loading...

Rabu, 01 April 2015

Menyusun kurikulum Perkaderan Komisariat



Saya mendapatkan sms dari Husnul Hidayati, Kabid Kader IMM Koms. Pelopor UIN Malang. sms itu berupa undangan diskusi dalam rangka menyusun kurikulum perkaderan Komisariat. Agenda diadakan di rumah Kakanda Taufiqurrahman (29/12/13) jam 10.00. Saya ijin datang terlambat karena ada agenda di CFD (Car free day) dan baru sampai di tempat pertemuan pukul 10.45. Disana sudah ada beberapa pengurus harian dan juga domisioner. Saya diundang atas nama domisioner. Sejenak saya merenung, membuat kurikulum perkaderan? Sebuah ide cemerlang yang harus diapresiasi.


Meskipun secara umum kita sudah punya SPI (Sistem Perkaderan Ikatan), tapi apa yang tertuang di SPI memang didesain secara global. Ibarat kita menjahit baju, bukan kita yang membuat ukurannya. Jika diterapkan, bisa kekecilan, bisa juga kebesaran, kemungkinan pas sangat sedikit. Justru lebih sering kebesaran.

Husnul, selaku Kabid Kader merasa prihatin dengan proses kaderisasi di IMM, khususnya Komisariat Pelopor. Tidak ada sistem yang berkesinambungan, sehingga setiap tahun kegiatan perkaderan selalu memulai dari awal lagi. Ibarat membangun rumah, hanya sibuk berkutat menyusun pondasi. Itu berlangsung setiap tahun, setiap periode dan berulang-ulang.

Meskipun sebenarnya visi misi antara dua ketua umum terakhir ini cukup berkesinambungan. Misalkan ketika periode kepemimpinan Farihul Muflihin (2012-2013) konsentrasi penuh pada masalah penataan internal, dan periode kepemimpinan Ali Rasyiadi Adnan (2013-2014) konsentrasi pada hubungan eksternal IMM dengan PDM dan IMM se-Malang raya. Hanya saja, visi yang mulia itu tidak disertai dengan progam dan kurikulum yang jelas.

Sebagai domisioner, saya hanya berpesan. Yang terpenting dalam sebuah Organisasi itu yang pertama dan utama bukan masalah sistem atau manajemen, melainkan masalah figur. Karena figur inilah yang akan memobilisasi sistem dan budaya komisariat. Misalkan figur yang sholeh, ia pasti akan membawa dampak pada komisariat. Begitu pula figur yang intelek. Figur-figur itulah yang akan membuat sebuah Budaya.

Dalam satu komisariat, figur-figur itulah yang akan menentukan budaya komisariat. Figur yang Islami, akan memberikan brand image kepada komisariat, begitu pula figur yang intelek. Maka jangan pernah berharap akan melahirkan kader-kader yang sholeh, intelek, dan humanis jika tidak ada figur seperti itu. Sekalipun dibuat kurikulum perkaderan yang menuju ke arah sana, jika yang menjalankannya tidak punya kapasitas itu, maka rasanya juga akan kering. Progam-progam yang ada hanya bersifat ritual-ceremonial belaka.

Untuk itu, siapkah menjadi figur-figur tersebut? pertanyaan sederhana yang saya ajukan sebelum melangkah untuk menyusun kurikulum perkaderan. Lagipula, tidak butuh syarat yang begitu sempurna untuk menjadi figur tersebut, apalagi dalam posisi sama-sama belajar. Tapi setidaknya ada pembeda dalam beberapa hal :

Pertama, Budaya dibangun oleh kebiasaan. Contoh sederhana, jika sudah terdengar suara adzan, maka semua diusahakan menuju Masjid untuk Sholat. Jikalau berat dilaksanakan, karena ini dalam proses membuat budaya, maka harus dipaksa dan diusahakan, demi kepentingan bersama. Sejauh ini, saya menilai budaya ini sudah berjalan begitu baik di komisariat pelopor.

Selain itu, dalam membangun budaya wacana, perlu dibuat diskusi kontemporer, bisa bersifat formal maupun kultural. Misalkan ketika antar kader berkumpul, usahakan membangun topik diskusi atau mengomentari peristiwa terkini. Untuk itulah, perlu adanya figur yang suka membaca buku, koran atau media online. Jika ingin terbangun budaya intelektual, hal seperti ini mutlak dilakukan. Para pengurus harian harus membiasakan untuk membaca atau sekedar serving peristiwa terkini.

Proses membuat budaya keilmuan ini memang tidak mudah. Itu saya alami ketika dua periode mengelola bidang Keilmuan Komisariat. Mulai dari kajian interdisipliner dengan membentuk Komsata, Kajian tokoh, hingga diskusi kontemporer yang diwadahi dalam Almaun Community. Partisipasi memang tidak begitu banyak, mungkin tak lebih dari tujuh orang. Tapi semua itu harus tetap kita syukuri.

Karena proses membuat budaya itulah, saya jadi rajin membaca buku, membaca berita di koran maupun media internet. Saya juga mulai belajar menulis. Karena bagi saya, untuk mempelopori sesuatu, harus dimulai dari diri sendiri. Saya kira, ini pengorbanan yang menguntungkan.

Begitupula dalam membangun sensitifitas terhadap lingkungan. Kepedulian terhadap keadaan kampus, mahasiswa dan sistem akademik perlu ditingkatkan dalam membangun humanitas. Maka saya berharap, niat tulus untuk membangun sistem ini juga dibarengi dengan semangat merubah diri untuk menjadi figur-figur tersebut.

Kedua, setelah itu akan terbangun budaya. Budaya inilah yang akan menjadi brand image bagi komisariat. Jika budaya sudah ada, maka sistem itu secara otomatis akan terbentuk. Langkah menuju kesana sudah terbuka lebar. Namun sekali lagi, yang mampu membangun budaya tersebut adalah figur-figur yang saya kemukakan diatas.

Kita berharap, Komisariat itu akan menjadi “kampus kedua’’ setelah aktifitas perkuliahan. Komisariat bisa menjadi tempat belajar ilmu-ilmu sosial berupa kepemimpinan, manajemen dan komunikasi. Tiga hal itu merupakan instrument penting dalam membangun kehidupan seseorang. Dan budaya komisariat juga faktor penting dalam membangun pribadi-pribadi kader tersebut.

Ketiga, tentu masalah sistem yang kemudian diejawantahkan dalam bentuk kurikulum, yang manifestasi riilnya ke progam-progam. Pada aspek ketiga inilah yang akan kita diskusikan, kita susun dan kita jalankan. Namun, sebelum menyusun itu semua, --sekali lagi, sudahkah mempersiapkan diri untuk menjadi figur-figur tersebut?

Kenapa ini penting? Karena bagaimanapun juga teladan itu dibutuhkan. Mulai sekarang, setiap pengurus harian yang berupaya membangun sistem itu harus mempersiapkan diri menggali potensi pribadinya. Setidaknya, ada figur yang mewakili tiga nilai tersebut. Figur yang intelek, religius dan humanis.

Ini memang tidak mudah. Tapi bukan sesuatu yang mustahil! Kita harus memulainya! Dan selamat kepada Bidang Kader, yang telah memiliki inisiatif mulia ini. fastabiqul Khairat.

Malang, 29 Desember 2013
A Fahrizal Aziz