loading...

Jumat, 01 Mei 2015

Ketika IMM non PTM ‘menduduki’ PC IMM Malang


[Catatan Reflektif]

Oleh : A Fahrizal Aziz*

Periode 2013-2014 bisa dikatakan periode penuh sejarah bagi IMM non PTM Malang, terutama IMM UIN Maliki Malang, karena pada periode ini, IMM UIN Malang (selanjutnya di tulis IMM Maliki) berhasil mendelegasikan kadernya, Yusuf Hamdani Abdi (Reformer ’09) sebagai ketua Umum dan menempatkan 4 kader lainnya sebagai Pengurus PC IMM Malang : Ialah saya, Fajrin, Hafidz, Rasikh. Itu berarti, ada lima kader IMM Maliki yang pada periode ini menjadi pengurus PC IMM Malang.


Terpilihnya Yusuf sebagai ketua PC IMM Malang bukan karena faktor kebetulan. Untuk level pimpinan Cabang, semua tentu by design. Kita tidak memungkiri hal tersebut. Selain itu, terpilihnya kader IMM Maliki –yang notabene delegasi dari Non PTM— sebagai ketua PC IMM Malang, adalah wujud bersatunya kekuatan IMM non PTM. Bukan bermaksud rasis, tapi untuk merekam jejak sejarah, saya akan sedikit menggambarkan proses terpilihnya Yusuf sebagai ketua PC IMM Malang.

Awalnya, perbincangan tentang siapa yang akan menggantikan Mas Arif Rahmawan sebagai ketua Cabang sempat beberapa kali dibahas dalam rapat internal. Saya masih ingat ketika beberapa kali rapat di Ria Djenaka cafe, Mas Arif menanyakan apakah saya dan Yusuf bersedia duduk kembali di Struktur PC IMM Malang? kala itu saya belum bisa menjawab dengan pasti karena keputusan untuk mendelegasikan kadernya ke Cabang adalah hak komisariat. Apalagi, pada periode itu akan banyak sekali domisioner dari komisariat pelopor. Seperti Farih, Fajrin, Robi, Eka Hw dan lain sebagainya. Jika saya tetap di cabang takutnya pos strukturalisasi itu terhambat.

Sebenarnya, saya mendukung Surya Nur Pradani sebagai pengganti Mas Arif Rahmawan kala itu. Bukan karena dia senior saya di komisariat, melainkan kiprah dan dedikasinya untuk IMM sudah tidak diragukan lagi. Apalagi, posisinya kala itu sebagai sekum (sekretaris umum). Dalam setiap kegiatan, Surya atau yang akrab di sapa Cak Sur itu banyak memberikan inisiatif, sekalipun diinternal cabang kala itu banyak sekali silang pendapat. Bukan bermaksud melebihkan, tapi peran Cak Sur untuk PC IMM Malang periode 2012-2013 sangatlah besar. Dalam agenda internal, mungkin perannya lebih besar dibanding ketua umum kala itu.

Andaikan Cak Sur tidak ditarik ke DPD sebagai Sekbidor, pasti saya akan mendukung dia untuk menjadi ketua cabang. Meskipun diantara saya dan Cak Sur banyak sekali perbedaan, terutama masalah pemekaran cabang Malang yang sempat santer kala itu. Tapi Cak Sur tetaplah senior saya di Pelopor dan kami tetaplah alumni serta domisioner dari komisariat pelopor. Setelah Cak Sur naik ke DPD, ekspektasi saya di IMM mulai memudar, apalagi Farih (domisioner ketum pelopor) juga memilih untuk di Korkom. Lalu siapa yang ke Cabang?

Disisi lain, sosio-kultural kader-kader IMM non PTM juga tengah terbangun. Agenda pemekaran cabang yang satu sisi dianggap negatif, ternyata disisi lain memberikan iklim positif bagi hubungan multilateral antar komisariat di Non PTM. Apalagi setelah didirikannya Almaun Community oleh Mas Alif Furqoni (IMM UB) dan Mas Afif Hidayatullah (IMM UM). Hubungan antar senior yang awalnya bersifat formal dan momentual, kini semakin tak berjarak lagi.

Almaun Community pula yang akhirnya mempertemukan saya dengan Ryan Akbar Atmaja (IMM UM), Prima T. Amrillah dan Ikhlasul Amal (IMM UB) yang pada akhirnya bersama-sama mendukung Yusuf sebagai ketua Umum PC IMM Malang. Jadi terpilihnya Yusuf Hamdani Abdi sebagai ketua PC IMM Malang adalah kerjasama dari beberapa domisioner IMM Maliki, UB, UM serta dukungan moril dari IMM Ikib Budi Utomo dan IMM Unikama. Maka, jika ada perspektif jika terpilihnya kader IMM Maliki sebagai ketua Cabang adalah karena kehebatan IMM Maliki, tentu hal itu harus di koreksi.

Kronologi terpilihnya Yusuf Hamdani Abdi

Sejak Cak Sur naik ke DPD dan Farih mengatakan ingin melanjutkan ke Korkom, kala itu saya sempat timbul disorientasi, dan tidak tertarik lagi untuk di cabang. Namun dalam forum Almaun Community, saya sempat berdiskusi singkat dengan Ryan Akbar Atmaja dan berdiskusi masalah Musycab (belum menyinggung nama ketum). Diskusi itu sedikit membahas tentang sikap IMM non PTM dalam Musycab ini. Terutama IMM Maliki, UB, dan UM. Kala itu, saya masih belum bisa menjawab.

Akhirnya, saya pun berdikusi dengan Yusuf di Kontrakan perihal Musycab yang akan digelar sekitar bulan Oktober 2013 ini. Saya mengajak diskusi Yusuf karena kala itu, kami berdua sudah duduk di kepengurusan Cabang dan kemungkinan akan melanjutkan. Saya memberikan pertimbangan bahwa sejauh ini, komunikasi kultural di IMM non PTM sudah berjalan baik, meskipun secara politik belum. Apalagi terkait Musycab dan apalagi terkait ketua umum. Di satu sisi saya juga belum tahu, apakah komisariat akan mendelegasikan saya menjadi formatur, karena masih ada Fajrin, Robi, dan Rasikh. Jika tiga orang ini yang di delegasikan menjadi formatur, tentu saya tidak mungkin. Karena syarat maksimal adalah dua orang.

Sementara itu, komunikasi politik juga sudah dilakukan oleh teman-teman IMM UMM, terutama dari Komisariat FKIP dan FAI. Saya tidak tahu pasti, tapi saya mendapatkan informasi jika IMM UB dan IMM UM sudah bertemu dengan FKIP dan FAI. Tapi hasilnya belum diketahui. Satu hari sebelum Musycab, pada malam harinya, sesaat setelah pembahasan teknis untuk acara Musycab besok di rumah Cak Fek, Didik Wahyudi dan Jumhur dari FKIP mengajak saya ngopi di Ria Djenaka cafe depan UMM. Kala itu saya di ajak membahas masalah musycab besok dan kemungkinan bekerjasama dalam pemilihan formatur.

Kala itu saya belum bisa memberikan jawaban yang pasti. Pertama, karena belum tentu komisariat mendelegasikan saya ke formatur. Kedua, saya juga belum bertemu dengan tiga komisariat  di UIN : Pelopor, Reformer, dan Revivalis. Ketiga, saat ditanya apakah dari Non PTM mengajukan satu nama untuk ketua Umum? Saya pun bimbang juga. Pasalnya, sudah tiga kali saya diskusi dengan Yusuf untuk masalah ini namun jawabannya nihil. Yusuf pun merasa galau jika harus menjadi ketum dan saya juga belum tentu mau menjadi ketua. Lalu, Didik memberikan solusi, jika memang tidak ada, ia bersedia menjadi ketua cabang. Saya pun tak berani menjawab lebih jauh.

Setelah pertemuan itu, saya mengajak diskusi Yusuf, tapi lagi-lagi tidak membuahkan hasil. Akhirnya, di tempat musycab, saya diskusi dengan Ryan Akbar, Prima dan Amal. Dari Perbincangan tersebut, ada sedikit pencerahan.

Pertama, jika memang tidak ada lagi calon ketua umum dari non ptm, maka kita akan mendukung Didik Wahyudi sebagai ketua cabang, namun permasalahannya, dalam tiga periode terakhir ini, ketua umum selalu dari FAI dan FKIP. Misalkan periode 2012-2013, Arif Rahmawan dari FAI. Periode 2011-2012, Mas Taufik Suwardi dari FKIP, dan periode 2010-2011 adalah Mas Ali Muthohirin dari FAI. Jika ketua Umum dari FKIP, maka efek politiknya patut dipertimbangkan, terutama untuk stabilitas di UMM.

Kedua, kala itu hubungan Cabang dengan PDM lumayan memburuk. Selain itu banyak sekali permasalahan internal yang harus diselesaikan. Sementara Didik Wahyudi, tidak pernah duduk di kepengurusan cabang sebelumnya. Kita berharap ada orang yang sudah ada di dalam cabang dulu untuk membenahi, dan tidak ada yang lagi selain saya dan Yusuf. Ketika Mas Arif Rahmawan menjadi ketua cabang, sebelumnya dia adalah sekum. Ketika Mas Taufik Suwardi menjadi ketua cabang, sebelumnya dia adalah kabid kader. Semuanya incumbent.

Ketiga, kenapa tidak saya saja yang jadi ketua cabang kala itu? saya sudah berdiskusi dengan Yusuf. Dalam suksesi untuk Ketua Umum, maka harus ada yang mengusahakan dan diusahakan. Istilah politisnya, harus ada tim sukses. Kala itu, dengan sikap Yusuf yang cenderung pasif dan diam, sangat susah jika harus menjadi tim sukses. Tim sukses inilah yang mengusahakan, dan calon itulah yang diusahakan. Dan saya kala itu berperan menjadi orang yang mengusahakan. Jika kemudian saya meminta untuk dipilih sebagai ketua, bukankah itu sangat oportunistik?

Namun jujur. Hingga menjelang pemilihan formatur, nama Yusuf belum bisa dipastikan untuk posisi ketua umum, masih sekedar wacana. Meskipun tiga nama lainnya seperti Ryan Akbar, Prima dan Amal bisa menjadi rekomendasi untuk itu, terlebih mereka adalah mantan ketua komisariat. Tapi dari tiga nama tersebut, hanya Ryan Akbar yang masuk formatur dan itupun tidak bersedia menjadi ketua umum. Akhirnya hanya tersisa nama Yusuf, dan setelah pemungutan suara formatur selesai, Yusuf mengatakan siap menjadi pimpinan cabang dan jika harus dipilih sebagai ketua umum pun ya monggo. Saya masih menyimpan rekaman diskusinya.

Karena Yusuf bersedia, maka 13 formatur yang terpilih kala itu : Yusuf, Saya, Fajrin, Akbar, Adi, Falaq, Ari dan Tiwi (Non PTM) Didik, Nabawi, Syahrir, Bashirudin, dan Dedik (UMM) bersepakat untuk memilih Yusuf sebagai ketua umum PC IMM Malang periode 2013-2014. Andaikan Yusuf tidak bersedia kala itu, mungkin kami akan memilih Didik Wahyudi karena dari 13 nama formatur, yang bersedia hingga akhir menjadi ketua cabang hanya dua itu.

Suksesi ini adalah berkat kerja keras semua pihak. Seperti Akbar yang telaten membina kader-kadernya di IMM UM, Prima dan Amal yang juga terus melakukan komunikasi intensif dengan IMM UB, dan saya yang secara kultural dekat dengan IMM Kanjuruhan kala itu, plus saya adalah kader IMM Maliki. Ditambah kedekatan yang dibingkai dalam Almaun Community. Kolaborasi bersama itulah yang berhasil mengangkat nama Yusuf. Apalagi, yang mengusahakan hal ini adalah tiga mantan ketum : Akbar, Prima, dan Amal yang tentu memiliki kemampuan berlebih dalam komunikasi massa serta pengaruhnya terhadap kader-kader IMM di kampusnya. Bahkan beberapa rekomendasi Musycab di komisi C pun juga banyak muncul dari ide/gagasan mereka.

Lemahnya Komunikasi

Saya harus mengakui jika pasca Musycab, kesalahan mendasar yang kita lakukan adalah lemahnya komunikasi. Misalkan saja, jelang Musycab saya harusnya berkomunikasi lebih jauh kepada Cak Sur yang kala itu duduk di Sekum, atau berdiskusi lebih lanjut dengan senior-senior seperti Mas Habibie, dan lain-lain. namun hal itu urung dilakukan, itulah kesalahan pertama, dan saya mengakuinya.

Selain itu, komunikasi juga sangat lemah dengan Korkom dan tiga komisariat di IMM Maliki. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi formal-struktural. Kader IMM Maliki yang kala itu duduk di stuktural PC IMM Malang pun juga jarang sekali berjumpa untuk membahas hal-hal strategis. Inisiatif justru muncul dari ketua Korkom kala itu, Farihul Muflihin yang memberikan ruang dialektika bersama. Kala itu saya juga hadir.

Komunikasi yang lemah lainnya adalah dengan Akbar, Prima, dan Amal. Termasuk komunikasi untuk menempatkan posisi struktural di PC IMM Malang. Saya mengakui jika intensitas komunikasi dengan beberapa orang yang dulu sebagai “Tim pengusaha” ini berjalan sangat buruk. Meskipun pada akhirnya Akbar, Prima dan Amal juga masuk menjadi bagian dari struktural PC IMM Malang.

Komunikasi-komunikasi tersebut bukan bertujuan membentuk fasisme antar kelompok. Melainkan adalah upaya untuk “menjaga idealisme” bersama. Sederhananya, ketika PC IMM Malang dketuai oleh kader Non PTM, terutama IMM Maliki, apa nilai tawar yang berlebih? Hal apa saja yang ditawarkan? Baik dalam perkaderan, dakwah, keilmuan hingga kebijakan strategis mulai dari jaringan, pendanaan, dan sejenisnya. Karena lemahnya komunikasi inilah, menurut saya, hingga 7 bulan kepengurusan, tidak ada sesuatu yang “berbeda” dari PC IMM Malang sebelumny. Saya masih berkeyakinan jika amanah itu harus benar-benar dikerjakan dengan baik, terutama untuk membuat sebuah ide/gagasan baru yang konstruktif.

Di internal non ptm sendiri, konstruksi budaya itu telah terjadi dengan isu pemekaran cabang malang hingga lahirnya Almaun Community. Namun seiring berjalannya waktu, dua kekayaan besar ini justru terkesan sebagai “alat politik” untuk suksesi PC IMM Malang. sebagai pelaku, tentu saya merasa bersalah dan jika diperkenankan, biarlah saya orang pertama yang disalahkan karena kecerobohan, kenekatan, dan kengawuran ini. Setelah isu pemekaran cabang itu surut, surut pula atensi pengurus/kader-kader terhadap IMM Malang raya, dan Almaun Community juga terancam vacum bahkan bubar.

Kenapa saya mendukung wacana pemekaran cabang Malang? alasannya mengacu pada teori Karl Marx tentang efisiensi konflik. Banyak kader yang berupaya menghindari konflik, padahal disatu sisi konflik sangat dibutuhkan untuk menghidupkan simpul-simpul sosial yang layu karena hegemoni golongan tertentu. Misalnya, kaum buruh akan menjadi kaum tertindas jika terus menerus diam, kekuatan korporasi akan menjajah mereka. Untuk itu, konflik dimunculkan untuk menjaga kewarasan kemanusiaan.

Dalam kultur wacana IMM Malang raya, IMM non PTM jarang diperhitungkan dalam aspek-aspek semisal keilmuan, politik dan pergerakan. Jika tidak ada upaya rekonstruksi budaya, maka hegemoni sosial ini akan terus terjadi. Stigmatisasi itu akan terus terbangun hingga kiamat. Maka secara tidak langsung, wacana pemekaran cabang Malang yang di inisiasi oleh kader-kader non PTM tersebut adalah bentuk rekonstruksi budaya, atau istilah populisnya “Revolusi mental” kader-kader IMM non PTM.

Maka meskipun mendapatkan kritik sana-sini, hujatan sana-sini, saya tetap mendukung upaya itu karena efek jangka panjangnya sangat positif. Gayung itupun bersambut dengan terpilihnya Yusuf Hamdani Abdi sebagai ketua PC IMM Malang. Namun kita tidak bisa memungkiri, terpilihnya kader IMM Maliki itu sebagai ketua PC IMM Malang juga dimudahkan oleh konflik internal IMM UMM yang tak kunjung usai.

Dalam eskalasi politik, termasuk ketika Musycab, IMM UMM selalu terpecah dalam dua hingga tiga kongsi besar. Dalam Musycab 2013 saja, ada dua faksi besar. FKIP, FAI dan FPP. Sementara Teknik, Fisip, Psikologi, dan Fikes menjadi bagian yang lain. dalam itung-itungan suara saja, jika tidak bersatu, sangat mustahil bagi IMM UMM untuk memperoleh suara dominan. Untuk itulah, selama ini –tanpa kesadaran politik—suara dari non PTM semisal IMM UB, UM dan Maliki menjadi sasaran empuk. Namun pada Musycab 2013 kemarin, soliditas non ptm lumayan kuat, sehingga dari 13 formatur, 8 diantaranya dari non ptm. Secara itung-itungan saja, IMM non PTM dengan 11 komisariat di dalamnya, bisa dengan mudah memenangkan Musycab. Dengan catatan, jika soliditas ini bisa terus di pertahankan.

Sebenarnya agak miris melihat konstelasi politik semacam ini. itung-itungan suara, hingga membentuk poros-poros. Namun bagaimana lagi? Corak berfikir seperti itu telah mengakar sejak lama. Jika non ptm anti dengan budaya seperti itu, maka ia hanya akan jadi “mangsa empuk”. Contoh kasusnya pada Musycab 2012 yang lalu, ketika IMM UB gagal mengusung Mas Mubi Mubarak dan IMM UM gagal mengusung Mas Achmad Zainuri Arif. Padahal, harapan besar sudah terlanjur tersemat di pundak mereka berdua. Akhirnya suara non ptm terorganisir ke salah satu calon dan itu menurut saya adalah wujud “hegemoni yang lain”.

Kultur politik semacam ini sangat susah dihindari, hampir semua organ mahasiswa ekstra budaya politiknya memang sudah demikian. Untuk itu, hal terdekat yang bisa dilakukan adalah mengendalikan sistem dan mengendalikan budaya. Bagaimana caranya? Tentu dengan berada di struktural, dan tentu dengan mengelola pos-pos strategis, terutama dalam hal kebijakan organisatoris. Kita bisa mengambil falsafah jawa “Menang tanpo ngasorake” (menang tanpa merendahkan yang lain).

Sejak Yusuf terpilih menjadi ketua PC IMM Malang, saya sering berdiskusi dengannya, baik di warung kopi ataupun di komisariat. Menurut saya, untuk merubah kultur tersebut, IMM Cabang Malang harus melakukan re-orientasi gerakan. Jika selama ini orientasi IMM Cabang Malang adalah untuk membuat program, maka kedepan IMM Cabang Malang harus memiliki orientasi untuk membangun budaya.

Dua budaya yang sangat perlu untuk dibangun adalah budaya keterbukaan dan budaya kebersamaan. Hal ini sempat muncul diawal-awal, misalkan pembahasan struktur PC IMM Malang periode 2013-2014 hingga pelantikan bersama Korkom IMM se-Malang raya. Dalam amanah musycab pun, salah satu yang direkomendasikan adalah keterbukaan program dan kebijakan. Hanya saja, dua hal ini masih belum diwujudkan, sehingga banyak proker yang tidak dibahas di Musyawarah kerja, bisa dengan mudah dimunculkan. Semisal agenda Milad yang berisi lomba-lomba beberapa waktu itu. Yang lain misalkan, tentang komunikasi dengan birokrasi kampus UMM, agenda Tanwir, kebijakan internal untuk muktamar dan sebagainya.

Budaya yang juga perlu dibangun adalah budaya keilmuan, karena inilah domain besar yang bisa dilakukan cabang. Kalau untuk budaya perkaderan, domain besarnya ada di komisariat. Kita menyadari, pimpinan cabang diupayakan adalah kader yang sudah matang kaderisasinya. Sudah memiliki pemahaman yang cukup terkait ideologi, wacana keislaman dan kepekaan terhadap realitas. Namun dalam hal perkaderan, IMM Cabang Malang bisa membuat sebuah laboratorium perkaderan dengan menghimpun para instruktur IMM se-Malang raya. Misalkan melalui LID. Alur fungsionalnya, para jebolan LID inilah yang akan berdialektika dalam laboratorium tersebut sehingga memunculkan gagasan konstruktif untuk perkaderan di IMM se-Malang raya.

Kembali ke masalah keilmuan. Hal kongkrit yang sudah dilakukan IMM Cabang Malang adalah workshop penelitian. Selain itu, upaya untuk membangun simpul-simpul intelektual juga sudah dilakukan sejak lama, terutama di internal komisariat masing-masing. Orientasi dari workshop riset itu adalah untuk melakukan penelitian dan menghasilkan karya ilmiah. Posisi IMM Cabang Malang dalam hal ini adalah membangun wadah, para penelitinya adalah kader-kader komisariat yang kemudian disebut Tim Riset PC IMM Malang.

Tim Riset diharapkan akan membangun tradisi ilmiah di IMM Malang melalui penelitian dan karya ilmiah. Dalam proses penelitian itu akan melahirkan banyak wacana, diskusi dan juga studi literature. Hasil penelitian tersebut juga akan diseminarkan dengan khalayak luas, sehingga akan ada proses dialektika. Upaya ini bertujuan membangun budaya keilmuan, disamping program momentual seperti diskusi rutinan dan pembahasan blue print keilmuan dengan beberapa intelektual IMM Malang seperti Mas Pradana Boy, Mas Hasnan dan bid. RPK se-Malang raya.

Untuk bidang Tabligh dan Kajian Keislaman misalkan, orientasi yang dibangun tentu bukan program momentual. Melainkan adalah budaya tabligh. Saya sudah pernah mendengar penjelasan dari Mas Rasikh dan Mas Jumhur jika program PM3 (Pelatihan Mubaligh Muda Muhammadiyah) nantinya diupayakan untuk membentuk benih-benih Da’i, dan hal itu tentu tidak mudah. Namun dari orientasi yang ada, terlihat adanya upaya untuk membangun budaya.

Maka level pimpinan cabang, harusnya tidak lagi melakukan kegiatan yang bersifat momentual dengan banyaknya program. Namun bagaimana program tersebut mampu membangun budaya dan menjadi katalisator kebangkitan IMM Malang raya. Jika hanya sekedar program momentual, maka itu adalah domainnya komisariat. Porsi besar pimpinan cabang lainnya adalah pada kebijakan. Baik kebijakan internal maupun eksternal.

Apa yang sudah berubah?

Sejauh ini tidak banyak yang berubah sekalipun ada lima kader IMM Maliki yang ada di struktural PC IMM Malang. Satu di ketua umum, dua di ketua bidang, dua di sekretaris bidang. Hal ini patut menjadi evaluasi bersama, agar kedepannya kader-kader yang didelegasikan ke Cabang adalah kader yang visioner dan mampu melakukan banyak hal untuk keberlangsungan IMM Cabang Malang. Ada beberapa catatan kritikal terkait ini semua.

Pertama, lemahnya komunikasi yang disinggung di muka. Para kader IMM Maliki yang ada di struktural cabang pun terkesan pasif dalam melakukan komunikasi organisatoral, termasuk ketua umum. Inisiatif pertama dulu justru digagas oleh Farih selaku ketua Korkom, yaitu ketika di rumah kakanda Taufiqurrahman atau yang akrab disapa Cak Fek.

Kedua, lemahnya kebersamaan. Empat program terakhir PC IMM Malang menunjukkan lemahnya kebersamaan diinternal. Bahkan sepertinya mulai tumbuh cara berfikir sektoral, terbatas pada program kerja bidangnya masing-masing. Jika untuk program kerja bidang lain, maka ia enggan untuk hadir. Cara berfikir sektoral inilah yang menghambat tujuan bersama.

Ketiga, lemahnya fungsi controling ketua umum. Hal ini secara personal sudah saya sampaikan ke Yusuf Hamdani Abdi. Karena menurut saya, selama ini jarang sekali ada inisiatif dari ketua umum terkait kebijakan-kebijakan strategis mulai dari komunikasi birokrasi dengan UMM, terkait tanwir, delegasi intern untuk kegiatan DAM, hingga isu terkait muktamar ini. Semuanya seperti out of control. Akhirnya, fungsi kebijakan tersebut diambil alih oleh struktur dibawahnya. Terlebih, posisi sekum, Kabidor, dan Bid. Hikmah –tiga pos yang membahas kebijakan—bukan dari tim pengusaha. Yang menjadi masalah adalah ketika kebijakan-kebijakan tersebut hanya menjadi konsumsi sebagian orang, tidak terbuka untuk semua.

Sebelumnya, ketua umum juga tidak pernah berkomunikasi dengan saya, Akbar, Prima dan Amal terkait struktur untuk 3 bidang ini, dan itulah kesalahan paling mendasar. Itu bagian dari lemahnya komunikasi.

Keempat. Sudah tidak adanya kesesuaian antar pengurus. Saya harus mengakui jika antara saya dan Yusuf sudah tidak ada kesesuaian lagi. Sebagai teman, sekaligus yang mengusahakan dirinya menjadi ketua umum, agaknya sudah tidak ada kesepahaman dalam mewujudkan “idelisme bersama” itu. Memang tidak ada kesepakatan tertutup, tapi melihat cara pandangnya dan sepak terjang IMM Cabang Malang selama ini, justru sudah jauh dari “khittah”nya. Seperti untuk pemilihan struktur dahulu, kebijakan terkait komunikasi dengan birokrasi di UMM, masalah Tanwir, kebijakan dalam menentukan pimpinan korkom terutama di UMM, keterbukaan program, dan lain-lain.

Selain itu, lemahnya fungsi manajemen dalam empat agenda terakhir PC IMM Malang sebenarnya juga harus menjadi bahan evaluasi. Saya sudah mengingatkan untuk melakukan evaluasi dan jangan sampai kesalahan yang sama terulang. Kesalahan yang sama itu adalah lemahnya pengorganisasian kegiatan mulai dari konsep acara, kepanitiaan, hingga rencana tindak lanjut yang kadang tak disusun dengan baik. Bahkan ada celetukan “Masa selevel cabang untuk mempersiapkan acara saja masih kalah dengan komisariat?” itu menjadi pukulan telak.

Alasannya sederhana, jika program-program PC IMM Malang tidak dikelola dengan baik dan profesional, maka yang pertama akan disalahkan adalah ketua umumnya. Saya sudah bicarakan ini dengan Yusuf dan dia bilang “ndak apa-apa saya disalahkan”. Permasalahannya bukan itu, imbasnya adalah pada IMM non PTM secara Umum dan IMM Maliki secara khusus. Karena ketua IMM Cabang Malang adalah kader non ptm sekaligus kader IMM Maliki. Maka efeknya tidak hanya pada personal, tapi juga komunal.

Karena itulah, saya merasa bersalah. Bersalah karena tidak bisa berbuat banyak di internal cabang, bersalah karena tidak bisa melaksanakan program yang baik dan profesional, bersalah karena komisariat tidak mendapatkan banyak manfaat dari PC IMM Malang, termasuk komisariat Univ. Kanjuruhan Malang yang kondisinya juga semakin mengkhawatirkan. Maka stigma lama akan terulang lagi “ada atau tidak adanya cabang, tak berpengaruh apa-apa.” Untuk itulah saya mengundurkan diri dari Cabang karena akumulasi rasa bersalah itu.

Di internal masih ada Yusuf, Akbar, Prima, Amal dan belakangan nama Ega, Fajrin, Ayu, dll pun siap untuk mengusung “idealisme bersama” untuk cabang. idealisme bersama itu ada di kultur IMM non PTM, kultur berjuang, kultur keikhlasan, kultur pengorbanan. Tanpa tendensi pragmatik, dan tanpa tendensi golongan.

Semoga catatan sederhana ini mampu memberikan gambaran umum, sekaligus sebagai bahan evaluasi bersama. Kesimpulannya, dengan berat hati saya mengatakan “Cabang tahun ini mungkin lebih baik dari tahun kemaren, tapi mungkin saja tidak lebih baik dari dua tahun sebelumnya”. Wallohu’alam.


Blitar, 17 Mei 2014
(*) Mantan Kabid Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Malang 2013-2014