Oleh : A
Fahrizal Aziz*
Periode 2013-2014 bisa
dikatakan periode penuh sejarah bagi IMM non PTM Malang, terutama IMM UIN
Maliki Malang, karena pada periode ini, IMM UIN Malang (selanjutnya di tulis
IMM Maliki) berhasil mendelegasikan kadernya, Yusuf Hamdani Abdi (Reformer ’09)
sebagai ketua Umum dan menempatkan 4 kader lainnya sebagai Pengurus PC IMM
Malang : Ialah saya, Fajrin, Hafidz, Rasikh. Itu berarti, ada lima kader IMM
Maliki yang pada periode ini menjadi pengurus PC IMM Malang.
Terpilihnya Yusuf sebagai
ketua PC IMM Malang bukan karena faktor kebetulan. Untuk level pimpinan Cabang,
semua tentu by design. Kita tidak memungkiri hal tersebut. Selain itu,
terpilihnya kader IMM Maliki –yang notabene delegasi dari Non PTM— sebagai
ketua PC IMM Malang, adalah wujud bersatunya kekuatan IMM non PTM. Bukan
bermaksud rasis, tapi untuk merekam jejak sejarah, saya akan sedikit menggambarkan
proses terpilihnya Yusuf sebagai ketua PC IMM Malang.
Awalnya, perbincangan
tentang siapa yang akan menggantikan Mas Arif Rahmawan sebagai ketua Cabang
sempat beberapa kali dibahas dalam rapat internal. Saya masih ingat ketika
beberapa kali rapat di Ria Djenaka cafe, Mas Arif menanyakan apakah saya dan
Yusuf bersedia duduk kembali di Struktur PC IMM Malang? kala itu saya belum
bisa menjawab dengan pasti karena keputusan untuk mendelegasikan kadernya ke
Cabang adalah hak komisariat. Apalagi, pada periode itu akan banyak sekali
domisioner dari komisariat pelopor. Seperti Farih, Fajrin, Robi, Eka Hw dan
lain sebagainya. Jika saya tetap di cabang takutnya pos strukturalisasi itu
terhambat.
Sebenarnya, saya mendukung
Surya Nur Pradani sebagai pengganti Mas Arif Rahmawan kala itu. Bukan karena
dia senior saya di komisariat, melainkan kiprah dan dedikasinya untuk IMM sudah
tidak diragukan lagi. Apalagi, posisinya kala itu sebagai sekum (sekretaris
umum). Dalam setiap kegiatan, Surya atau yang akrab di sapa Cak Sur itu banyak
memberikan inisiatif, sekalipun diinternal cabang kala itu banyak sekali silang
pendapat. Bukan bermaksud melebihkan, tapi peran Cak Sur untuk PC IMM Malang
periode 2012-2013 sangatlah besar. Dalam agenda internal, mungkin perannya
lebih besar dibanding ketua umum kala itu.
Andaikan Cak Sur tidak
ditarik ke DPD sebagai Sekbidor, pasti saya akan mendukung dia untuk menjadi
ketua cabang. Meskipun diantara saya dan Cak Sur banyak sekali perbedaan,
terutama masalah pemekaran cabang Malang yang sempat santer kala itu. Tapi Cak
Sur tetaplah senior saya di Pelopor dan kami tetaplah alumni serta domisioner
dari komisariat pelopor. Setelah Cak Sur naik ke DPD, ekspektasi saya di IMM
mulai memudar, apalagi Farih (domisioner ketum pelopor) juga memilih untuk di
Korkom. Lalu siapa yang ke Cabang?
Disisi lain, sosio-kultural
kader-kader IMM non PTM juga tengah terbangun. Agenda pemekaran cabang yang
satu sisi dianggap negatif, ternyata disisi lain memberikan iklim positif bagi
hubungan multilateral antar komisariat di Non PTM. Apalagi setelah didirikannya
Almaun Community oleh Mas Alif Furqoni (IMM UB) dan Mas Afif Hidayatullah (IMM
UM). Hubungan antar senior yang awalnya bersifat formal dan momentual, kini
semakin tak berjarak lagi.
Almaun Community pula yang
akhirnya mempertemukan saya dengan Ryan Akbar Atmaja (IMM UM), Prima T.
Amrillah dan Ikhlasul Amal (IMM UB) yang pada akhirnya bersama-sama mendukung
Yusuf sebagai ketua Umum PC IMM Malang. Jadi terpilihnya Yusuf Hamdani Abdi
sebagai ketua PC IMM Malang adalah kerjasama dari beberapa domisioner IMM
Maliki, UB, UM serta dukungan moril dari IMM Ikib Budi Utomo dan IMM Unikama.
Maka, jika ada perspektif jika terpilihnya kader IMM Maliki sebagai ketua
Cabang adalah karena kehebatan IMM Maliki, tentu hal itu harus di koreksi.
Kronologi
terpilihnya Yusuf Hamdani Abdi
Sejak Cak Sur naik ke DPD
dan Farih mengatakan ingin melanjutkan ke Korkom, kala itu saya sempat timbul
disorientasi, dan tidak tertarik lagi untuk di cabang. Namun dalam forum Almaun
Community, saya sempat berdiskusi singkat dengan Ryan Akbar Atmaja dan
berdiskusi masalah Musycab (belum menyinggung nama ketum). Diskusi itu sedikit
membahas tentang sikap IMM non PTM dalam Musycab ini. Terutama IMM Maliki, UB,
dan UM. Kala itu, saya masih belum bisa menjawab.
Akhirnya, saya pun
berdikusi dengan Yusuf di Kontrakan perihal Musycab yang akan digelar sekitar
bulan Oktober 2013 ini. Saya mengajak diskusi Yusuf karena kala itu, kami
berdua sudah duduk di kepengurusan Cabang dan kemungkinan akan melanjutkan.
Saya memberikan pertimbangan bahwa sejauh ini, komunikasi kultural di IMM non
PTM sudah berjalan baik, meskipun secara politik belum. Apalagi terkait Musycab
dan apalagi terkait ketua umum. Di satu sisi saya juga belum tahu, apakah
komisariat akan mendelegasikan saya menjadi formatur, karena masih ada Fajrin,
Robi, dan Rasikh. Jika tiga orang ini yang di delegasikan menjadi formatur,
tentu saya tidak mungkin. Karena syarat maksimal adalah dua orang.
Sementara itu, komunikasi
politik juga sudah dilakukan oleh teman-teman IMM UMM, terutama dari Komisariat
FKIP dan FAI. Saya tidak tahu pasti, tapi saya mendapatkan informasi jika IMM
UB dan IMM UM sudah bertemu dengan FKIP dan FAI. Tapi hasilnya belum diketahui.
Satu hari sebelum Musycab, pada malam harinya, sesaat setelah pembahasan teknis
untuk acara Musycab besok di rumah Cak Fek, Didik Wahyudi dan Jumhur dari FKIP
mengajak saya ngopi di Ria Djenaka cafe depan UMM. Kala itu saya di ajak
membahas masalah musycab besok dan kemungkinan bekerjasama dalam pemilihan
formatur.
Kala itu saya belum bisa
memberikan jawaban yang pasti. Pertama, karena belum tentu komisariat
mendelegasikan saya ke formatur. Kedua, saya juga belum bertemu dengan
tiga komisariat di UIN : Pelopor,
Reformer, dan Revivalis. Ketiga, saat ditanya apakah dari Non PTM
mengajukan satu nama untuk ketua Umum? Saya pun bimbang juga. Pasalnya, sudah
tiga kali saya diskusi dengan Yusuf untuk masalah ini namun jawabannya nihil.
Yusuf pun merasa galau jika harus menjadi ketum dan saya juga belum tentu mau
menjadi ketua. Lalu, Didik memberikan solusi, jika memang tidak ada, ia
bersedia menjadi ketua cabang. Saya pun tak berani menjawab lebih jauh.
Setelah pertemuan itu, saya
mengajak diskusi Yusuf, tapi lagi-lagi tidak membuahkan hasil. Akhirnya, di
tempat musycab, saya diskusi dengan Ryan Akbar, Prima dan Amal. Dari
Perbincangan tersebut, ada sedikit pencerahan.
Pertama,
jika memang tidak ada lagi calon ketua umum dari non ptm, maka kita akan
mendukung Didik Wahyudi sebagai ketua cabang, namun permasalahannya, dalam tiga
periode terakhir ini, ketua umum selalu dari FAI dan FKIP. Misalkan periode
2012-2013, Arif Rahmawan dari FAI. Periode 2011-2012, Mas Taufik Suwardi dari
FKIP, dan periode 2010-2011 adalah Mas Ali Muthohirin dari FAI. Jika ketua Umum
dari FKIP, maka efek politiknya patut dipertimbangkan, terutama untuk
stabilitas di UMM.
Kedua,
kala itu hubungan Cabang dengan PDM lumayan memburuk. Selain itu banyak sekali
permasalahan internal yang harus diselesaikan. Sementara Didik Wahyudi, tidak
pernah duduk di kepengurusan cabang sebelumnya. Kita berharap ada orang yang
sudah ada di dalam cabang dulu untuk membenahi, dan tidak ada yang lagi selain
saya dan Yusuf. Ketika Mas Arif Rahmawan menjadi ketua cabang, sebelumnya dia
adalah sekum. Ketika Mas Taufik Suwardi menjadi ketua cabang, sebelumnya dia
adalah kabid kader. Semuanya incumbent.
Ketiga,
kenapa tidak saya saja yang jadi ketua cabang kala itu? saya sudah berdiskusi
dengan Yusuf. Dalam suksesi untuk Ketua Umum, maka harus ada yang mengusahakan
dan diusahakan. Istilah politisnya, harus ada tim sukses. Kala itu, dengan
sikap Yusuf yang cenderung pasif dan diam, sangat susah jika harus menjadi tim
sukses. Tim sukses inilah yang mengusahakan, dan calon itulah yang diusahakan.
Dan saya kala itu berperan menjadi orang yang mengusahakan. Jika kemudian saya
meminta untuk dipilih sebagai ketua, bukankah itu sangat oportunistik?
Namun jujur. Hingga
menjelang pemilihan formatur, nama Yusuf belum bisa dipastikan untuk posisi
ketua umum, masih sekedar wacana. Meskipun tiga nama lainnya seperti Ryan
Akbar, Prima dan Amal bisa menjadi rekomendasi untuk itu, terlebih mereka
adalah mantan ketua komisariat. Tapi dari tiga nama tersebut, hanya Ryan Akbar
yang masuk formatur dan itupun tidak bersedia menjadi ketua umum. Akhirnya
hanya tersisa nama Yusuf, dan setelah pemungutan suara formatur selesai, Yusuf
mengatakan siap menjadi pimpinan cabang dan jika harus dipilih sebagai ketua
umum pun ya monggo. Saya masih menyimpan rekaman diskusinya.
Karena Yusuf bersedia, maka
13 formatur yang terpilih kala itu : Yusuf, Saya, Fajrin, Akbar, Adi, Falaq,
Ari dan Tiwi (Non PTM) Didik, Nabawi, Syahrir, Bashirudin, dan Dedik (UMM)
bersepakat untuk memilih Yusuf sebagai ketua umum PC IMM Malang periode
2013-2014. Andaikan Yusuf tidak bersedia kala itu, mungkin kami akan memilih
Didik Wahyudi karena dari 13 nama formatur, yang bersedia hingga akhir menjadi
ketua cabang hanya dua itu.
Suksesi ini adalah berkat
kerja keras semua pihak. Seperti Akbar yang telaten membina kader-kadernya di
IMM UM, Prima dan Amal yang juga terus melakukan komunikasi intensif dengan IMM
UB, dan saya yang secara kultural dekat dengan IMM Kanjuruhan kala itu, plus
saya adalah kader IMM Maliki. Ditambah kedekatan yang dibingkai dalam Almaun Community.
Kolaborasi bersama itulah yang berhasil mengangkat nama Yusuf. Apalagi, yang
mengusahakan hal ini adalah tiga mantan ketum : Akbar, Prima, dan Amal yang
tentu memiliki kemampuan berlebih dalam komunikasi massa serta pengaruhnya
terhadap kader-kader IMM di kampusnya. Bahkan beberapa rekomendasi Musycab di
komisi C pun juga banyak muncul dari ide/gagasan mereka.
Lemahnya
Komunikasi
Saya harus mengakui jika
pasca Musycab, kesalahan mendasar yang kita lakukan adalah lemahnya komunikasi.
Misalkan saja, jelang Musycab saya harusnya berkomunikasi lebih jauh kepada Cak
Sur yang kala itu duduk di Sekum, atau berdiskusi lebih lanjut dengan
senior-senior seperti Mas Habibie, dan lain-lain. namun hal itu urung
dilakukan, itulah kesalahan pertama, dan saya mengakuinya.
Selain itu, komunikasi juga
sangat lemah dengan Korkom dan tiga komisariat di IMM Maliki. Komunikasi yang
dimaksud adalah komunikasi formal-struktural. Kader IMM Maliki yang kala itu
duduk di stuktural PC IMM Malang pun juga jarang sekali berjumpa untuk membahas
hal-hal strategis. Inisiatif justru muncul dari ketua Korkom kala itu, Farihul
Muflihin yang memberikan ruang dialektika bersama. Kala itu saya juga hadir.
Komunikasi yang lemah
lainnya adalah dengan Akbar, Prima, dan Amal. Termasuk komunikasi untuk
menempatkan posisi struktural di PC IMM Malang. Saya mengakui jika intensitas
komunikasi dengan beberapa orang yang dulu sebagai “Tim pengusaha” ini berjalan
sangat buruk. Meskipun pada akhirnya Akbar, Prima dan Amal juga masuk menjadi
bagian dari struktural PC IMM Malang.
Komunikasi-komunikasi
tersebut bukan bertujuan membentuk fasisme antar kelompok. Melainkan adalah
upaya untuk “menjaga idealisme” bersama. Sederhananya, ketika PC IMM Malang
dketuai oleh kader Non PTM, terutama IMM Maliki, apa nilai tawar yang berlebih?
Hal apa saja yang ditawarkan? Baik dalam perkaderan, dakwah, keilmuan hingga
kebijakan strategis mulai dari jaringan, pendanaan, dan sejenisnya. Karena
lemahnya komunikasi inilah, menurut saya, hingga 7 bulan kepengurusan, tidak
ada sesuatu yang “berbeda” dari PC IMM Malang sebelumny. Saya masih
berkeyakinan jika amanah itu harus benar-benar dikerjakan dengan baik, terutama
untuk membuat sebuah ide/gagasan baru yang konstruktif.
Di internal non ptm
sendiri, konstruksi budaya itu telah terjadi dengan isu pemekaran cabang malang
hingga lahirnya Almaun Community. Namun seiring berjalannya waktu, dua kekayaan
besar ini justru terkesan sebagai “alat politik” untuk suksesi PC IMM Malang.
sebagai pelaku, tentu saya merasa bersalah dan jika diperkenankan, biarlah saya
orang pertama yang disalahkan karena kecerobohan, kenekatan, dan kengawuran
ini. Setelah isu pemekaran cabang itu surut, surut pula atensi
pengurus/kader-kader terhadap IMM Malang raya, dan Almaun Community juga
terancam vacum bahkan bubar.
Kenapa saya mendukung
wacana pemekaran cabang Malang? alasannya mengacu pada teori Karl Marx tentang
efisiensi konflik. Banyak kader yang berupaya menghindari konflik, padahal
disatu sisi konflik sangat dibutuhkan untuk menghidupkan simpul-simpul sosial
yang layu karena hegemoni golongan tertentu. Misalnya, kaum buruh akan menjadi
kaum tertindas jika terus menerus diam, kekuatan korporasi akan menjajah
mereka. Untuk itu, konflik dimunculkan untuk menjaga kewarasan kemanusiaan.
Dalam kultur wacana IMM
Malang raya, IMM non PTM jarang diperhitungkan dalam aspek-aspek semisal
keilmuan, politik dan pergerakan. Jika tidak ada upaya rekonstruksi budaya,
maka hegemoni sosial ini akan terus terjadi. Stigmatisasi itu akan terus
terbangun hingga kiamat. Maka secara tidak langsung, wacana pemekaran cabang
Malang yang di inisiasi oleh kader-kader non PTM tersebut adalah bentuk
rekonstruksi budaya, atau istilah populisnya “Revolusi mental” kader-kader IMM
non PTM.
Maka meskipun mendapatkan
kritik sana-sini, hujatan sana-sini, saya tetap mendukung upaya itu karena efek
jangka panjangnya sangat positif. Gayung itupun bersambut dengan terpilihnya
Yusuf Hamdani Abdi sebagai ketua PC IMM Malang. Namun kita tidak bisa
memungkiri, terpilihnya kader IMM Maliki itu sebagai ketua PC IMM Malang juga
dimudahkan oleh konflik internal IMM UMM yang tak kunjung usai.
Dalam eskalasi politik,
termasuk ketika Musycab, IMM UMM selalu terpecah dalam dua hingga tiga kongsi
besar. Dalam Musycab 2013 saja, ada dua faksi besar. FKIP, FAI dan FPP.
Sementara Teknik, Fisip, Psikologi, dan Fikes menjadi bagian yang lain. dalam
itung-itungan suara saja, jika tidak bersatu, sangat mustahil bagi IMM UMM
untuk memperoleh suara dominan. Untuk itulah, selama ini –tanpa kesadaran
politik—suara dari non PTM semisal IMM UB, UM dan Maliki menjadi sasaran empuk.
Namun pada Musycab 2013 kemarin, soliditas non ptm lumayan kuat, sehingga dari
13 formatur, 8 diantaranya dari non ptm. Secara itung-itungan saja, IMM non PTM
dengan 11 komisariat di dalamnya, bisa dengan mudah memenangkan Musycab. Dengan
catatan, jika soliditas ini bisa terus di pertahankan.
Sebenarnya agak miris
melihat konstelasi politik semacam ini. itung-itungan suara, hingga membentuk
poros-poros. Namun bagaimana lagi? Corak berfikir seperti itu telah mengakar
sejak lama. Jika non ptm anti dengan budaya seperti itu, maka ia hanya akan
jadi “mangsa empuk”. Contoh kasusnya pada Musycab 2012 yang lalu, ketika IMM UB
gagal mengusung Mas Mubi Mubarak dan IMM UM gagal mengusung Mas Achmad Zainuri
Arif. Padahal, harapan besar sudah terlanjur tersemat di pundak mereka berdua.
Akhirnya suara non ptm terorganisir ke salah satu calon dan itu menurut saya
adalah wujud “hegemoni yang lain”.
Kultur politik semacam ini
sangat susah dihindari, hampir semua organ mahasiswa ekstra budaya politiknya
memang sudah demikian. Untuk itu, hal terdekat yang bisa dilakukan adalah
mengendalikan sistem dan mengendalikan budaya. Bagaimana caranya? Tentu dengan
berada di struktural, dan tentu dengan mengelola pos-pos strategis, terutama
dalam hal kebijakan organisatoris. Kita bisa mengambil falsafah jawa “Menang
tanpo ngasorake” (menang tanpa merendahkan yang lain).
Sejak Yusuf terpilih
menjadi ketua PC IMM Malang, saya sering berdiskusi dengannya, baik di warung
kopi ataupun di komisariat. Menurut saya, untuk merubah kultur tersebut, IMM
Cabang Malang harus melakukan re-orientasi gerakan. Jika selama ini orientasi
IMM Cabang Malang adalah untuk membuat program, maka kedepan IMM Cabang Malang
harus memiliki orientasi untuk membangun budaya.
Dua budaya yang sangat
perlu untuk dibangun adalah budaya keterbukaan dan budaya kebersamaan. Hal ini
sempat muncul diawal-awal, misalkan pembahasan struktur PC IMM Malang periode
2013-2014 hingga pelantikan bersama Korkom IMM se-Malang raya. Dalam amanah
musycab pun, salah satu yang direkomendasikan adalah keterbukaan program dan
kebijakan. Hanya saja, dua hal ini masih belum diwujudkan, sehingga banyak
proker yang tidak dibahas di Musyawarah kerja, bisa dengan mudah dimunculkan.
Semisal agenda Milad yang berisi lomba-lomba beberapa waktu itu. Yang lain
misalkan, tentang komunikasi dengan birokrasi kampus UMM, agenda Tanwir,
kebijakan internal untuk muktamar dan sebagainya.
Budaya yang juga perlu
dibangun adalah budaya keilmuan, karena inilah domain besar yang bisa dilakukan
cabang. Kalau untuk budaya perkaderan, domain besarnya ada di komisariat. Kita
menyadari, pimpinan cabang diupayakan adalah kader yang sudah matang
kaderisasinya. Sudah memiliki pemahaman yang cukup terkait ideologi, wacana
keislaman dan kepekaan terhadap realitas. Namun dalam hal perkaderan, IMM
Cabang Malang bisa membuat sebuah laboratorium perkaderan dengan menghimpun
para instruktur IMM se-Malang raya. Misalkan melalui LID. Alur fungsionalnya, para
jebolan LID inilah yang akan berdialektika dalam laboratorium tersebut sehingga
memunculkan gagasan konstruktif untuk perkaderan di IMM se-Malang raya.
Kembali ke masalah
keilmuan. Hal kongkrit yang sudah dilakukan IMM Cabang Malang adalah workshop
penelitian. Selain itu, upaya untuk membangun simpul-simpul intelektual juga
sudah dilakukan sejak lama, terutama di internal komisariat masing-masing.
Orientasi dari workshop riset itu adalah untuk melakukan penelitian dan
menghasilkan karya ilmiah. Posisi IMM Cabang Malang dalam hal ini adalah
membangun wadah, para penelitinya adalah kader-kader komisariat yang kemudian
disebut Tim Riset PC IMM Malang.
Tim Riset diharapkan akan
membangun tradisi ilmiah di IMM Malang melalui penelitian dan karya ilmiah.
Dalam proses penelitian itu akan melahirkan banyak wacana, diskusi dan juga
studi literature. Hasil penelitian tersebut juga akan diseminarkan dengan
khalayak luas, sehingga akan ada proses dialektika. Upaya ini bertujuan
membangun budaya keilmuan, disamping program momentual seperti diskusi rutinan
dan pembahasan blue print keilmuan dengan beberapa intelektual IMM
Malang seperti Mas Pradana Boy, Mas Hasnan dan bid. RPK se-Malang raya.
Untuk bidang Tabligh dan
Kajian Keislaman misalkan, orientasi yang dibangun tentu bukan program
momentual. Melainkan adalah budaya tabligh. Saya sudah pernah mendengar
penjelasan dari Mas Rasikh dan Mas Jumhur jika program PM3 (Pelatihan Mubaligh
Muda Muhammadiyah) nantinya diupayakan untuk membentuk benih-benih Da’i, dan
hal itu tentu tidak mudah. Namun dari orientasi yang ada, terlihat adanya upaya
untuk membangun budaya.
Maka level pimpinan cabang,
harusnya tidak lagi melakukan kegiatan yang bersifat momentual dengan banyaknya
program. Namun bagaimana program tersebut mampu membangun budaya dan menjadi
katalisator kebangkitan IMM Malang raya. Jika hanya sekedar program momentual,
maka itu adalah domainnya komisariat. Porsi besar pimpinan cabang lainnya
adalah pada kebijakan. Baik kebijakan internal maupun eksternal.
Apa yang
sudah berubah?
Sejauh ini tidak banyak
yang berubah sekalipun ada lima kader IMM Maliki yang ada di struktural PC IMM
Malang. Satu di ketua umum, dua di ketua bidang, dua di sekretaris bidang. Hal
ini patut menjadi evaluasi bersama, agar kedepannya kader-kader yang
didelegasikan ke Cabang adalah kader yang visioner dan mampu melakukan banyak
hal untuk keberlangsungan IMM Cabang Malang. Ada beberapa catatan kritikal
terkait ini semua.
Pertama,
lemahnya komunikasi yang disinggung di muka. Para kader IMM Maliki yang ada di
struktural cabang pun terkesan pasif dalam melakukan komunikasi organisatoral,
termasuk ketua umum. Inisiatif pertama dulu justru digagas oleh Farih selaku
ketua Korkom, yaitu ketika di rumah kakanda Taufiqurrahman atau yang akrab
disapa Cak Fek.
Kedua,
lemahnya kebersamaan. Empat program terakhir PC IMM Malang menunjukkan lemahnya
kebersamaan diinternal. Bahkan sepertinya mulai tumbuh cara berfikir sektoral,
terbatas pada program kerja bidangnya masing-masing. Jika untuk program kerja
bidang lain, maka ia enggan untuk hadir. Cara berfikir sektoral inilah yang
menghambat tujuan bersama.
Ketiga,
lemahnya fungsi controling ketua umum. Hal ini secara personal sudah saya
sampaikan ke Yusuf Hamdani Abdi. Karena menurut saya, selama ini jarang sekali
ada inisiatif dari ketua umum terkait kebijakan-kebijakan strategis mulai dari
komunikasi birokrasi dengan UMM, terkait tanwir, delegasi intern untuk kegiatan
DAM, hingga isu terkait muktamar ini. Semuanya seperti out of control.
Akhirnya, fungsi kebijakan tersebut diambil alih oleh struktur dibawahnya.
Terlebih, posisi sekum, Kabidor, dan Bid. Hikmah –tiga pos yang membahas
kebijakan—bukan dari tim pengusaha. Yang menjadi masalah adalah ketika
kebijakan-kebijakan tersebut hanya menjadi konsumsi sebagian orang, tidak
terbuka untuk semua.
Sebelumnya, ketua umum juga
tidak pernah berkomunikasi dengan saya, Akbar, Prima dan Amal terkait struktur
untuk 3 bidang ini, dan itulah kesalahan paling mendasar. Itu bagian dari
lemahnya komunikasi.
Keempat.
Sudah tidak adanya kesesuaian antar pengurus. Saya harus mengakui jika antara
saya dan Yusuf sudah tidak ada kesesuaian lagi. Sebagai teman, sekaligus yang
mengusahakan dirinya menjadi ketua umum, agaknya sudah tidak ada kesepahaman
dalam mewujudkan “idelisme bersama” itu. Memang tidak ada kesepakatan tertutup,
tapi melihat cara pandangnya dan sepak terjang IMM Cabang Malang selama ini,
justru sudah jauh dari “khittah”nya. Seperti untuk pemilihan struktur dahulu,
kebijakan terkait komunikasi dengan birokrasi di UMM, masalah Tanwir, kebijakan
dalam menentukan pimpinan korkom terutama di UMM, keterbukaan program, dan
lain-lain.
Selain itu, lemahnya fungsi
manajemen dalam empat agenda terakhir PC IMM Malang sebenarnya juga harus
menjadi bahan evaluasi. Saya sudah mengingatkan untuk melakukan evaluasi dan
jangan sampai kesalahan yang sama terulang. Kesalahan yang sama itu adalah
lemahnya pengorganisasian kegiatan mulai dari konsep acara, kepanitiaan, hingga
rencana tindak lanjut yang kadang tak disusun dengan baik. Bahkan ada celetukan
“Masa selevel cabang untuk mempersiapkan acara saja masih kalah dengan
komisariat?” itu menjadi pukulan telak.
Alasannya sederhana, jika
program-program PC IMM Malang tidak dikelola dengan baik dan profesional, maka
yang pertama akan disalahkan adalah ketua umumnya. Saya sudah bicarakan ini
dengan Yusuf dan dia bilang “ndak apa-apa saya disalahkan”. Permasalahannya
bukan itu, imbasnya adalah pada IMM non PTM secara Umum dan IMM Maliki secara
khusus. Karena ketua IMM Cabang Malang adalah kader non ptm sekaligus kader IMM
Maliki. Maka efeknya tidak hanya pada personal, tapi juga komunal.
Karena itulah, saya merasa
bersalah. Bersalah karena tidak bisa berbuat banyak di internal cabang,
bersalah karena tidak bisa melaksanakan program yang baik dan profesional,
bersalah karena komisariat tidak mendapatkan banyak manfaat dari PC IMM Malang,
termasuk komisariat Univ. Kanjuruhan Malang yang kondisinya juga semakin
mengkhawatirkan. Maka stigma lama akan terulang lagi “ada atau tidak adanya
cabang, tak berpengaruh apa-apa.” Untuk itulah saya mengundurkan diri dari
Cabang karena akumulasi rasa bersalah itu.
Di internal masih ada
Yusuf, Akbar, Prima, Amal dan belakangan nama Ega, Fajrin, Ayu, dll pun siap
untuk mengusung “idealisme bersama” untuk cabang. idealisme bersama itu ada di
kultur IMM non PTM, kultur berjuang, kultur keikhlasan, kultur pengorbanan.
Tanpa tendensi pragmatik, dan tanpa tendensi golongan.
Semoga catatan sederhana
ini mampu memberikan gambaran umum, sekaligus sebagai bahan evaluasi bersama.
Kesimpulannya, dengan berat hati saya mengatakan “Cabang tahun ini mungkin
lebih baik dari tahun kemaren, tapi mungkin saja tidak lebih baik dari dua
tahun sebelumnya”. Wallohu’alam.
Blitar, 17 Mei 2014
(*)
Mantan Kabid Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Malang 2013-2014