loading...

Jumat, 01 Mei 2015

Haruskah saya bangga menjadi bagian dari JIMM?



Selepas mengikuti acara tadarus pemikiran kaum muda Muhammadiyah yang dihelat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah di UMM (17-19/07/14) yang lalu, ada sebuah pertanyaan hinggap dalam benak saya. Apakah saya harus bangga menjadi bagian dari JIMM? Pasalnya, setelah penutupan acara, Mas Pradana Boy ZTF berujar demikian : setelah acara ini, para peserta diperbolehkan menggunakan nama JIMM. Itu berarti, saya bisa menambahkan nama JIMM dalam gelar, afiliasi, serta curiculum vitae. Apa yang membedakan saya –sebelum dan sesudah—menjadi bagian dari JIMM?


Kita tahu sendiri bahwa nama JIMM sempat menjadi perbincangan panas di internal Muhammadiyah ataupun di Masyarakat umum sebagai idealifikasi dari JIL (Jaringan Islam Liberal). Label Liberal pun tak sekali dua kali dialamatkan kepada JIMM. Sebagaimana JIL, di otak sebagaian orang, nama JIMM segera dinisbatkan sebagai wadahnya pemikir liberal anak-anak Muhammadiyah. Bukan tidak mungkin, saya pun akan dilabeli liberal lantaran menjadi bagian dari JIMM, sekalipun saya tak pernah menelurkan pemikiran/opini yang kontroversial.

Tetapi yang harus dikoreksi, sebagaimana statemen Prof. Dr. Din Syamsudin dan Dr. Haedar Nashir yang hadir dalam acara itu, sesungguhnya tak ada masalah dengan JIMM. Bukti riilnya, ketua Umum yang juga orang nomor satu di Muhammadiyah, rela menyempatkan waktunya untuk hadir dalam acara Tadarus Pemikiran tersebut, bahkan memberikan statement yang menyejukkan. Itu berarti adanya JIMM tak menjadi masalah di internal Muhammadiyah. jika ada yang masih mempermasalahkan, sesuai ajakan Mas Andar Nubowo, tak ada salahnya untuk duduk bersama dan berdiskusi hangat.

Jika ditelisik lebih dalam, label liberal yang disematkan oleh JIMM memang berkorelasi dengan statement atau tulisan para founding fathers-nya. Tokoh-tokoh yang menjadi payung JIMM semisal Buya Syafii Maarif dan Moeslim Abdurrahman, sejak awal memang diwaspadai sebagai agen liberalisme karena merupakan jebolan Universitas Amerika. Mereka, rata-rata menolak formalisasi syariat Islam, sekalipun penolakan tersebut bersifat dialogis, bukan antipatif.

Sangkaan liberal itu semakin gencar ketika diketahui eksponen utama JIMM rata-rata juga jebolan Universitas luar negeri. Semisal Mas Pradana Boy ZTF yang merupakan jebolan Australia dan Singapore, Pak Zakiyudin Baidhawy yang merupakan jebolan Amerika, Pak Andar Nubowo jebolan Sorbone Prancis, Mas Hilmi Lathief jebolan Leiden University Belanda, dan lain-lain.

Namun jika diamati lebih mendalam, label liberal hanya booming dalam debat keagamaan. Dialektika tersebut kurang begitu tumbuh dalam perspektif lainnya. Kang Moeslim Abdurrahman misalkan, dicap leberal karena statementnya seputar syariat Islam, padahal beliau adalah Antropolog. Pembelaan terhadap kaum buruh dan petani, serta isu kemiskinan jarang (bahkan tak pernah) dibahas. Padahal, jika dikaji secara tekstual, pembelaan terhadap kaum mustad’afin adalah salah satu ajaran pokok dalam Islam. Di Malang sendiri, Mas Pradana Boy ZTF dianggap liberal, karena background kajian keilmuannya seputar Islamic studies.

JIMM, sebagaimana awal dibentuknya, memang mengundang kontroversi, bahkan pada muktamar muhammadiyah di Malang, ketika transisi kepemimpinan dari Prof. Dr. Syafii Maarif ke Prof. Dr. Din Syamsudin, sempat muncul wacana anti-liberalisme dalam kubu Muhammadiyah. Prof. Din Syamsudin dinilai merupakan sosok yang mewakili aspirasi tersebut. Namun pada acara tadarus pemikiran JIMM kemarin, Prof. Din Syamsudin hadir dan memberikan penghargaan sedalam-dalamnya. Hal tersebut sekaligus menjadi simbol, bahwa konflik-dialektis yang pro-kontra kelahiran JIMM telah tutup buku.

Kembali pada pertanyaan awal, haruskah bangga menjadi bagian dari JIMM? Tentu tak bisa terjawab dalam waktu singkat. Karena kebanggaan sebagai anggota JIMM adalah kebanggaan produktif. Menjadi bagian dari JIMM, juga merupakan bagian dari produktifitas melalui karya-karya ilmiah maupun kerja-kerja sosial lainnya. Idealnya, selepas mengikuti acara tadarus pemikiran tersebut, selepas mencatatkan namanya menjadi bagian dari JIMM, kita menjadi semakin produktif.

Kebanggaan tersebut bukan bersifat labeling, bukan sebuah euforia, justru tantangan kedepan adalah, bisakah JIMM ini menginspirasi kita semua untuk semakin giat berkarya untuk kemanusiaan?

22 Ramadhan 1435
A Fahrizal Aziz