Jelang Musycab
(Musyawarah Cabang) biasanya muncul tiga poros besar, yang semuanya dari UMM.
Pertama, poros FAI, FKIP, dkk. Kedua, Poros Aufklarung, Fisip, dkk. Poros
ketiga, kadang muncul kadang tidak. Terlepas dari poros-poros itu, biasanya ada
kekuatan yang cukup dominan, namun sayangnya kurang punya ‘power’ dalam
memainkan fungsi strategis. Ialah IMM non PTM (UIN, UB, UM, IBU, dan UK) yang
jumlahnya sangat dominan : 11 komisariat dari 21 komisariat.
Biasanya, suara
gemuk IMM non PTM ini menjadi sasaran empuk dua poros politik diatas. Tahun
2013, untungnya, IMM non PTM mampu membentuk poros ketiga dan berhasil dominan
dalam formatur hingga struktur pimpinan cabang. Namun jangan salah sangka,
poros-poros politik itu muncul tidak selalu berkonotasi negatif. Melainkan
sebagai ‘proses’ pembelajaran komunikasi massa, dan tentunya berfastabiqul
khoirot.
Para kader
komisariat yang ada di pimpinan cabang tersebut, akan menjadi lokomotif
tambahan untuk kemajuan komisariatnya, karena otomatis ada banyak jaringan yang
bisa diakses. Selama ini, IMM non PTM kurang kompetitif dengan IMM UMM karena
memang, selama bertahun-tahun, lemah dalam partisipasi politik atau hubungan
eksternal. Banyaknya kader yang diproduksi IMM non PTM, jadi semacam ‘gajah
bengkak’.
Kelemahan IMM non
PTM yang paling fundamental adalah politik, baru kemudian wacana keilmuan.
Untuk hal-hal lain, semisal relijiusitas (berbasis ritual dan simbol) bolehlah
sedikit berbangga. Kelemahan dalam politik itu berimbas pada banyak hal,
misalnya lemahnya komunikasi massa dan forum, lemahnya penguasaan isu, hingga
lemahnya jaringan. Kelemahan dalam wacana kelimuan tersebut, juga berimbas pada
lemahnya berbagai metodologi, baik yang bersifat perkaderan ataupun kelembagaan.
Kita tak bisa
memungkiri, dalam bidang politik dan keilmuan, Komisariat Tamadun FAI menjadi
primadona, karena dalam politik, Komisariat ini selalu dominan. Bahkan ketika
IMM Cabang Malang diduduki mayoritas kader non PTM, Manuver politik FAI masih
sangat kuat. Untuk pengaturan kelembagaan dan strukturalisasi kader, komisariat
Aufklarung bisa menjadi contoh bagi komisariat yang lain. Maka tak heran, kedua
komisariat ini menjadi kekuatan yang sangat dominan ketika Musycab berlangsung.
IMM non PTM, tentu
butuh waktu untuk menata diri. Menata internal pun tidak cukup, butuh
partisipasi eksternal. Moment Musycab menjadi peristiwa paling mencolok untuk
mengukur kapabilitas komisariat. Mana yang paling siap berperan secara
eksternal, dan mana yang sudah lelah karena energinya habis untuk mengurus
internal.
Dalam prediksi saya,
alur Musycab 2015 yang akan digelar akhir Februari ini akan dengan mudah
dikendalikan dua poros besar. Namun saya juga tak tahu apakah akan ada manuver
politik dari IMM non PTM. Akan tetapi, melihat kultur yang ada, baik UMM maupun
non PTM tengah mengalami ‘perceraian kultural’. Salah satu indikasinya, sudah
tak ada lagi wadah kultural yang mempertemukan idelisme bersama.
Pada tahun 2013,
sempat muncul forum komunikasi ketua komisariat, sempat muncul wacana cabang
dua, muncul juga forum IMM non PTM. Semua itu adalah forum kultural.
Untuk itu, betatapun
kompleksnya arena Musycab nanti, IMM non PTM tentu harus bisa menentukan sikap.
Jika belum berminat untuk membangun poros baru, tak ada salahnya untuk meneliti
dua poros yang ada. Mendalami isu dan wacana yang berkembang. Serta berembuk
bersama (jangan tercerai berai). Karena suara 11 komisariat itu sangat
menentukan, terutama ketika forum deadlock dan harus dilangsungkan voting.
Tinggal menantikan,
siapakah inisiator yang akan muncul, terutama di IMM non PTM. Siapakah sosok
yang akan menjadi penggerak dalam suksesi Musycab ini. Karena tidak mungkin,
bahtera IMM non PTM yang berjumlah 11 komisariat tersebut akan berjalan tanpa
komando. Dan pertanyaan yang paling urgen, siapakah yang akan menjadi calon
formatur dari 11 komisariat IMM non PTM?
Apakah kegemilangan
IMM non PTM di Musycab 2013 yang lalu akan berlanjut? Sekarang saya hanya bisa
menyimak, dan semoga muncul sosok inisiator tersebut. Amin.
16
Februari 2015
A
Fahrizal Aziz