Kegelisahan ini sempat saya utarakan ke teman-teman mahasiswa yang
saya kenal, kebetulan mereka berafiliasi ke beberapa organisasi Islam seperti
HMI, PMII, dan KAMMI. Saya sendiri, aktif di IMM. Diskusi dengan mereka tidak
berlangsung bersama-sama, dan itupun sifatnya individu antara teman dan teman.
Bukan secara organisatoris. Saya sampaikan beberapa kegelisahan tentang semakin
kuatnya kultur saling menguasahi antara satu organisasi dengan yang lain.
Tatkala Mahasiswa masuk organisasi ekstra kampus, seolah-olah cara
berfikirnya di bonsai oleh idiologi masing-masing. Di organisasi tempat saya
berada misalkan, ketika perbincangan hangat seputar organisasi mahasiswa,
doktrin yang dibangun seolah hanya satu ; organisasi ini paling baik dibanding
yang lain. setelah saya berbincang dengan teman lintas organisasi, ternyata hal
serupa juga terjadi. Mendengar hal itu saya pribadi semakin gelisah.
Idiologi dan kebanggan dengan organisasi yang ia ikuti memang
sebuah kewajaran. Karena bagaimanapun juga, militansi harus dibangun disana,
namun akan menjadi gawat jikalau idiologi itu sudah tertutup dan membuat
kader-kadernya buta akan kebenaran, dan merasa organisasinya paling baik
sekalipun banyak kesalahan yang telah diperbuat. Dan akan lebih berbahaya lagi
ketika organisasi tersebut sama-sama mengusung Islam sebagai idiologi besar.
Pergolakan tersebut memang tidak begitu nampak dipermukaan, antara
kader organisasi A dengan B seolah baik-baik saja. Namun ketika dibenturkan
oleh kebijakan, kadang pergulatan terjadi. Misalkan dalam politik kampus,
pergulatan intelektual bisa merebak ke pergulatan fisik. Banyak contohnya, dan
itu menjadi catatan buram bagi organisasi mahasiswa.
Setiap organisasi selalu berharap untuk bisa menguasahi. Misalkan
menguasahi kursi-kursi penting di BEM, SEMA, HMJ, dll. Sekalipun logika saya
kadang jenuh memikirkan ini. Kenapa jabatan struktural untuk memikul amanah
yang berat itu, justru diperebutkan? Tapi memang faktanya demikian. Dan tak
jarang antar organisasi saling menjatuhkan demi jabatan struktural tersebut.
Untuk itulah, banyak yang merasa jenuh dengan hingar bingar gerakan
mahasiswa yang sering menelorkan konflik-konflik horisontal tersebut. Dan
seharusnya, antar organisasi mahasiswa yang notabene sama-sama menjadikan Islam
sebagai idiologi besar itu, tidak saling menjatuhkan, tidak saling merebut
pengaruh, harusnya lebih bersinergi dan bersatu untuk membangun Masyarakat.
kalaupun harus bersaing, maka orientasinya adalah Fastabiqul khoirot
(berlomba-lomba dalam kebaikan), bukan persaingan destruktif yang saling
menjatuhkan. Wallohu’alam
Malang, 14 Oktober 2013
A Fahrizal Aziz