Malam semakin
larut, saya masih menemani Ustad Faruq membakar jagung, di dekat perapian itu
kami berbincang banyak hal, terutama tentang kondisi kampus dan masa depan IMM
UIN Malang. Saya paham, sebagai senior, Ustad Faruq ingin agar IMM terus
berkibar dan semakin besar. Ia berharap kegiatan kultural semacam ini bisa
sering dilaksanakan, sebagai ajang silaturahim dan pengikat emosional. Malam itu,
adalah malam terakhir di tahun 2013, semakin larut semakin ramai, kader-kader
IMM UIN mulai berdatangan ke rumah Ustad Faruq.
Sebenarnya saya
lelah sekali, karena seharian harus berkutat dengan aktifitas rutin. Pagi
hingga siang masih harus studi literature untuk menulis artikel, itu pekerjaan
saya, menjadi kontributor beberapa website online. Siang hingga sore harus ke
kantor Kemahasiswaan, editing akhir Majalah Suara Akademika, Magrib baru
selesai. Hendak pulang, tapi hujan masih lumayan lebat, saya teringat sms-nya
Farih siang tadi, jika malam ini akan ada acara bakaran di rumah Ustad Faruq.
Saya sms Mas
Yusuf, apa dia juga akan datang? dia agak bimbang, karena banyak juga undangan
akhir tahun, saya dengar dia juga mendapatkan undangan dari IMM UMM untuk
menghabiskan malam terakhir tahun 2013. Sebagai ketua PC IMM Malang, tentu scedule-nya
cukup padat, tapi saya menyarankan agar dia hadir di acara bakaran teman-teman
IMM UIN Malang.
Saya sendiri
akhirnya juga memutuskan untuk datang, meskipun begitu lelah, saya tahu jika
bakaran itu pasti akan berlangsung sampai larut malam. Saya kembali ke kos,
berganti baju dan berangkat ke rumah Cak Taufik untuk menjemput Mas Yusuf, lalu
berangkat bersama ke rumah Ustad Faruq. Disana sudah ada Farih, Ihsan, Amin,
Elly, Fatin dan saya lupa siapa lagi. Sementara Ustad Faruq sedang asyik
membakar sate, baru kemudian membakar jagung. Belum banyak yang hadir.
Sebagai senior,
Ustad Faruq memang memiliki posisi yang strategis, beliau Dosen Bahasa Arab,
sudah Master, dan mungkin saja akan segera menjadi Dosen Fakultas Humaniora dan
Budaya. Setidaknya, Ustad Faruq punya banyak waktu untuk membina IMM UIN Malang
karena sudah tercatat sebagai Dosen. Sebagai OMEK, peran senior tentu sangat
penting, apalagi jika senior itu adalah Dosen.
Tahun 2014 ini,
adalah tahun ke-5 bagi saya sebagai kader IMM. Waktu yang lumayan lama, tapi
justru saya merasa gelisah, sudah tahun ke-5, apa yang telah saya perbuat untuk
IMM? Saya terdiam sejenak. Saya juga khawatir, karena mungkin saja saya tidak
bisa seperti Ustad Faruq, lulus tepat waktu dan menjadi Dosen. Setelah lulus
nanti, saya berencana hijrah ke Jogjakarta, saya ingin jadi wartawan disana dan
jika Tuhan memperkenankan, saya ingin s2 di UNY, mengambil jurusan yang sama.
Pergi ke Jogja
adalah upaya menepi dari “gagal”-nya saya memahami jurusan yang saya ambil saat
ini ; PGMI. Berulang kali ada telp dan sms, berharap saya mengabdi untuk
menjadi Guru di SD/MI mereka, dan jawabannya tetap sama “Masih ada yang harus
saya selesaikan di Malang” meskipun berulang kali pula saya ditegur oleh Orang
tua. “Jika ada kesempatan jangan ditolak, jangan memikirkan soal gaji dulu”.
Saya juga pernah menolak ketika ditawari menjadi Guru Jurnalis di salah satu
MIN paling bergengsi di Kota Malang.
Jika nanti saya
benar-benar hijrah ke Jogja, tentu saya tidak bisa lagi intens membina IMM UIN
Malang. Saya tahu jika hingga tahun ke-5 ini, belum banyak yang saya perbuat.
Sampai saat ini, jika membicarakan IMM UIN Malang dengan teman-teman IMM di
kampus lainnya, yang terkenang pasti Mas Habibi, Mas Kholiq atau Mas Surya.
Belakangan ada Mas Yusuf, karena ketua PC IMM Malang periode 2013-2014 ini
adalah kader UIN.
Saya tidak
berharap untuk menjadi populer, tapi seseorang yang dikenang seperti itu tentu
telah melakukan banyak hal. Misalkan Mas Habibi, ia dikenal sebagai orang yang
pandai dalam menata administrasi di IMM, hingga jago lobiying, tidak ada yang
meragukannya. Belakangan Mas Surya juga menjadi “penerus” tradisi itu. Mas
Kholiq misalkan, ia dikenal karena wawasan keilmuannya dan kemampuan
menulisnya. Begitu pula Mas Yusuf, ia dikenal karena mampu melakukan komunikasi
yang menyatukan semua komisariat.
Sebagai kader,
tentu saya juga punya impian di IMM, sejak bergabung di akhir 2009 dan mulai
menjadi pengurus di pertengahan tahun 2010, saya tahu jika secara kuantitas IMM
tak sebanyak PMII, pun dalam brand image, IMM tak akan dianggap lebih
jago keilmuannya dibanding HMI atau lebih Islami dibanding KAMMI. Ketika
berjumpa dengan kader IMM dari kampus lain pun, dulu saya merasa minder,
terutama kader IMM dari UMM. Saya berjanji pada diri sendiri untuk melakukan
sesuatu.
Jika secara
kuantitas tentu kita sedikit sulit mengusahakannya, apalagi UIN Malang adalah
kampus yang historical-backroundnya memiliki kedekatan dengan idiologi
tertentu. Tapi dalam hal keilmuan dan keislaman, bukan hal yang mustahil,
apalagi di IMM ada Mas Rasikh Adila yang kapasitas keilmuan serta keislamannya
tidak bisa diragukan, di IMM pula –saat itu—juga ada Mas Surya, Mbak Nur, dan
Mbak Ririn yang siap memback-up manajemen administrasi.
Dan saya
dipasrahi untuk mengelola bidang keilmuan, tugas yang tidak mudah, tapi semua
tentu harus diupayakan. Saya banyak belajar dengan Mas Kholiq, berdiskusi
bersama, belajar menulis. Saya juga sering terlibat diskusi aktif dengan Mas
Yusuf, yang juga dipasrahi mengelola bidang keilmuan di komisariatnya. Mimpi
saya sederhana ; di IMM harus terbangun budaya keilmuan, minimal ketika kader
IMM berbincang-bincang, topik yang diperbincangkan berbau ilmiah, gagasan, dan
peristiwa sosial yang terjadi. Bukan obrolan yang biasa-biasa saja, menurut
saya obrolannya aktivis dengan mahasiswa biasa itu harus berbeda.
Itu saya lakukan
selama dua periode, dan saya tidak tahu bagaimana hasilnya, setidaknya saya
sudah berusaha membuat forum diskusi setiap minggunya yang diwadahi dengan
Almaun Community, membentuk Komsata (komunitas Syariah dan Tarbiyah), menulis
di buletin, koran, dan majalah. Banyak membaca berita, buku, dan artikel agar
ketika diajak diskusi oleh kader, mereka bisa mendapatkan sesuatu yang baru
dari saya.
Selepas purna
tugas komisariat pun, saya lebih banyak jalan-jalan ke komisariat lain, masuk
struktural cabang, dan diskusi dengan kader lintas komisariat. Saya mengenal
banyak kader progresif semisal Mas Alif (UB), Mas Afif (UM), Mas Wahid (BU),
Deni, Ilfa, Nely, Prima, Amal, Rosa, dan lain-lain, mohon maaf saya tidak bisa
menyebut satu per satu. Mereka kader yang hebat, saya juga tidak mau kalah, di
UIN juga banyak kader seangkatan saya yang hebat-hebat, seperti Mas Rasikh, Mas
Yusuf, Mas David Saidi, Farih, Fajrin, Ahsan, Hafidz, Irham, Uzik dan lain-lain
–sekali lagi—mohon maaf saya tidak bisa menyebut satu per satu.
Saya berjanji
dalam hati, dulu ketika menjadi kader IMM UIN, saya merasa minder jika bertemu
dengan kader IMM yang lain, hal itu tidak boleh terjadi dengan Adik angkatan
saya. Kita harus mulai membangun IMM bersama, disamping memperkuat manajemen
administrasi, kita juga harus membangun budaya keilmuan, saya siap menjadi
“tameng” dan orang yang berdiri paling depan.
Kita harus rajin
“mengkritik” tanpa harus takut “dikritik”, dan kita harus mulai berani
“mendobrak pagar”. Mungkin banyak yang marah kepada saya waktu isu pendirian
cabang dua, karena saya lah yang membuat proposalnya. Atau kenapa harus
didirikannya Almaun Community Malang, meskipun inisiatif itu tidak datang dari
pribadi saya, tetapi atas kesepakatan bersama dari beberapa domisioner IMM UB
dan UM. Tetapi selama ini IMM sudah lama tertidur, bahkan pingsan, harus agak
“kasar” membangunkannya agar benar-benar siaga.
Mas Yusuf
berulang kali mengingatkan saya agar berhenti “menampar” orang lain. Jujur
saja, saya tidak pernah merasa “menampar” orang lain. Dulu, waktu di
Komisariat, saya juga sering diingatkan Mbak Nur, jangan terlalu “keras”. Saya
tidak tahu maksudnya, saya mohon maaf jika selama ini saya “keras” atau suka
“menampar”. Semoga kesalahan ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi
kader-kader yang lain.
Tepat pukul 00.01
saat suara gemuruh kembang api bersahutan dilangit, saya merenung sejenak,
apakah harapan dulu itu sudah terwujud? Disaat yang lain sibuk memandang
langit, saya hanya terdiam, seolah melakukan hal yang sama. Tapi saya
bersyukur, IMM UIN Malang kini sudah sedikit dikenal di Malang raya, ada Yusuf
sebagai ketua Umum, ada Fajrin sebagai Sekbid Organisasi, ada Rasikh Adila
sebagai Kabid Tablig dan Kajian Keislaman, ada Hafidz sebagai Sekbid SBO dan
saya sebagai Kabid Riset dan Pengembangan Keilmuan.
Di Korkom, saya
percaya Farih bisa lebih menajamkan lagi eksistensi IMM di UIN Malang. saya
hanya berpesan ke seluruh kader: kita tidak perlu minder, Kita juga hebat! Kita
juga bisa! Kita sudah membuktikan itu! Jangan lelah untuk berjuang dan
menginspirasi. Dimanapun itu, di Komisariat, di kelas, di Masyarakat. Mari kita
tunjukkan “matahari” kita, kita tunjukkan tri kompetensi dasar kita.
Akhirnya saya
merenung kembali, ini sudah masuk tahun baru, dan ada banyak harapan yang masih
tertunda, semoga sisa waktu ini akan terlaksana. Saya harus segera
menyelesaikan skripsi dan lekas wisuda, karena Jogja sudah menanti!
Tuhan,
terima kasih umurku panjang
Tuhan,
terima kasih hidupku lapang
Tuhan,
terima kasih jalanku benderang
Tuhan,
terima kasih kau pertemukan kami dalam satu ikatan.
Malang,
1 Januari 2013
A
Fahrizal Aziz