Menyoal buku Gad
Barzilai yang berjudul Communities and Law: Politics and Cultures of Legal
Identities yang diterbitkan oleh Michigan Press tahun 2003 lalu, membuat
saya terpikir tentang makna sebuah ‘minoritas’. Buku itu menjelaskan tentang
dominasi kaum minoritas dalam beberapa aspek, bahkan pada beberapa ranah
kehidupan, kaum minoritas menjadi penggerak dan mampu menjadi kekuatan yang
diperhitungkan. Buku Gad Barzilai itu, menguak tentang identitas kaum
minoritas.
Buku serupa
sebenarnya juga banyak beredar, seperti buku karya Ricard Gibson yang berjudul African
Liberation Movements: Contemporary Struggles against White Minority Rule
yang diterbitkan oleh Institute of Race Relations: Oxford University Press
tahun 2007 yang menguak tentang dominasi kaum minoritas di Afrika. Lalu
buku Howard Johnson dan Karl Watson yang berjudul The white
minority in the Caribbean, Amy Chua dalam bukunya How Exporting Free
Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability atau William
Haviland dalam bukunya Cultural Anthropology. Kesemuanya, membahas
tentang kekuatan kaum minoritas, yang dalam beberapa aspek dianggap sebelah
mata, namun ternyata mampu mendominasi.
Beberapa kaum
minoritas yang mampu mendominasi itu diantaranya adalah ras kulit hitam di
Amerika, Ras Tionghoa di Indonesia dan Afrika, Elit Mullato di Haiti dan
Jamaika, Muslim Sunni di Irak pada Masa Sddam Husein, Orang kulit putih
keturunan Eropa di Rhodesia
(sekarang Zimbabwe)
dan Afrika Selatan,
orang asia di Kenya, Uganda, Tanzania, dan Malawi, kaum Criollo di meksiko dan
Amerika latin, dan yang lebih menggemparkan adalah kaum Yahudi yang kini
mendominasi Masyarakat Global. Kesemuanya adalah kaum Minoritas, namun ternyata
mereka mampu lahir menjadi entitas yang diperhitungkan.
Padahal secara
sosiologis dan Psikologis, kaum minoritas memiliki beban yang lebih besar.
Mereka harus berjibaku dalam ruang yang kurang mendukung, diasingkan, dicemooh,
dihujat bahkan diancam. Kaum minoritas juga sering kali teranealisasi
(terasingkan) dalam konstelasi public. Kaum minoritas bahkan selalu dianggap
‘tidak ada’ dan tidak perlu untuk ada. Lalu bagaimana mungkin kaum minoritas
mampu keluar dari kubangan Masyarakat yang seperti itu dan kemudian berbalik
mendominasi?
Penjelasan itu
sedikit banyak sebenarnya telah dijawab oleh Paul Scholtz dalam teorinya
tentang Adversity Quotient (Kecerdasan memecahkan kesulitan). Kaum
minoritas memiliki peluang lebih besar untuk memiliki kecerdasan ini dibanding kaum
mayoritas. Karena kondisi yang mengharuskan kaum minoritas berdialektika dengan
permasalahan, maka kemungkinan untuk memiliki jiwa yang kuat, tegar dan
merumuskan perubahan akan semakin besar. Itulah barangkali yang melandasi kaum
mayoritas yang semula tertindas menjadi beringas.
Kaum kulit hitam
di Amerika misalnya, yang semula selalu menjadi korban rasisme, dilecehkan,
dihujat dan sebagainya, mampu menjelma menjadi kekuatan yang besar. Bahkan
terpilihnya Barrack Obama menjadi Presiden menjadi sebuah fakta tak terbantah
jika kaum minoritas, yaitu kulit hitam telah berhasil merebut konstelasi
Politik mereka. Selain itu munculnya Oprah Winfrey sebagai artis terkaya
menjadi sebuah fakta tambahan jika dalam dunia entertainment pun kaum minoritas
mampu bersaing.
Di Indonesia,
dominasi kaum minoritas sudah sangat lama ada. Sebut saja keturunan tionghoa, etnis
yang sempat diasingkan bahkan pernah nyaris dibumi hanguskan dari Nusantara, kini
justru menjelma menjadi kekuatan superior. Bahkan para pemilik modal dan
orang-orang kaya di negeri ini rata-rata keturunan tionghoa. Fakta itu sudah
tidak bisa dipungkiri. Di Malaysia pun memiliki dinamika yang hampir sama.
Lalu bagaimana
dengan Muhammadiyah? Diawal kelahirannya Muhammadiyah adalah kaum minoritas,
diasingkan, dihujat bahkan dianggap sesat (kafir). Namun justru kondisi yang
seperti itu membuat para pendirinya semakin kuat dan berfikir untuk bagaimana
menjadikan Muhammadiyah yang minoritas ini menjadi sebuah entitas yang
dikagumi. Sekarang, Muhammadiyah telah menjelma menjadi Organisasi Islam yang
dikagumi, dengan amal usaha yang begitu besar. Tentu Muhammadiyah telah mampu
berkontribusi besar pula bagi negeri. Meskipun hingga saat ini Muhammadiyah
masihlah merupakan kaum minoritas.
Beberapa fakta
diatas menjadi sebuah bukti jika kaum minoritas mampu menjadi superioritas,
jika kita mau kembali ke sekup yang lebih kecil, lalu bagaimana dengan IMM?
Khususnya IMM di UIN Maliki Malang dan khususnya lagi IMM komisariat Pelopor.
Secara sosiologis IMM di UIN Masih dianggap sebagai kaum minoritas, maka
moment-moment seperti ini, diawal kepengurusan dan terbentuknya Pimpinan baru
bisa menjadi awal untuk merumuskan kebangkitan Ikatan. Yaitu menjelma menjadi
minoritas yang mampu berkontribusi.
Sehingga,
kader-kader IMM UIN Malang harus bangga menjadi minoritas, harus bangga
diasingkan. Seperti dalam sebuah ayat dalam Alquran “Seandainya
kalian mengikuti kebanyakan orang di muka bumi, sungguh mereka akan menyesatkan
kalian dari jalan Allah (Qs:al An’aam:116) kebanyakan orang adalah kaum
mayoritas dan yang minoritas mampu membuat sebuah pilihan dan arah yang mampu
melawan dominasi kaum mayoritas.
Seperti halnya kaum
minoritas yang selalu diasingkan, maka sebelum mengakhiri tulisan ini. Saya
ingin mengutip sebuah haditas yang sangat populer, yaitu Sesungguhnya Islam
datang dalam keadaan asing dan akan kembali pula dalam keadaan asing, maka
berbahagialah orang-orang dikatakan asing.” (HR. Muslim dari hadits Abu
Hurairah dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma) . Wallohu’alam
Untuk Perjuangan yang tak pernah padam, Para Kader IMM UIN Maliki
Malang
Malang, 23 juni
2013
A Fahrizal Aziz