Dalam satu sesi makan siang selepas acara bedah
buku Studi Islam Kontemporer, saya berbincang dengan salah seorang pengurus
cabang, yang kemaren juga masuk formatur. Dia, dengan agak bercanda
mengeluarkan sindiran kepada saya. Kok tiba-tiba hilang? Selebihnya, dia
menceritakan proses Musycab termasuk rapat formatur yang akhirnya berhasil
membentuk struktur dengan tempo sesingkat-singkatnya. Bahkan jauh lebih cepat
dari periode sebelumnya, yang butuh waktu sekitar 3 minggu. Nalar kepo saya pun
muncul dengan membuat pertanyaan tentang proses politik didalamnya. Termasuk
tiga kubu yang entah kebetulan atau setting, berhasil terakomodir dalam tim
formatur.
Hebatnya, meski ada tiga kubu, proses
strukturalisasi tidak berjalan lama. Cukup sekitar satu hingga dua minggu pasca
Musycab. Dan dia pun juga memberikan umpan balik, kenapa IMM UIN tidak begitu
memiliki ambisi? Tentu pertanyaan demikian sangat logis, karena periode yang
lalu, ketua PC IMM Malang adalah kader IMM UIN Maliki. Sebagaimana pola pikir
politik yang serba ekspansionis, setidaknya IMM Maliki tetap memiliki posisi
strategis dalam percaturan politik struktural.
Periode yang lalu, IMM Maliki berhasil memborong
tiga formatur dan lima struktur. Bahkan berhasil mendudukkan kadernya sebagai
ketua PC IMM Malang. IMM Maliki, mendapatkan dukungan sangat kuat dari UM dan
UB, dan tiga komisariat di UMM. Tetapi, memang sejak dulu kita mengalami
pembodohan struktural. Terutama, sampai kapanpun, selalu terjebak pada politik
aliran atau kubu-kubu. Kemaren, secara sporadis, muncul Kubu Alsha, Kubu
Fauzan, atau Kubu Akbar. IMM Maliki tidak berkubu, alias non blok. Bukan karena
tidak ingin berkubu, tapi karena secara kebetulan tidak punya jagoan formatur.
Jadi hanya bisa sedekah suara. Tidak bisa ikut andil dalam rapat formatur,
menentukan struktur hingga ketua PC IMM Malang.
Jika harus menjawab kenapa IMM UIN Maliki tidak
punya ambisi? Tentu saya agak kebingungan. Karena pertama, saya tidak
bersinggungan secara langsung dengan arena Musycab dan tentu dengan realitas
yang ada. Kedua, seperti komentar diatas, saya sudah hilang alias resign alias
mundur sebagai pengurus PC IMM Malang, 5 bulan pasca pelantikan. Sementara
periode yang lalu, berjalan selama 17 bulan. Itu berarti, selama 12 bulan
sisanya, saya tidak tahu menahu apa yang terjadi dengan Cabang, baik dengan
ketuanya, strukturnya, atau program-programnya.
Dan apalagi, saya tidak paham politik. Tidak
mengerti (atau tepatnya) tidak mau terjebak dalam kubu A, kubu B, kubu C,
hingga kubu Z. Periode yang lalu, saat saya menjadi bagian dari Tim Formatur
dan berkesempatan untuk menyusun struktur. Kami memilih Yusuf sebagai ketua
Umum, lalu Yusuf memilih Didik sebagai sekretaris dan mempercayakan dua posisi
strategis kepada dua orang yang secara sikap politik, sebenarnya berseberangan
dengan IMM UIN Maliki. Dan lalu, kami pun juga bersepakat memilih Alsha sebagai
ketua Korkom UMM, yang notabene dari kubu seberang.
Kubu-kubu mungkin penting bagi sebagian
komisariat, tapi bagi IMM UIN Maliki mungkin tidak. Ambisi politik mungkin
penting bagi sebagian komisariat, tapi bagi IMM Maliki mungkin tidak cukup
penting. Yang terpenting adalah, bagaimana PC IMM Malang bisa akomodatif dan
mampu menjadi pemersatu semua komisariat. Bisa menghimpun kekuatan bersama
untuk gerakan keilmuan dan budaya. Bisa menjadi partner konstruktif bagi
komisariat untuk memajukan perkaderan, dan bisa menjadi jejaring yang massif.
Namun, ambisi politik bisa dilihat dalam
perspektif lain. Misalkan, sejauh manakah daya saing antar komisariat. Memang
terlalu dini untuk menyejajarkan tiga komisariat : Pelopor, Reformer, Revivalis
dengan beberapa komisariat di UMM seperti Tamadun FAI, Raushan Fikr atau
Aufklarung, terutama dalam perspektif kelembagaan. Tapi kontestasi secara personal,
bukan hal yang musykil. Ambisi politik kemudian menjadi ukuran, sejauh mana
kemampuan membaca wacana, komunikasi massa, hingga kepedulian struktural.
Disana pulalah bisa terukur secara jelas,
kemampuan analisis yang tentunya melibatkan sisi intelektualitas. Saya tidak
heran, jika dari masa ke masa, komisariat Tamadun FAI selalu dominan dalam
Musycab. Bahkan ambisi politiknya melebihi komisariat Renaissance Fisip, yang
kesehariannya belajar ilmu komunikasi, politik, dan pemerintahan.
Tidak heran juga jika akhirnya Fauzan terpilih
menjadi ketua PC IMM Malang, meskipun ada banyak calon potensial seperti Alsha
yang ketua Korkom, atau Akbar yang sudah pernah duduk di Cabang. Karena memang
susah menandingi Komisariat Tamadun. Satu-satunya pesaing terkuat selama lima
tahun terakhir adalah IMM UIN Maliki, dan entah apa yang terjadi, rasa-rasanya
sudah lelah sebelum bertanding. (*)
Malang, 14 Maret 2015
A Fahrizal Aziz