Saya mendapatkan
sms dari Husnul Hidayati, Kabid Kader IMM Koms. Pelopor UIN Malang. sms itu
berupa undangan diskusi dalam rangka menyusun kurikulum perkaderan Komisariat.
Agenda diadakan di rumah Kakanda Taufiqurrahman (29/12/13) jam 10.00. Saya ijin
datang terlambat karena ada agenda di CFD (Car free day) dan baru sampai di
tempat pertemuan pukul 10.45. Disana sudah ada beberapa pengurus harian dan
juga domisioner. Saya diundang atas nama domisioner. Sejenak saya merenung,
membuat kurikulum perkaderan? Sebuah ide cemerlang yang harus diapresiasi.
Meskipun secara
umum kita sudah punya SPI (Sistem Perkaderan Ikatan), tapi apa yang tertuang di
SPI memang didesain secara global. Ibarat kita menjahit baju, bukan kita yang
membuat ukurannya. Jika diterapkan, bisa kekecilan, bisa juga kebesaran,
kemungkinan pas sangat sedikit. Justru lebih sering kebesaran.
Husnul, selaku
Kabid Kader merasa prihatin dengan proses kaderisasi di IMM, khususnya
Komisariat Pelopor. Tidak ada sistem yang berkesinambungan, sehingga setiap
tahun kegiatan perkaderan selalu memulai dari awal lagi. Ibarat membangun
rumah, hanya sibuk berkutat menyusun pondasi. Itu berlangsung setiap tahun,
setiap periode dan berulang-ulang.
Meskipun
sebenarnya visi misi antara dua ketua umum terakhir ini cukup berkesinambungan.
Misalkan ketika periode kepemimpinan Farihul Muflihin (2012-2013) konsentrasi
penuh pada masalah penataan internal, dan periode kepemimpinan Ali Rasyiadi
Adnan (2013-2014) konsentrasi pada hubungan eksternal IMM dengan PDM dan IMM
se-Malang raya. Hanya saja, visi yang mulia itu tidak disertai dengan progam
dan kurikulum yang jelas.
Sebagai
domisioner, saya hanya berpesan. Yang terpenting dalam sebuah Organisasi itu
yang pertama dan utama bukan masalah sistem atau manajemen, melainkan masalah
figur. Karena figur inilah yang akan memobilisasi sistem dan budaya komisariat.
Misalkan figur yang sholeh, ia pasti akan membawa dampak pada komisariat.
Begitu pula figur yang intelek. Figur-figur itulah yang akan membuat sebuah
Budaya.
Dalam satu
komisariat, figur-figur itulah yang akan menentukan budaya komisariat. Figur
yang Islami, akan memberikan brand image kepada komisariat, begitu pula
figur yang intelek. Maka jangan pernah berharap akan melahirkan kader-kader
yang sholeh, intelek, dan humanis jika tidak ada figur seperti itu. Sekalipun
dibuat kurikulum perkaderan yang menuju ke arah sana, jika yang menjalankannya
tidak punya kapasitas itu, maka rasanya juga akan kering. Progam-progam yang
ada hanya bersifat ritual-ceremonial belaka.
Untuk itu,
siapkah menjadi figur-figur tersebut? pertanyaan sederhana yang saya ajukan
sebelum melangkah untuk menyusun kurikulum perkaderan. Lagipula, tidak butuh
syarat yang begitu sempurna untuk menjadi figur tersebut, apalagi dalam posisi
sama-sama belajar. Tapi setidaknya ada pembeda dalam beberapa hal :
Pertama,
Budaya dibangun oleh kebiasaan. Contoh sederhana, jika sudah terdengar suara
adzan, maka semua diusahakan menuju Masjid untuk Sholat. Jikalau berat
dilaksanakan, karena ini dalam proses membuat budaya, maka harus dipaksa dan
diusahakan, demi kepentingan bersama. Sejauh ini, saya menilai budaya ini sudah
berjalan begitu baik di komisariat pelopor.
Selain itu, dalam
membangun budaya wacana, perlu dibuat diskusi kontemporer, bisa bersifat formal
maupun kultural. Misalkan ketika antar kader berkumpul, usahakan membangun
topik diskusi atau mengomentari peristiwa terkini. Untuk itulah, perlu adanya
figur yang suka membaca buku, koran atau media online. Jika ingin terbangun
budaya intelektual, hal seperti ini mutlak dilakukan. Para pengurus harian
harus membiasakan untuk membaca atau sekedar serving peristiwa terkini.
Proses membuat
budaya keilmuan ini memang tidak mudah. Itu saya alami ketika dua periode
mengelola bidang Keilmuan Komisariat. Mulai dari kajian interdisipliner dengan
membentuk Komsata, Kajian tokoh, hingga diskusi kontemporer yang diwadahi dalam
Almaun Community. Partisipasi memang tidak begitu banyak, mungkin tak lebih
dari tujuh orang. Tapi semua itu harus tetap kita syukuri.
Karena proses
membuat budaya itulah, saya jadi rajin membaca buku, membaca berita di koran
maupun media internet. Saya juga mulai belajar menulis. Karena bagi saya, untuk
mempelopori sesuatu, harus dimulai dari diri sendiri. Saya kira, ini
pengorbanan yang menguntungkan.
Begitupula dalam
membangun sensitifitas terhadap lingkungan. Kepedulian terhadap keadaan kampus,
mahasiswa dan sistem akademik perlu ditingkatkan dalam membangun humanitas.
Maka saya berharap, niat tulus untuk membangun sistem ini juga dibarengi dengan
semangat merubah diri untuk menjadi figur-figur tersebut.
Kedua,
setelah itu akan terbangun budaya. Budaya inilah yang akan menjadi brand
image bagi komisariat. Jika budaya sudah ada, maka sistem itu secara
otomatis akan terbentuk. Langkah menuju kesana sudah terbuka lebar. Namun
sekali lagi, yang mampu membangun budaya tersebut adalah figur-figur yang saya
kemukakan diatas.
Kita berharap,
Komisariat itu akan menjadi “kampus kedua’’ setelah aktifitas perkuliahan.
Komisariat bisa menjadi tempat belajar ilmu-ilmu sosial berupa kepemimpinan,
manajemen dan komunikasi. Tiga hal itu merupakan instrument penting dalam
membangun kehidupan seseorang. Dan budaya komisariat juga faktor penting dalam
membangun pribadi-pribadi kader tersebut.
Ketiga,
tentu masalah sistem yang kemudian diejawantahkan dalam bentuk kurikulum, yang
manifestasi riilnya ke progam-progam. Pada aspek ketiga inilah yang akan kita
diskusikan, kita susun dan kita jalankan. Namun, sebelum menyusun itu semua,
--sekali lagi, sudahkah mempersiapkan diri untuk menjadi figur-figur tersebut?
Kenapa ini
penting? Karena bagaimanapun juga teladan itu dibutuhkan. Mulai sekarang,
setiap pengurus harian yang berupaya membangun sistem itu harus mempersiapkan
diri menggali potensi pribadinya. Setidaknya, ada figur yang mewakili tiga
nilai tersebut. Figur yang intelek, religius dan humanis.
Ini memang tidak
mudah. Tapi bukan sesuatu yang mustahil! Kita harus memulainya! Dan selamat
kepada Bidang Kader, yang telah memiliki inisiatif mulia ini. fastabiqul
Khairat.
Malang,
29 Desember 2013
A
Fahrizal Aziz