Saya tidak tahu,
apakah IMM di UIN Maliki Malang masih dianggap sebagai sebuah Organisasi
Mahasiswa Ekstra kampus, karena melihat pola gerakannya yang selama ini sangat
‘berbeda’ dibanding OMEK lainnya. IMM adalah organisasi yang paling ‘casual’
dan ‘cuek’ dibanding OMEK lainnya, dalam
perjalanannya saya tidak pernah melihat IMM secara langsung berkubang
dalam arus persaingan dengan lainnya, kecuali dalam satu hal: Reqruitment kader.
Namun, bukan berarti eksistensinya sebagai OMEK harus tercerabut karena sifat
pendiamnya yang terkadang memang penuh Tanya.
Dalam konstelasi
sosial di kampus UIN Maliki, IMM adalah Organisasi yang multi tafsir. Tidak
seperti PMII yang secara jelas menyapa Mahasiswa dengan kekuatan Politiknya.
Tidak tanggung-tanggung, mulai dari HMJ sampai BEM-U semua diduduki kader PMII.
Atau KAMMI yang lebih bersuara dalam ruang religiusitas, yang menampakkan
segala atribut agama dan kesholehan sebagai basis kekuatan dan karakter
Organisasi. Yang agak saya bingung sebenarnya juga posisi HMI, ia tidak punya
kursi politik namun selalu mewacanakan politik dan begitu bergairah dalam
percaturan politik di UIN Maliki. Namun HMI masih memiliki karakter
intelektual, entah kenapa, tapi citra kritis dan intelek selalu melekat pada
Organisasi yang didirikan oleh Lafran Pane tersebut, lalu IMM, so What?
Dalam beberapa
pengamatan yang saya lakukan, dan komunikasi dengan para kader IMM lintas
daerah, saya melihat IMM memang organisasi yang unik dan agak aneh. Ketika berbincang
dengan kader dari daerah timur seperti Sulawesi dan Maluku, saya menilai IMM
disana terlalu fundamental. Bahkan dengan terbuka mereka menyatakan perang
terhadap Liberalisme, ketika berbincang atau diskusi dengan IMM di Malang, saya
menilai Malang terlalu liberal, politis dan agak ‘alergi’ dengan fundamental.
Dibeberapa daerah lagi, saya sempat mendapati kader IMM yang sangat Nasionalis,
bahkan tak sedikit juga kader IMM yang modis. Fakta itu membuat saya
tercengang.
IMM memang
memiliki kekayaan yang unik, fleksibel, dan multi tafsir. Seseorang tidak bisa
kemudian berspekulasi lebih luas tentang IMM sebelum melihatnya sebagai sebuah
entitas yang majemuk. Saya dulu menilai IMM terlalu modis, setelah saya
telisik, ternyata hanya terjadi di UIN. Dibeberapa kota IMM juga ada yang
sangat ritualistic, bahkan ketika adzan berbunyi langsung pergi ke Masjid, dan
ada juga kader yang ‘enggan’ untuk sholat. Itu membuktikan jika spekulasi terhadap IMM tentu tidak bisa
digeneralisir.
Khusus di UIN
Malang, tentu iklimnya berbeda. IMM di UIN tidak bersifat politis, karena tidak
pernah punya gairah terhadap jabatan, meskipun tidak menutup kader-kadernya
untuk berpolitik praktis. IMM di UIN juga belum menampakkan sisi Religiusitas,
dalam artian ritualistic dan coveristik. Misalkan dari kegiatan keagamaan, IMM
juga tidak terlalu memprioritaskan, dari segi penampilan pun juga beragam.
Agaknya, IMM di UIN memang belum mampu mewakili ruang politik dan religiusitas
yang kini dengan kuat direpresentasikan oleh PMII (politik) dan KAMMI
(religiusitas). Maka, manakah ruang yang mampu dijadikan sebagai ‘based brand’
oleh IMM UIN?
Secara teoritis,
IMM memiliki kesemuanya. Tri kompetensi dasar sebagai acuan global memberikan
legitimasi jika IMM mampu juga berpolitik maupun religious, namun agaknya itu
terlalu ideal. Saya hanya ingin menangkap satu ruang yang saya kira masih belum
terlalu terjamah oleh OMEK lainnya, andai pun ada dan mendekati, itu adalah
HMI. Yaitu ruang Intelektual. Jika kita bandingkan eksistensi keilmuan di UIN
Malang, masih cenderung standart. Pusat-pusat diskusi dan kajian juga belum
terlalu hidup. Itulah mengapa saya pikir, satu ruang inilah yang seharusnya
mampu dimaksimalkan oleh kader-kader IMM UIN Maliki.
Pergolakan wacana
yang terjadi UIN masih sangat minim, itulah mengapa dulu komisariat Pelopor
pernah mencoba mewacanakan itu. Pertama, dengan membuat forum diskusi yang kala
itu dinamakan KOMSATA (komunitas Syariah-Tarbiyah) yang kemudian tercerai berai
entah kemana, atau komunitas lainnya seperti Al Ma’un Community yang nasibnya
pun juga tidak kalah tragis, hingga kemudian diwacanakan dengan diskusi rutin
setiap minggu sekali dengan kader sebagai pemateri. Diskusi yang intens dan
rutin itu tidak lain adalah mencoba untuk membangun budaya intelektual, meski
saya pikir itupun juga berjalan dengan tertatih-tatih.
Komisariat
Pelopor juga telah membuat Blog untuk komunitas, yaitu peloporkita.blogspot.com
juga pernah membuat bulletin yang kemudian bisa menjadi media aspirasi. Namun,
ternyata juga tidak terlalu menarik minat kader. Setelah saya pelajari,
ternyata ada beberapa sebab. Pertama, karena komunikasi dan orientasi
kegiatan itu yang belum tersampaikan, harusnya saya menulis ini sudah sejak
dulu. Namun biarlah, ini akan menjadi pelajaran penting. Kedua, karena
budaya itu belum terbangun dengan baik. Budaya adalah hasil cipta karsa
manusia, budaya ada karena kebiasaan yang dilakukan. Maka, memang progam
keilmuan yaitu diskusi rutin setiap minggu itu, masih kurang lama meski
sebenarnya sudah mulai menjadi kebiasaan.
Namun saya
bersyukur, ditengah krisis identitas sekarang ini, kita masih punya harapan
untuk menjadi sosok yang berkarakter. Wacana ini, hanya sebuah saran yang
terlahir dari pengalaman yang bisa dikatakan agak pahit. Saya yakin, ditangan Pemimpin
baru ini, tiga komisariat : Pelopor, Revivalis dan Reformer akan menjadi lebih
baik dan berkemajuan. Dan IMM di UIN lekas keluar dari jurang krisis identitas
dan gerakannya. Sehingga akan segera terbentuk karakter Organisasi dalam makna
yang lebih membekas. Wallohu’alam
Malang, 3 september 2012
Ahmad Fahrizal Aziz