loading...

Rabu, 01 April 2015

Membaca Peta Kekuatan IMM UIN Maliki



Saya tidak tahu, apakah IMM di UIN Maliki Malang masih dianggap sebagai sebuah Organisasi Mahasiswa Ekstra kampus, karena melihat pola gerakannya yang selama ini sangat ‘berbeda’ dibanding OMEK lainnya. IMM adalah organisasi yang paling ‘casual’ dan ‘cuek’ dibanding OMEK lainnya, dalam  perjalanannya saya tidak pernah melihat IMM secara langsung berkubang dalam arus persaingan dengan lainnya, kecuali dalam satu hal: Reqruitment kader. Namun, bukan berarti eksistensinya sebagai OMEK harus tercerabut karena sifat pendiamnya yang terkadang memang penuh Tanya.


Dalam konstelasi sosial di kampus UIN Maliki, IMM adalah Organisasi yang multi tafsir. Tidak seperti PMII yang secara jelas menyapa Mahasiswa dengan kekuatan Politiknya. Tidak tanggung-tanggung, mulai dari HMJ sampai BEM-U semua diduduki kader PMII. Atau KAMMI yang lebih bersuara dalam ruang religiusitas, yang menampakkan segala atribut agama dan kesholehan sebagai basis kekuatan dan karakter Organisasi. Yang agak saya bingung sebenarnya juga posisi HMI, ia tidak punya kursi politik namun selalu mewacanakan politik dan begitu bergairah dalam percaturan politik di UIN Maliki. Namun HMI masih memiliki karakter intelektual, entah kenapa, tapi citra kritis dan intelek selalu melekat pada Organisasi yang didirikan oleh Lafran Pane tersebut, lalu IMM, so What?

Dalam beberapa pengamatan yang saya lakukan, dan komunikasi dengan para kader IMM lintas daerah, saya melihat IMM memang organisasi yang unik dan agak aneh. Ketika berbincang dengan kader dari daerah timur seperti Sulawesi dan Maluku, saya menilai IMM disana terlalu fundamental. Bahkan dengan terbuka mereka menyatakan perang terhadap Liberalisme, ketika berbincang atau diskusi dengan IMM di Malang, saya menilai Malang terlalu liberal, politis dan agak ‘alergi’ dengan fundamental. Dibeberapa daerah lagi, saya sempat mendapati kader IMM yang sangat Nasionalis, bahkan tak sedikit juga kader IMM yang modis. Fakta itu membuat saya tercengang.

IMM memang memiliki kekayaan yang unik, fleksibel, dan multi tafsir. Seseorang tidak bisa kemudian berspekulasi lebih luas tentang IMM sebelum melihatnya sebagai sebuah entitas yang majemuk. Saya dulu menilai IMM terlalu modis, setelah saya telisik, ternyata hanya terjadi di UIN. Dibeberapa kota IMM juga ada yang sangat ritualistic, bahkan ketika adzan berbunyi langsung pergi ke Masjid, dan ada juga kader yang ‘enggan’ untuk sholat. Itu membuktikan  jika spekulasi terhadap IMM tentu tidak bisa digeneralisir.

Khusus di UIN Malang, tentu iklimnya berbeda. IMM di UIN tidak bersifat politis, karena tidak pernah punya gairah terhadap jabatan, meskipun tidak menutup kader-kadernya untuk berpolitik praktis. IMM di UIN juga belum menampakkan sisi Religiusitas, dalam artian ritualistic dan coveristik. Misalkan dari kegiatan keagamaan, IMM juga tidak terlalu memprioritaskan, dari segi penampilan pun juga beragam. Agaknya, IMM di UIN memang belum mampu mewakili ruang politik dan religiusitas yang kini dengan kuat direpresentasikan oleh PMII (politik) dan KAMMI (religiusitas). Maka, manakah ruang yang mampu dijadikan sebagai ‘based brand’ oleh IMM UIN?

Secara teoritis, IMM memiliki kesemuanya. Tri kompetensi dasar sebagai acuan global memberikan legitimasi jika IMM mampu juga berpolitik maupun religious, namun agaknya itu terlalu ideal. Saya hanya ingin menangkap satu ruang yang saya kira masih belum terlalu terjamah oleh OMEK lainnya, andai pun ada dan mendekati, itu adalah HMI. Yaitu ruang Intelektual. Jika kita bandingkan eksistensi keilmuan di UIN Malang, masih cenderung standart. Pusat-pusat diskusi dan kajian juga belum terlalu hidup. Itulah mengapa saya pikir, satu ruang inilah yang seharusnya mampu dimaksimalkan oleh kader-kader IMM UIN Maliki.

Pergolakan wacana yang terjadi UIN masih sangat minim, itulah mengapa dulu komisariat Pelopor pernah mencoba mewacanakan itu. Pertama, dengan membuat forum diskusi yang kala itu dinamakan KOMSATA (komunitas Syariah-Tarbiyah) yang kemudian tercerai berai entah kemana, atau komunitas lainnya seperti Al Ma’un Community yang nasibnya pun juga tidak kalah tragis, hingga kemudian diwacanakan dengan diskusi rutin setiap minggu sekali dengan kader sebagai pemateri. Diskusi yang intens dan rutin itu tidak lain adalah mencoba untuk membangun budaya intelektual, meski saya pikir itupun juga berjalan dengan tertatih-tatih.

Komisariat Pelopor juga telah membuat Blog untuk komunitas, yaitu peloporkita.blogspot.com juga pernah membuat bulletin yang kemudian bisa menjadi media aspirasi. Namun, ternyata juga tidak terlalu menarik minat kader. Setelah saya pelajari, ternyata ada beberapa sebab. Pertama, karena komunikasi dan orientasi kegiatan itu yang belum tersampaikan, harusnya saya menulis ini sudah sejak dulu. Namun biarlah, ini akan menjadi pelajaran penting. Kedua, karena budaya itu belum terbangun dengan baik. Budaya adalah hasil cipta karsa manusia, budaya ada karena kebiasaan yang dilakukan. Maka, memang progam keilmuan yaitu diskusi rutin setiap minggu itu, masih kurang lama meski sebenarnya sudah mulai menjadi kebiasaan.

Namun saya bersyukur, ditengah krisis identitas sekarang ini, kita masih punya harapan untuk menjadi sosok yang berkarakter. Wacana ini, hanya sebuah saran yang terlahir dari pengalaman yang bisa dikatakan agak pahit. Saya yakin, ditangan Pemimpin baru ini, tiga komisariat : Pelopor, Revivalis dan Reformer akan menjadi lebih baik dan berkemajuan. Dan IMM di UIN lekas keluar dari jurang krisis identitas dan gerakannya. Sehingga akan segera terbentuk karakter Organisasi dalam makna yang lebih membekas. Wallohu’alam

Malang, 3 september 2012
Ahmad Fahrizal Aziz