loading...

Jumat, 24 April 2015

Buya Syafii Maarif, sosok yang otentik



Salah satu tokoh tua Muhammadiyah yang menjadi rujukan kader-kader mudanya adalah Buya Syafii Maarif. Mantan ketua PP Muhammadiyah periode 2000-2005 itu memang memiliki integritas keilmuan serta komitmen kebangsaan yang tinggi. Tak salah jika namanya terus didengungkan dalam berbagai diskusi, terutama kader-kader IMM yang terpukau dengan wawasan intelektualnya. Buya adalah sosok yang otentik dan tak banyak di temui di negeri ini.


Secara personal, saya belum pernah bertemu beliau, dan Buya juga tidak mengenal saya. Tapi saya selalu aktif mengikuti tulisan-tulisannya di rubrik Resonansi Republika sejak dua tahun ini. Buku-bukunya juga banyak tersedia di rak-rak perpustakaan kampus, karena sering membaca karya tulisnya, saya jadi tertarik untuk menelisik lebih jauh sosok Buya Syafii, apalagi setelah Damien Dematra menulis Novel dan film tentang perjalanan hidup beliau.

Dari sekian banyak tokoh Muhammadiyah, Buya salah satu yang disebut “Guru Bangsa”, padahal, secara struktural, Buya tidak pernah memiliki jabatan Politik. Ia tidak pernah masuk Partai, tidak pernah pula menjadi Pejabat negara. Julukan sebagai “Guru Bangsa” itu lahir dari sikap-sikapnya yang orisinil, apa adanya, dan kritis. Ia lahir sebagai seorang akademisi, intelektual serta tokoh pemersatu bangsa, dan tidak memiliki gairah untuk terjun dalam dunia politik.

Padahal, Buya pernah menduduki dua jabatan yang sangat prestisius, yaitu sebagai ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah dan Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP), Salah satu Organisasi agama terbesar di dunia. Dua jabatan penting yang bisa ia jadikan jangkar untuk terjun ke dalam dunia Politik dan menduduki jabatan yang jauh lebih prestisius. Tapi sikapnya tegas, ia menolak itu semua. Bahkan ia pernah ditawari untuk menjadi ketua umum salah satu Parpol, tapi ia tetap menolak. Padahal, kini jabatan sebagai ketua umum Parpol diperebutkan di banyak Partai.

Banyak orang tergoda dengan tiga hal ; harta, tahta, wanita. Tapi agaknya itu tidak berlaku terhadap Buya Syafii Maarif. Buya tetap beristri satu, dan tetap menolak segala iming-iming Politik, Jabatan, dan sejenisnya. Buya justru semakin konsen dengan dunia Intelektual, membuat karya tulis, mengajar sebagai dosen, dan mengisi majelis ta’lim. Tulisan-tulisannya tajam menusuk, tapi juga membuat orang terhenyak, sebuah kritik yang memang datang dari hati yang tulus.

Di usianya yang menginjak angka 79 tahun, Buya juga masih tetap memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi, terutama dengan Yayasan Maarif Institute yang ia dirikan. Buya mencoba merangkul semua pemuka Agama agar bersama-sama menjaga kerukunan dan persatuan bangsa. Itulah jalan kebangsaan yang dipilih Buya, tidak melulu melalui jalan politik yang penuh intrik. Dalam sebuah wawancara di acara Mata Najwa, Buya pernah ditanya “Kenapa tidak mau terjun ke politik?” dengan rendah hati Buya menjawab “saya tidak mampu terjun dalam kultur kumuh itu”.

Kata “tidak mampu” adalah sebuah ungkapan kejujuran, bagaimana mungkin tokoh sekaliber Buya dengan terbuka mengakui jika ia tidak mampu? Padahal banyak yang berharap –termasuk saya—agar Buya Syafii Maarif terjun ke Politik dan meluruskan segala kekeliruan yang ada. Tapi agaknya itu bukan jalan kebangsaan seorang Buya Syafii Maarif. Ia sadar diri. Buya kini lebih dihargai sebagai seorang Guru, Intelektual, dan alim ulama. Jika ia terjun ke Politik, mungkin akan berbeda lagi.

Namun Buya bukan orang yang anti Politik, jika ada tokoh Politik yang sekiranya cemerlang, Buya tidak segan-segan memuji dan mendukungnya. Misalkan ketika Pilpres 2009, kala itu Buya dengan terbuka mendukung Jusuf Kalla. Dukungan Buya berdasarkan sebuah analisis yang mendalam, dukungan seorang Negarawan, bukan semata mendopleng popularitas. Buya tidak butuh popularitas. Lalu akhir-akhir ini Buya juga dekat dengan Jokowi, sosok yang menyeruak ke publik dan di gadang-gadang menjadi Presiden selanjutnya.

Sama halnya ketika Buya menulis tentang kecendikiawanan Amien Rais dalam berpolitik, meskipun sempat juga Buya mengkritiknya. Buya merasa harus merangkul siapapun yang dinilai masih memiliki kepekaan moral dalam membangun bangsa ini, termasuk tokoh Politik sekalipun.

Di dalam Muhammadiyah, Buya adalah sosok yang mengayomi, terutama terhadap kader-kader mudanya. Dalam sebuah tulisan yang berjudul “Makna konferensi riset tentang Muhammadiyah” yang dimuat di Resonansi. Buya secara spesifik menyebutkan nama tokoh-tokoh muda yang memiliki kualifikasi intelektual yang memadahi. Sebagai sesepuh, Buya begitu perhatian dengan regenerasi, bahkan menghafal nama-nama mereka.

Dalam wacana Intelektual, sosok Buya juga tidak lepas dari kritik, baik dalam internal Muhammadiyah maupun eksternal. Tapi Buya tidak pernah ambil pusing, ia menghadapi dengan biasa saja. Menurutnya, manusia yang tertutup oleh pandangan orang lain, adalah manusia fosil. Itulah kata-kata yang selalu saya ingat. Tidak heran jika kemudian sosok Buya semakin digandrungi anak-anak mudanya.

Sisi lain yang membuat Buya semaki dikagumi adalah posisinya sebagai ketua umum PP Muhammadiyah antara tahun 2000-2005. Secara umum, Buya membagikan pengalamannya memimpin Muhammadiyah ini dalam tiga episode tulisan yang berjudul “Pengalaman memimpin Muhammadiyah”. Ketiganya dimuat di rubrik Resonansi Republika.

Buya memimpin Muhammadiyah ketika Organisasi yang didirikan KH. Ahmad Dahlan ini tengah dalam gejolak kebangsaan yang rumit. Kala itu, Amien Rais, ketua umum PP Muhammadiyah sebelumnya, mendirikan Partai Politik. Banyak yang beranggapan jika Muhammadiyah sudah dijadikan alat Politik, dan Buya harus menangani riak-riak prasangka tersebut. Bukan hal mudah, tapi sepertinya Buya telah berhasil menjadi nahkoda yang baik, dan tetap mengemudikan Muhammadiyah di jalan yang lurus.

Saat itu pula, terjadi konfik grassroot yang akut, terutama setelah turunnya Presiden keempat Abdurahman Wahid. Posisi Muhammadiyah tidak terlalu menguntungkan, terjadi pergolakan dimana-mana. Sekolah dan amal usaha Muhammadiyah kerap kali mendapatkan ancaman, bahkan salah satu sekolah Muhammadiyah di Bondowoso habis di bakar massa yang menjadi fanatikannya Gus Dur, disinyalir para Gusdurian itu adalah warga NU.

Disaat konflik yang membara itu, Buya Syafii Maarif bisa bersikap tenang dan lekas menetralkan keadaan, bahkan ia berteman baik dengan KH. Hasyim Muzadi yang saat itu menjabat sebagai ketua umum PBNU dan mendapatkan tawaran untuk memperbaiki amal usaha Muhammadiyah yang dirusak oleh sebagain massa NU. Tapi Buya menolak dengan alasan jika warga Muhammadiyah bisa mengatasinya sendiri.

Untuk itu jika membaca seorang Buya, setidaknya ada tiga karakter yang bisa kita ambil hikmah. Pertama, sebagai tokoh Muhammadiyah yang tangguh dan mengayomi, terutama ketika menjadi Ketua Umum. Kedua, sebagai seorang cendekiawan muslim yang visioner. Ketiga, sebagai tokoh pemersatu bangsa yang terus berkomitmen untuk menjaga keutuhan bumi pertiwi. Ia terus berdoa agar Indonesia bisa bertahan hingga satu hari sebelum kiamat.

Sebagai kader Muhammadiyah, kita patut berbangga memiliki tokoh sekaliber Buya. Sosok yang otentik. Pada akhirnya, kita akan mengenal Buya karena kecendikiawanannya, bukan karena jabatan tinggi yang diraihnya. Seorang Profesor yang memiliki integritas tinggi, dan seorang sesepuh yang peduli nasib anak muda, persyarikatan dan bangsanya. Buya akan terus menjadi inspirasi bagi kader-kadernya, melalui sikap dan tulisan-tulisannya yang kritis dan menggugah. Wallohu’alam.

Blitar, 11 Februari 2014
Ahmad Fahrizal Aziz