loading...

Jumat, 01 Mei 2015

Ikatan dan Kebebasan



Sambil menanti kereta api penataran dari jalur tiga stasiun kota baru Malang, dulu saya pernah berseloroh dengan teman. Apakah organisasi itu bisa menjadi akselerator dalam hidup kita? bukan masalah berapa lamanya, tapi sejauh mana kita bisa memanfaatkan waktu ini sebaik-baiknya dengan berbagi banyak hal kepada orang lain dalam organisasi itu. Dia tak mampu menjawab dengan pasti. Sambil melengak ke atas, saya pandangi sejenak langit yang nampak memutih sore itu.


Saya masih ingat, moment itu masuk permulaan tahun 2010, dipermulaan bulan Januari, dimana langit terkadang bisa berubah mendung sewaktu-waktu. Dua setengah bulan yang lalu, saya memutuskan untuk bergabung dalam sebuah Ikatan. Tepatnya, organisasi yang bernama Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Teman saya tahu betul, saya orang yang susah diikat oleh apapun, termasuk idelogi paling tertutup sekalipun.

Ia menjelaskan satu hal, termasuk ketika saya dulu melanggar banyak pakem di organisasi lain ketika SMA, dan orang dengan lekas menghakimi saya sebagai orang yang tak taat aturan. Bahkan saya tak sepakat dengan aturan jam sekolah yang mengharuskan siswanya hadir jam 06.45, karena itu, saya sudah 9 kali terlambat selama kelas tiga. 9 kali terlambat ketika kelas dua dan 7 kali terlambat waktu kelas satu. Orang tua saya tiga kali dipanggil ke sekolah karena terlambat itu.

Apa kamu siap terikat? Saya berfikir ulang. Terikat seperti apa? Menurut saya tak ada yang spesial dari ikatan itu, tak ada satu pun senior didalamnya yang meyakinkan saya kalau dia mampu mengikat, maksud saya mengikat secara ideologis. Saya mungkin akan tetap liar sebagaimana sekarang ini. Tetapi memang ada yang unik dari organisasi itu, salah satunya, organisasi itu tak terbelit apapun.

Saya bukan terlahir sebagai Rebel, tetapi sejak kecil otak saya memang sudah dicuci untuk menjadi liar, bukan liar dalam koridor “semau gue”, tapi dalam berfikir dan menentukan pilihan. Saya percaya, Tuhan pun tak ingin mengikat hambanya jika tak ada suatu tujuan. Organisasi pun juga tak akan mungkin mengikat kadernya jika ia tak memiliki tujuan, minimal tujuan jangka pendek selama kepengurusan ini. Meski kita menyadari, sekecil apapun, kita pasti terikat.

Saya tahu, dengan memilih masuk Ikatan itu, saya telah melepaskan beberapa Ikatan sebelumnya. Ikatan yang berkaitan erat dengan kultur biologis maupun ideologis di organisasi sebelumnya. Saya tahu akan banyak yang mencibir, mencaci, bahkan mengultimatum sana-sini. Saya tak bergeming, karena mereka melakukan hal tersebut karena sudah “terikat” kuat. Mereka berbicara bukan karena kebebasan, lantas untuk apa kita marah?

Saya pun juga memperkirakan, bahwa organisasi mahasiswa hanya akan memiliki dua tujuan besar : Menjaga biduknya, atau menguasahi lautan. Kita yang menanti arah angin atau kita yang mendayungnya sampai ke ujung pulau dan kita bisa membuat tanda pembatas dari jarak yang kita tempuh dan itulah wilayah kekuasaan kita.

Orang akan dengan bahagia hidup dalam keterikatan, ketika ia pun tahu subsidi yang didapat. Jangan mengatakan saya pragmatis, ini realita dan sudah menjadi-jadi. Tak banyak orang yang meski kelaparan, tapi tetap mau terikat. Akhirnya muncul dua opsi : Rela terikat tapi perut kenyang atau kelaparan tapi merasa bebas.

Jangan artikan lapar dan kenyang secara harfiah, itu hanya simbol alegorial. Dan memang kejadian itu ada. Teman saya –kader Ikatan juga—kabur entah kemana dengan alasan klasik : ngapain di IMM? Ndak ada guna. Saya tahu dia tak mau terikat, karena terikat pun juga tetap ‘kelaparan’ dan tak ada sesuatu yang bisa ‘dipetik’. Orang-orang yang bertahan, mungkin karena ada satu atau dua hal, atau setidaknya karena mereka merasa harus bebas sembari menikmati keterikatan itu.

Saya tak mau peduli tentang itu. Saya berikrar bukan untuk terikat, tapi saya menghendaki kebebasan. Kebebasan dalam menjalankan roda organisasi, kebebasan dalam bersilat lidah, kebebasan dalam mengkritik setajam-tajamnya. Dan kebebasan untuk berbuat sesuatu yang baik, sebisa dan semampu saya sebagai hamba Allah. Itu ambisi. Dan saya menyadari betul bahwa hidup harus memiliki ambisi. Terlepas dari tercapai atau tidaknya. Wallohu’alam.

Dengan menyadari kebebasan itu, kita akan sadar bahwa ada sesuatu yang harus terbuka di dalam batok tengkorak kita ; sebuah jendela sensitivitas. Dan itu mahal sekali. Tak terukur dengan SKS diperkuliahan dan tak juga ternilai oleh angka-angka di KHS kita.

Dengan kebebasan itu, saya pun (selaku senior) tak perlu khawatir dengan kritik dari junior. Karena dalam iklim kebebasan, siapapun sama, tak terukur batas usia, lama keberadaan, dan tentunya penghormatan. Tak terpikir juga dengan jangka waktu perjuangan. Semua bergerak dalam kerangka kesadaran substansial, sekalipun dia tak menjabat apa-apa dalam struktur Ikatan ini.

Semua itu akan terbayar lunas ketika melihat roda organisasi tetap bergerak meski perlahan-lahan, melihat puluhan kaki melenggang ringan ke Masjid tatkala adzan berkumandang, menyaksikan puluhan dari mereka bersila dilantai dan dengan khusyuk mengikuti diskusi rutinan, mendengarkan gagasan segar terlontar dalam debat yang cair nan mencerahkan, serta mengamati senyum sejuk dari para kader yang dengan ‘kebebasan’ mendistribusikan kebaikan.

Ikatan ini tak akan mengajak kita bergerak dalam kebutaan, sekalipun selongsong peluru berulang kali hadir menembus dinding pertahanannya yang masih rapuh. Ikatan ini akan menjadi jangkar kehidupan, setidaknya setelah ini, dalam skala yang kecil atau besar. Siapapun dari kita, pasti ingin melakukan perubahan besar, dan yang besar itu harus dimulai dari yang kecil.

There's nothing else to lose, there's nothing else to find. There's nothing in the world that can change my mind. There is nothing else.

Saya percaya bahwa masih ada sisa-sisa tenaga untuk mendayung perahu ini sampai ke perbatasan pulau yang masih berselimut kabut itu. Dan saya yakin setiap individu mampu memainkan perannya sebagai entitas yang berwawasan, mampu memberikan pencerahan dan tentunya bisa bergerak bersama dalam kekuatan komunal berwujud organisasi ini.

Tak ada salahnya untuk membaca kembali kehadiran kita di ikatan ini dan tentu “ambisi” apa yang kita bawa? Sekalipun perahu ini bernama Ikatan, semoga kita bisa bebas bergerak. Tak karena tuntutan program kerja atau justru tekanan dari beberapa pihak. Karena diatas itu semua, ada hal yang lebih penting ; kebebasan dan kesadaran.

Billahi Fi Sabilil Haq. Fastabiqul Khairot!

Lamongan, 24 Juni 2014
A Fahrizal Aziz