loading...

Selasa, 07 April 2015

Muhammadiyah bikin negara sendiri saja?



Kalimat itu muncul dari obrolan warga di pinggir jalan ketika saya lewat seusai shalat tarawih, saya terhenyak mendengar kalimat itu, karena topik masalah perbedaan masih saja ditanggapi dengan sinis. Saya juga agak heran, di Masjid Imam Bukhari PDM Malang, pintu gerbang juga dikunci rapat selama shalat tarawih berlangsung, sedangkan ditelevisi Pemerintah tengah melaksanakan sidang itsbat untuk menentukan awal mula puasa. Apakah pintu gerbang itu dikunci karena alasan keamanan? Saya kira itu adalah kekhawatiran yang terlalu berlebihan, masyarakat tentu sudah lebih dewasa menyikapi perbedaan sekalipun tak sedikit pula yang merasa jenuh dengan keadaan ini.


Menarik untuk disikapi, munculnya kalimat “Muhammadiyah bikin negara sendiri saja” sebenarnya ada kalimat lain yang juga terdengar sinis “Kalau memang Muhammadiyah tidak mau di atur oleh pemerintah”. Munculnya kalimat semacam itu dari obrolan warga menunjukkan jika perbedaan masih cukup terasa di Masyarakat, terlebih Masyarakat menengah kebawah. Dibeberapa daerah, perbedaan awal puasa masih menyisakan kegaduhan yang cukup mengkhawatirkan. Memang nyaris tidak ada gejolak fisik, tapi tak sedikit yang saling memandang sinis antara yang satu dengan yang lainnya.

Sementara itu, sebagai Organisasi yang lebih tua dari Pemerintah, Muhammadiyah tentu memiliki cara pandang tersendiri dalam menentukan kebijakan, termasuk dalam hal penentuan awal Ramadhan. Sekalipun tidak menutup kemungkinan untuk Muhammadiyah bermakmum dengan Pemerintah dalam hal penentuan awal puasa, sehingga tidak perlu “bersitegang” dengan keputusan Pemerintah dalam sidang itsbat.

Selain itu, Pemerintah baru menggelar sidang itsbat menjelang tanggal perkiraan. Misalkan Ramadhan diperkirakan tanggal 9, maka sidang itsbat dilaksanakan tanggal 8. Begitu pula dengan penentuan idul fitri, maka hal ini juga menyebabkan kebingungan dan kegelisahan kepada Masyarakat. Sebaliknya, warga Muhammadiyah tidak pernah merasa bingung karena dengan metode hisab, Muhammadiyah bisa menentukan awal Ramadhan dan idul fitri selama beberapa tahun kedepan.

Masalah perbedaan penentuan awal Ramdhan dan idul fitri ini tentu bukan hal baru di Indonesia, namun kita rasakan betul jika perbedaan ini agaknya kian ‘memanas’ selama empat tahun terakhir ini. Dalam sidang itsbat terakhir yang diikuti Muhammadiyah, terlihat betul bagaimana diskusi berjalan satu arah dan statement Prof. Thomas Djamaludin yang begitu Provokatif terhadap Muhammadiyah. Dari diskusi itu kita bisa membaca jika hubungan antara Muhammadiyah dan Kemenag agaknya kurang ‘harmonis’ dalam hal penentuan awal Ramdhan dan idul fitri.

Dari berbagai pernyataan Prof. Thomas Djamludin, terlihat jika perbedaan antara Pemerintah dan Muhammadiyah ditanggapi begitu reaksioner. Saya tidak tahu, apakah kejadian seperti ini juga muncul ketika kementerian Agama di pimpin Prof. Malik Fadjar atau Dr. Tarmizi Taher. Di era Dr. Maftuh Basyuni, perbedaan tidak menyeruak seperti ini, tidak sampai ada kejadian Muhammadiyah pamit untuk melaksanakan lebaran terlebih dahulu. Ini jelas begitu kentara.

Di desa saya, di daerah selatan kota Blitar, masyarakat masih belum ‘mampu’ menerima perbedaan dengan cukup baik, dalam benak sebagian Masyarakat, yang berbeda dari keputusan Mayoritas, dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah, pasti dianggap menyimpang. Namun kita patut bersyukur karena ditengah gejolak perbedaan itu, muncul Kyai atau Da’i yang meluruskan persepsi Masyarakat. para tokoh Agama itu mengajak Ummat untuk menerima perbedaan dalam ceramahnya, dan menjelaskan secara ilmiah kenapa bisa terjadi perbedaan. Namun saya juga pernah menemui Tokoh Agama yang sangat provokatif dan justru menyebabkan emosi umat memuncak.

Dalam satu sisi, perbedaan yang tak kunjung usai ini tentu merupakan sinyal tersendiri, barangkali memang pemerintah yang diwakili oleh Kementrian Agama tidak bisa diterima oleh semua pihak. Dan Muhammadiyah sendiri, sebagai Ormas yang 33 tahun lebih tua dari Negara, tentu memiliki pengalaman yang lebih dalam hal mengelola ummat. Bahasa sederhananya, Muhammadiyah adalah orang yang lebih tua dari negara ini. Saya juga pernah mendengar statement Prof. Din Syamsudin ketika membuka acara Dikpolnas IMM Malang tahun lalu, “Sebagai Ormas yang lebih tua dari Pemerintah, kita harus punya sikap muru’ah

Maka terjadinya perbedaan semacam ini sebenarnya memiliki hikmah tersendiri, dimana fungsi tokoh agama, akademisi, intelektual, sesepuh desa dll semakin dibutuhkan dalam upaya tausiyah dan meredam gejolak konflik. Masyarakat harus berfikir lebih toleran dan lebih cerdas dalam mengkaji masalah perbedaan, dan peran para tokoh itu semakin central, yaitu mencerdaskan Masyarakat. Karena masalah penentuan awal puasa maupun idul fitri menurut saya bukan hal yang fundamental dalam Islam, itu masalah Ijtihad.

Semoga sinisme terhadap perbedaan tidak lagi hadir ditengah Masyarakat, namun kita juga harus bersyukur karena konflik fisik sudah nyaris hilang, sekalipun perbedaan di ekspose secara besar-besaran. Sebagai orang awam, saya akan selalu ikut Pemerintah dalam hal ini, namun semoga Pemerintahan baru yang akan terpilih tahun 2014 nanti bisa menjadi mitra yang baik bagi semua ormas. Wollohu’alam.

Malang, 9 Juli 2013
A Fahrizal Aziz