas mencatatkan namanya menjadi bagian dari
JIMM, kita menjadi semakin produktif.
Kebanggaan tersebut bukan bersifat
labeling, bukan sebuah euforia, justru tantangan kedepan adalah, bisakah JIMM
ini menginspirasi kita semua untuk semakin giat berkarya untuk kemanusiaan?
22 Ramadhan 1435
A Fahrizal Aziz