Meski diusianya yang
hampir setengah abad, ternyata banyak dari kader-kader IMM yang sampai saat ini
masih mencari hakikat dari idologi Islam yang dijadikan landasan bergerak IMM.
Kegelisahan itu tercermin dari banyaknya tipologi kader yang berbeda-beda.
Agaknya perbincangan idiologi itu tak akan pernah surut, karena disadari atau
tidak, Idiologi IMM semakin tak berbentuk.
Idiologi jika
dimaknai secara literal adalah landasan berfikir. Fungsi Idiologi bagi sebuah
Organisasi adalah menjadi pijakan secara universal, dimana dari idiologi itulah
kemudian lahir sebuah gerakan. Lantas, idiologi apakah yang menjadi dasar
pijakan IMM? Ini yang patut menjadi perenungan bersama.
Islam,
sebagaimana yang diyakini Muhammadiyah, tidaklah jauh berbeda dengan yang
diyakini sebagian besar umat Islam di negeri ini. Secara prinsipal, Islam kita
sama, seperti halnya HMI, PMII, KAMMI, dan sebagainya. Namun ada titik yang
membedakan, dimana titik itu bernama perpektif.
Muhammadiyah
lahir ditengah kultur jawa yang begitu kental, keberadaannya memberikan sebuah
perpektif baru bagi keberislaman Masyarakat jawa kala itu, yaitu sebuah pola
keIslaman yang terbuka dan toleran, memandang Islam sebagai sebuah substansi,
bukan sekedar bentuk.
Hal itu
dicontohkan KH. Ahmad Dahlan ketika mengkaji surah Almaun, KH. Ahmad Dahlan
tidak hanya mengajarkan Almaun sebagai sebuah teks, melainkan juga
mengimplementasikan dengan mendirikan PKO. Sementara, keterbukaan KH. Ahmad
Dahlan juga terlihat dari aktifitasnya mengajar di sekolah belanda dan bergaul
dengan governement serta kejawen.
Sebagai seorang
Muslim dan juga sebagai Masyarakat jawa kala itu, KH. Ahmad Dahlan tidak serta
merta mengikuti tradisi yang ada, namun Ia bersikap lebih selektif, terlebih
ketika tradisi itu kemudian memberatkan para penganut ajaran Islam yang dikenal
sebagai ajaran yang memudahkan umatnya. KH. Ahmad Dahlan ingin menggali Islam
dari sumbernya yang otentik.
Paradigma
keIslaman itu yang barangkali patut kita renungkan sebagai corak pikir dalam
mengimplementasikan idiologi IMM sebagai basis gerakan Muhammadiyah, dimana
Muhammadiyah sendiri tentu sangat lekat dengan sosok KH. Ahmad Dahlan, karena
beliau sebaga pendiri sekaligus pencetus idiologi pertama kali.
Memang, konsep
KH. Ahmad Dahlan secara utuh tidak pernah kita temukan, terlebih konsep dalam
bernegara, karena memang Muhammadiyah lahir ketika Negara ini belum terbentuk.
Sehingga corak pemikiran KH. Ahmad Dahlan yang kemudian ditiupkan dalam Gerakan
Muhammadiyah, terfokus pada dua hal : Paradigma KeIslamannya serta kepekaan
sosial yang merupakan wujud dari Implementasi Keberislaman tersebut.
Sebenarnya, jika
kita mengacu pada tri kompetensi dasar yang dimiliki IMM, secara konseptual
ketiga hal itu (Intelektualitas, Religiusitas, Humanitas) sudah mampu
mengkomodir idiologi yang selama ini diusung oleh Founding Fathers kita. Dimana
seseorang harus memiliki kapasitas intelektual untuk mengkaji ayat-ayat Allah
entah itu Kauniyah atau Kauliyah, namun ayat itu kemudian terimplementasi dalam
hati dan menimbulkan sebuah ketaatan spiritual yang kemudian melahirkan sosok
Religius.
Kemampuan
Intelektual dan Religius itulah yang kemudian memberikan kesadaran kemanusiaan
(humanitas), salah satu ayat sosial yang dicontohkan dalam persyarikatan kita
adalah Almaun, yaitu kepedulian terhadap anak yatim dan fakir miskin. Ketiga
hal tersebut (Intelektualitas, Religiusitas, dan Humanitas) sesungguhnya adalah
tiga hal yang tidak bisa dipisahkan.
Misalkan, ketika
seseorang hanya menitikberatkan pada Intelektualitas, maka apa yang ia kaji
hanya sebatas kognisi dan pengetahuan yang bersifat hafalan, sehingga hati akan
kering, jiwa akan gersang. Sementara ketika kita hanya menitikberatkan pada
religiusitas, dimana yang dikuatkan hanya ritualitas Ibadah, maka dalam dalam
surah Almaun kita disebut sebagai pendusta.
Setidaknya,
ditengah kebimbangan tentang semakin tak berbentuknya idiologi kita, kita masih
punya fakta sejarah untuk kemudian dikaji dan direnungi, agar mainstream Gerakan
Muhammadiyah tak tercerabut dari akar ikatan yang selama ini bertujuan membangun
akademisi Muslim ini. Wolluhu’alam
Malang,
8 April 2013
A
Fahrizal Aziz