loading...

Selasa, 28 April 2015

Tahun baru dengan harapan yang tertunda



Malam semakin larut, saya masih menemani Ustad Faruq membakar jagung, di dekat perapian itu kami berbincang banyak hal, terutama tentang kondisi kampus dan masa depan IMM UIN Malang. Saya paham, sebagai senior, Ustad Faruq ingin agar IMM terus berkibar dan semakin besar. Ia berharap kegiatan kultural semacam ini bisa sering dilaksanakan, sebagai ajang silaturahim dan pengikat emosional. Malam itu, adalah malam terakhir di tahun 2013, semakin larut semakin ramai, kader-kader IMM UIN mulai berdatangan ke rumah Ustad Faruq.


Sebenarnya saya lelah sekali, karena seharian harus berkutat dengan aktifitas rutin. Pagi hingga siang masih harus studi literature untuk menulis artikel, itu pekerjaan saya, menjadi kontributor beberapa website online. Siang hingga sore harus ke kantor Kemahasiswaan, editing akhir Majalah Suara Akademika, Magrib baru selesai. Hendak pulang, tapi hujan masih lumayan lebat, saya teringat sms-nya Farih siang tadi, jika malam ini akan ada acara bakaran di rumah Ustad Faruq.

Saya sms Mas Yusuf, apa dia juga akan datang? dia agak bimbang, karena banyak juga undangan akhir tahun, saya dengar dia juga mendapatkan undangan dari IMM UMM untuk menghabiskan malam terakhir tahun 2013. Sebagai ketua PC IMM Malang, tentu scedule-nya cukup padat, tapi saya menyarankan agar dia hadir di acara bakaran teman-teman IMM UIN Malang.

Saya sendiri akhirnya juga memutuskan untuk datang, meskipun begitu lelah, saya tahu jika bakaran itu pasti akan berlangsung sampai larut malam. Saya kembali ke kos, berganti baju dan berangkat ke rumah Cak Taufik untuk menjemput Mas Yusuf, lalu berangkat bersama ke rumah Ustad Faruq. Disana sudah ada Farih, Ihsan, Amin, Elly, Fatin dan saya lupa siapa lagi. Sementara Ustad Faruq sedang asyik membakar sate, baru kemudian membakar jagung. Belum banyak yang hadir.

Sebagai senior, Ustad Faruq memang memiliki posisi yang strategis, beliau Dosen Bahasa Arab, sudah Master, dan mungkin saja akan segera menjadi Dosen Fakultas Humaniora dan Budaya. Setidaknya, Ustad Faruq punya banyak waktu untuk membina IMM UIN Malang karena sudah tercatat sebagai Dosen. Sebagai OMEK, peran senior tentu sangat penting, apalagi jika senior itu adalah Dosen.

Tahun 2014 ini, adalah tahun ke-5 bagi saya sebagai kader IMM. Waktu yang lumayan lama, tapi justru saya merasa gelisah, sudah tahun ke-5, apa yang telah saya perbuat untuk IMM? Saya terdiam sejenak. Saya juga khawatir, karena mungkin saja saya tidak bisa seperti Ustad Faruq, lulus tepat waktu dan menjadi Dosen. Setelah lulus nanti, saya berencana hijrah ke Jogjakarta, saya ingin jadi wartawan disana dan jika Tuhan memperkenankan, saya ingin s2 di UNY, mengambil jurusan yang sama.

Pergi ke Jogja adalah upaya menepi dari “gagal”-nya saya memahami jurusan yang saya ambil saat ini ; PGMI. Berulang kali ada telp dan sms, berharap saya mengabdi untuk menjadi Guru di SD/MI mereka, dan jawabannya tetap sama “Masih ada yang harus saya selesaikan di Malang” meskipun berulang kali pula saya ditegur oleh Orang tua. “Jika ada kesempatan jangan ditolak, jangan memikirkan soal gaji dulu”. Saya juga pernah menolak ketika ditawari menjadi Guru Jurnalis di salah satu MIN paling bergengsi di Kota Malang.

Jika nanti saya benar-benar hijrah ke Jogja, tentu saya tidak bisa lagi intens membina IMM UIN Malang. Saya tahu jika hingga tahun ke-5 ini, belum banyak yang saya perbuat. Sampai saat ini, jika membicarakan IMM UIN Malang dengan teman-teman IMM di kampus lainnya, yang terkenang pasti Mas Habibi, Mas Kholiq atau Mas Surya. Belakangan ada Mas Yusuf, karena ketua PC IMM Malang periode 2013-2014 ini adalah kader UIN.

Saya tidak berharap untuk menjadi populer, tapi seseorang yang dikenang seperti itu tentu telah melakukan banyak hal. Misalkan Mas Habibi, ia dikenal sebagai orang yang pandai dalam menata administrasi di IMM, hingga jago lobiying, tidak ada yang meragukannya. Belakangan Mas Surya juga menjadi “penerus” tradisi itu. Mas Kholiq misalkan, ia dikenal karena wawasan keilmuannya dan kemampuan menulisnya. Begitu pula Mas Yusuf, ia dikenal karena mampu melakukan komunikasi yang menyatukan semua komisariat.

Sebagai kader, tentu saya juga punya impian di IMM, sejak bergabung di akhir 2009 dan mulai menjadi pengurus di pertengahan tahun 2010, saya tahu jika secara kuantitas IMM tak sebanyak PMII, pun dalam brand image, IMM tak akan dianggap lebih jago keilmuannya dibanding HMI atau lebih Islami dibanding KAMMI. Ketika berjumpa dengan kader IMM dari kampus lain pun, dulu saya merasa minder, terutama kader IMM dari UMM. Saya berjanji pada diri sendiri untuk melakukan sesuatu.

Jika secara kuantitas tentu kita sedikit sulit mengusahakannya, apalagi UIN Malang adalah kampus yang historical-backroundnya memiliki kedekatan dengan idiologi tertentu. Tapi dalam hal keilmuan dan keislaman, bukan hal yang mustahil, apalagi di IMM ada Mas Rasikh Adila yang kapasitas keilmuan serta keislamannya tidak bisa diragukan, di IMM pula –saat itu—juga ada Mas Surya, Mbak Nur, dan Mbak Ririn yang siap memback-up manajemen administrasi.

Dan saya dipasrahi untuk mengelola bidang keilmuan, tugas yang tidak mudah, tapi semua tentu harus diupayakan. Saya banyak belajar dengan Mas Kholiq, berdiskusi bersama, belajar menulis. Saya juga sering terlibat diskusi aktif dengan Mas Yusuf, yang juga dipasrahi mengelola bidang keilmuan di komisariatnya. Mimpi saya sederhana ; di IMM harus terbangun budaya keilmuan, minimal ketika kader IMM berbincang-bincang, topik yang diperbincangkan berbau ilmiah, gagasan, dan peristiwa sosial yang terjadi. Bukan obrolan yang biasa-biasa saja, menurut saya obrolannya aktivis dengan mahasiswa biasa itu harus berbeda.

Itu saya lakukan selama dua periode, dan saya tidak tahu bagaimana hasilnya, setidaknya saya sudah berusaha membuat forum diskusi setiap minggunya yang diwadahi dengan Almaun Community, membentuk Komsata (komunitas Syariah dan Tarbiyah), menulis di buletin, koran, dan majalah. Banyak membaca berita, buku, dan artikel agar ketika diajak diskusi oleh kader, mereka bisa mendapatkan sesuatu yang baru dari saya.

Selepas purna tugas komisariat pun, saya lebih banyak jalan-jalan ke komisariat lain, masuk struktural cabang, dan diskusi dengan kader lintas komisariat. Saya mengenal banyak kader progresif semisal Mas Alif (UB), Mas Afif (UM), Mas Wahid (BU), Deni, Ilfa, Nely, Prima, Amal, Rosa, dan lain-lain, mohon maaf saya tidak bisa menyebut satu per satu. Mereka kader yang hebat, saya juga tidak mau kalah, di UIN juga banyak kader seangkatan saya yang hebat-hebat, seperti Mas Rasikh, Mas Yusuf, Mas David Saidi, Farih, Fajrin, Ahsan, Hafidz, Irham, Uzik dan lain-lain –sekali lagi—mohon maaf saya tidak bisa menyebut satu per satu.

Saya berjanji dalam hati, dulu ketika menjadi kader IMM UIN, saya merasa minder jika bertemu dengan kader IMM yang lain, hal itu tidak boleh terjadi dengan Adik angkatan saya. Kita harus mulai membangun IMM bersama, disamping memperkuat manajemen administrasi, kita juga harus membangun budaya keilmuan, saya siap menjadi “tameng” dan orang yang berdiri paling depan.

Kita harus rajin “mengkritik” tanpa harus takut “dikritik”, dan kita harus mulai berani “mendobrak pagar”. Mungkin banyak yang marah kepada saya waktu isu pendirian cabang dua, karena saya lah yang membuat proposalnya. Atau kenapa harus didirikannya Almaun Community Malang, meskipun inisiatif itu tidak datang dari pribadi saya, tetapi atas kesepakatan bersama dari beberapa domisioner IMM UB dan UM. Tetapi selama ini IMM sudah lama tertidur, bahkan pingsan, harus agak “kasar” membangunkannya agar benar-benar siaga.

Mas Yusuf berulang kali mengingatkan saya agar berhenti “menampar” orang lain. Jujur saja, saya tidak pernah merasa “menampar” orang lain. Dulu, waktu di Komisariat, saya juga sering diingatkan Mbak Nur, jangan terlalu “keras”. Saya tidak tahu maksudnya, saya mohon maaf jika selama ini saya “keras” atau suka “menampar”. Semoga kesalahan ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kader-kader yang lain.

Tepat pukul 00.01 saat suara gemuruh kembang api bersahutan dilangit, saya merenung sejenak, apakah harapan dulu itu sudah terwujud? Disaat yang lain sibuk memandang langit, saya hanya terdiam, seolah melakukan hal yang sama. Tapi saya bersyukur, IMM UIN Malang kini sudah sedikit dikenal di Malang raya, ada Yusuf sebagai ketua Umum, ada Fajrin sebagai Sekbid Organisasi, ada Rasikh Adila sebagai Kabid Tablig dan Kajian Keislaman, ada Hafidz sebagai Sekbid SBO dan saya sebagai Kabid Riset dan Pengembangan Keilmuan.

Di Korkom, saya percaya Farih bisa lebih menajamkan lagi eksistensi IMM di UIN Malang. saya hanya berpesan ke seluruh kader: kita tidak perlu minder, Kita juga hebat! Kita juga bisa! Kita sudah membuktikan itu! Jangan lelah untuk berjuang dan menginspirasi. Dimanapun itu, di Komisariat, di kelas, di Masyarakat. Mari kita tunjukkan “matahari” kita, kita tunjukkan tri kompetensi dasar kita.

Akhirnya saya merenung kembali, ini sudah masuk tahun baru, dan ada banyak harapan yang masih tertunda, semoga sisa waktu ini akan terlaksana. Saya harus segera menyelesaikan skripsi dan lekas wisuda, karena Jogja sudah menanti!
Tuhan, terima kasih umurku panjang
Tuhan, terima kasih hidupku lapang
Tuhan, terima kasih jalanku benderang
Tuhan, terima kasih kau pertemukan kami dalam satu ikatan.

Malang, 1 Januari 2013
A Fahrizal Aziz