Sambil menanti kereta api penataran dari jalur tiga
stasiun kota baru Malang, dulu saya pernah berseloroh dengan teman. Apakah
organisasi itu bisa menjadi akselerator dalam hidup kita? bukan masalah berapa
lamanya, tapi sejauh mana kita bisa memanfaatkan waktu ini sebaik-baiknya
dengan berbagi banyak hal kepada orang lain dalam organisasi itu. Dia tak mampu
menjawab dengan pasti. Sambil melengak ke atas, saya pandangi sejenak langit
yang nampak memutih sore itu.
Saya masih ingat, moment itu masuk permulaan tahun 2010,
dipermulaan bulan Januari, dimana langit terkadang bisa berubah mendung
sewaktu-waktu. Dua setengah bulan yang lalu, saya memutuskan untuk bergabung
dalam sebuah Ikatan. Tepatnya, organisasi yang bernama Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah. Teman saya tahu betul, saya orang yang susah diikat oleh apapun,
termasuk idelogi paling tertutup sekalipun.
Ia menjelaskan satu hal, termasuk ketika saya dulu
melanggar banyak pakem di organisasi lain ketika SMA, dan orang dengan lekas
menghakimi saya sebagai orang yang tak taat aturan. Bahkan saya tak sepakat
dengan aturan jam sekolah yang mengharuskan siswanya hadir jam 06.45, karena
itu, saya sudah 9 kali terlambat selama kelas tiga. 9 kali terlambat ketika
kelas dua dan 7 kali terlambat waktu kelas satu. Orang tua saya tiga kali
dipanggil ke sekolah karena terlambat itu.
Apa kamu siap terikat? Saya berfikir ulang. Terikat
seperti apa? Menurut saya tak ada yang spesial dari ikatan itu, tak ada satu
pun senior didalamnya yang meyakinkan saya kalau dia mampu mengikat, maksud
saya mengikat secara ideologis. Saya mungkin akan tetap liar sebagaimana
sekarang ini. Tetapi memang ada yang unik dari organisasi itu, salah satunya,
organisasi itu tak terbelit apapun.
Saya bukan terlahir sebagai Rebel, tetapi sejak kecil
otak saya memang sudah dicuci untuk menjadi liar, bukan liar dalam koridor
“semau gue”, tapi dalam berfikir dan menentukan pilihan. Saya percaya, Tuhan
pun tak ingin mengikat hambanya jika tak ada suatu tujuan. Organisasi pun juga
tak akan mungkin mengikat kadernya jika ia tak memiliki tujuan, minimal tujuan
jangka pendek selama kepengurusan ini. Meski kita menyadari, sekecil apapun,
kita pasti terikat.
Saya tahu, dengan memilih masuk Ikatan itu, saya telah
melepaskan beberapa Ikatan sebelumnya. Ikatan yang berkaitan erat dengan kultur
biologis maupun ideologis di organisasi sebelumnya. Saya tahu akan banyak yang
mencibir, mencaci, bahkan mengultimatum sana-sini. Saya tak bergeming, karena
mereka melakukan hal tersebut karena sudah “terikat” kuat. Mereka berbicara
bukan karena kebebasan, lantas untuk apa kita marah?
Saya pun juga memperkirakan, bahwa organisasi mahasiswa
hanya akan memiliki dua tujuan besar : Menjaga biduknya, atau menguasahi
lautan. Kita yang menanti arah angin atau kita yang mendayungnya sampai ke
ujung pulau dan kita bisa membuat tanda pembatas dari jarak yang kita tempuh
dan itulah wilayah kekuasaan kita.
Orang akan dengan bahagia hidup dalam keterikatan, ketika
ia pun tahu subsidi yang didapat. Jangan mengatakan saya pragmatis, ini realita
dan sudah menjadi-jadi. Tak banyak orang yang meski kelaparan, tapi tetap mau
terikat. Akhirnya muncul dua opsi : Rela terikat tapi perut kenyang atau
kelaparan tapi merasa bebas.
Jangan artikan lapar dan kenyang secara harfiah, itu
hanya simbol alegorial. Dan memang kejadian itu ada. Teman saya –kader Ikatan
juga—kabur entah kemana dengan alasan klasik : ngapain di IMM? Ndak ada guna.
Saya tahu dia tak mau terikat, karena terikat pun juga tetap ‘kelaparan’ dan
tak ada sesuatu yang bisa ‘dipetik’. Orang-orang yang bertahan, mungkin karena
ada satu atau dua hal, atau setidaknya karena mereka merasa harus bebas sembari
menikmati keterikatan itu.
Saya tak mau peduli tentang itu. Saya berikrar bukan
untuk terikat, tapi saya menghendaki kebebasan. Kebebasan dalam menjalankan
roda organisasi, kebebasan dalam bersilat lidah, kebebasan dalam mengkritik
setajam-tajamnya. Dan kebebasan untuk berbuat sesuatu yang baik, sebisa dan
semampu saya sebagai hamba Allah. Itu ambisi. Dan saya menyadari betul bahwa
hidup harus memiliki ambisi. Terlepas dari tercapai atau tidaknya.
Wallohu’alam.
Dengan menyadari kebebasan itu, kita akan sadar bahwa ada
sesuatu yang harus terbuka di dalam batok tengkorak kita ; sebuah jendela
sensitivitas. Dan itu mahal sekali. Tak terukur dengan SKS diperkuliahan dan
tak juga ternilai oleh angka-angka di KHS kita.
Dengan kebebasan itu, saya pun (selaku senior) tak perlu
khawatir dengan kritik dari junior. Karena dalam iklim kebebasan, siapapun
sama, tak terukur batas usia, lama keberadaan, dan tentunya penghormatan. Tak
terpikir juga dengan jangka waktu perjuangan. Semua bergerak dalam kerangka
kesadaran substansial, sekalipun dia tak menjabat apa-apa dalam struktur Ikatan
ini.
Semua itu akan terbayar lunas ketika melihat roda
organisasi tetap bergerak meski perlahan-lahan, melihat puluhan kaki melenggang
ringan ke Masjid tatkala adzan berkumandang, menyaksikan puluhan dari mereka
bersila dilantai dan dengan khusyuk mengikuti diskusi rutinan, mendengarkan gagasan
segar terlontar dalam debat yang cair nan mencerahkan, serta mengamati senyum
sejuk dari para kader yang dengan ‘kebebasan’ mendistribusikan kebaikan.
Ikatan ini tak akan mengajak kita bergerak dalam
kebutaan, sekalipun selongsong peluru berulang kali hadir menembus dinding
pertahanannya yang masih rapuh. Ikatan ini akan menjadi jangkar kehidupan,
setidaknya setelah ini, dalam skala yang kecil atau besar. Siapapun dari kita,
pasti ingin melakukan perubahan besar, dan yang besar itu harus dimulai dari
yang kecil.
There's nothing else to lose, there's nothing
else to find. There's nothing in the world that can change my mind. There is
nothing else.
Saya percaya bahwa masih ada sisa-sisa tenaga untuk
mendayung perahu ini sampai ke perbatasan pulau yang masih berselimut kabut
itu. Dan saya yakin setiap individu mampu memainkan perannya sebagai entitas
yang berwawasan, mampu memberikan pencerahan dan tentunya bisa bergerak bersama
dalam kekuatan komunal berwujud organisasi ini.
Tak ada salahnya untuk membaca kembali kehadiran kita di
ikatan ini dan tentu “ambisi” apa yang kita bawa? Sekalipun perahu ini bernama
Ikatan, semoga kita bisa bebas bergerak. Tak karena tuntutan program kerja atau
justru tekanan dari beberapa pihak. Karena diatas itu semua, ada hal yang lebih
penting ; kebebasan dan kesadaran.
Billahi Fi Sabilil Haq. Fastabiqul Khairot!
Lamongan, 24 Juni 2014
A Fahrizal Aziz