Kalimat itu
muncul dari obrolan warga di pinggir jalan ketika saya lewat seusai shalat
tarawih, saya terhenyak mendengar kalimat itu, karena topik masalah perbedaan
masih saja ditanggapi dengan sinis. Saya juga agak heran, di Masjid Imam
Bukhari PDM Malang, pintu gerbang juga dikunci rapat selama shalat tarawih
berlangsung, sedangkan ditelevisi Pemerintah tengah melaksanakan sidang itsbat
untuk menentukan awal mula puasa. Apakah pintu gerbang itu dikunci karena
alasan keamanan? Saya kira itu adalah kekhawatiran yang terlalu berlebihan,
masyarakat tentu sudah lebih dewasa menyikapi perbedaan sekalipun tak sedikit
pula yang merasa jenuh dengan keadaan ini.
Menarik untuk
disikapi, munculnya kalimat “Muhammadiyah bikin negara sendiri saja” sebenarnya
ada kalimat lain yang juga terdengar sinis “Kalau memang Muhammadiyah tidak mau
di atur oleh pemerintah”. Munculnya kalimat semacam itu dari obrolan warga
menunjukkan jika perbedaan masih cukup terasa di Masyarakat, terlebih
Masyarakat menengah kebawah. Dibeberapa daerah, perbedaan awal puasa masih
menyisakan kegaduhan yang cukup mengkhawatirkan. Memang nyaris tidak ada
gejolak fisik, tapi tak sedikit yang saling memandang sinis antara yang satu
dengan yang lainnya.
Sementara itu,
sebagai Organisasi yang lebih tua dari Pemerintah, Muhammadiyah tentu memiliki
cara pandang tersendiri dalam menentukan kebijakan, termasuk dalam hal
penentuan awal Ramadhan. Sekalipun tidak menutup kemungkinan untuk Muhammadiyah
bermakmum dengan Pemerintah dalam hal penentuan awal puasa, sehingga tidak
perlu “bersitegang” dengan keputusan Pemerintah dalam sidang itsbat.
Selain itu,
Pemerintah baru menggelar sidang itsbat menjelang tanggal perkiraan. Misalkan
Ramadhan diperkirakan tanggal 9, maka sidang itsbat dilaksanakan tanggal 8.
Begitu pula dengan penentuan idul fitri, maka hal ini juga menyebabkan
kebingungan dan kegelisahan kepada Masyarakat. Sebaliknya, warga Muhammadiyah
tidak pernah merasa bingung karena dengan metode hisab, Muhammadiyah bisa
menentukan awal Ramadhan dan idul fitri selama beberapa tahun kedepan.
Masalah perbedaan
penentuan awal Ramdhan dan idul fitri ini tentu bukan hal baru di Indonesia,
namun kita rasakan betul jika perbedaan ini agaknya kian ‘memanas’ selama empat
tahun terakhir ini. Dalam sidang itsbat terakhir yang diikuti Muhammadiyah,
terlihat betul bagaimana diskusi berjalan satu arah dan statement Prof. Thomas
Djamaludin yang begitu Provokatif terhadap Muhammadiyah. Dari diskusi itu kita
bisa membaca jika hubungan antara Muhammadiyah dan Kemenag agaknya kurang
‘harmonis’ dalam hal penentuan awal Ramdhan dan idul fitri.
Dari berbagai
pernyataan Prof. Thomas Djamludin, terlihat jika perbedaan antara Pemerintah
dan Muhammadiyah ditanggapi begitu reaksioner. Saya tidak tahu, apakah kejadian
seperti ini juga muncul ketika kementerian Agama di pimpin Prof. Malik Fadjar
atau Dr. Tarmizi Taher. Di era Dr. Maftuh Basyuni, perbedaan tidak menyeruak
seperti ini, tidak sampai ada kejadian Muhammadiyah pamit untuk melaksanakan
lebaran terlebih dahulu. Ini jelas begitu kentara.
Di desa saya, di
daerah selatan kota Blitar, masyarakat masih belum ‘mampu’ menerima perbedaan
dengan cukup baik, dalam benak sebagian Masyarakat, yang berbeda dari keputusan
Mayoritas, dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah, pasti dianggap menyimpang.
Namun kita patut bersyukur karena ditengah gejolak perbedaan itu, muncul Kyai
atau Da’i yang meluruskan persepsi Masyarakat. para tokoh Agama itu mengajak
Ummat untuk menerima perbedaan dalam ceramahnya, dan menjelaskan secara ilmiah
kenapa bisa terjadi perbedaan. Namun saya juga pernah menemui Tokoh Agama yang
sangat provokatif dan justru menyebabkan emosi umat memuncak.
Dalam satu sisi,
perbedaan yang tak kunjung usai ini tentu merupakan sinyal tersendiri,
barangkali memang pemerintah yang diwakili oleh Kementrian Agama tidak bisa
diterima oleh semua pihak. Dan Muhammadiyah sendiri, sebagai Ormas yang 33
tahun lebih tua dari Negara, tentu memiliki pengalaman yang lebih dalam hal
mengelola ummat. Bahasa sederhananya, Muhammadiyah adalah orang yang lebih tua
dari negara ini. Saya juga pernah mendengar statement Prof. Din Syamsudin
ketika membuka acara Dikpolnas IMM Malang tahun lalu, “Sebagai Ormas yang lebih
tua dari Pemerintah, kita harus punya sikap muru’ah”
Maka terjadinya
perbedaan semacam ini sebenarnya memiliki hikmah tersendiri, dimana fungsi
tokoh agama, akademisi, intelektual, sesepuh desa dll semakin dibutuhkan dalam
upaya tausiyah dan meredam gejolak konflik. Masyarakat harus berfikir lebih
toleran dan lebih cerdas dalam mengkaji masalah perbedaan, dan peran para tokoh
itu semakin central, yaitu mencerdaskan Masyarakat. Karena masalah penentuan
awal puasa maupun idul fitri menurut saya bukan hal yang fundamental dalam
Islam, itu masalah Ijtihad.
Semoga sinisme
terhadap perbedaan tidak lagi hadir ditengah Masyarakat, namun kita juga harus
bersyukur karena konflik fisik sudah nyaris hilang, sekalipun perbedaan di
ekspose secara besar-besaran. Sebagai orang awam, saya akan selalu ikut
Pemerintah dalam hal ini, namun semoga Pemerintahan baru yang akan terpilih
tahun 2014 nanti bisa menjadi mitra yang baik bagi semua ormas. Wollohu’alam.
Malang,
9 Juli 2013
A
Fahrizal Aziz