loading...

Rabu, 01 April 2015

Kekuatan Kaum Minoritas




Menyoal buku Gad Barzilai yang berjudul Communities and Law: Politics and Cultures of Legal Identities yang diterbitkan oleh Michigan Press tahun 2003 lalu, membuat saya terpikir tentang makna sebuah ‘minoritas’. Buku itu menjelaskan tentang dominasi kaum minoritas dalam beberapa aspek, bahkan pada beberapa ranah kehidupan, kaum minoritas menjadi penggerak dan mampu menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Buku Gad Barzilai itu, menguak tentang identitas kaum minoritas.


Buku serupa sebenarnya juga banyak beredar, seperti buku karya Ricard Gibson yang berjudul African Liberation Movements: Contemporary Struggles against White Minority Rule yang diterbitkan oleh Institute of Race Relations: Oxford University Press tahun 2007 yang menguak tentang dominasi kaum minoritas di Afrika. Lalu buku  Howard Johnson  dan Karl Watson yang berjudul The white minority in the Caribbean, Amy Chua dalam bukunya How Exporting Free Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability atau William Haviland dalam bukunya Cultural Anthropology. Kesemuanya, membahas tentang kekuatan kaum minoritas, yang dalam beberapa aspek dianggap sebelah mata, namun ternyata mampu mendominasi.

Beberapa kaum minoritas yang mampu mendominasi itu diantaranya adalah ras kulit hitam di Amerika, Ras Tionghoa di Indonesia dan Afrika, Elit Mullato di Haiti dan Jamaika, Muslim Sunni di Irak pada Masa Sddam Husein, Orang kulit putih keturunan Eropa di Rhodesia (sekarang Zimbabwe) dan Afrika Selatan, orang asia di Kenya, Uganda, Tanzania, dan Malawi, kaum Criollo di meksiko dan Amerika latin, dan yang lebih menggemparkan adalah kaum Yahudi yang kini mendominasi Masyarakat Global. Kesemuanya adalah kaum Minoritas, namun ternyata mereka mampu lahir menjadi entitas yang diperhitungkan.

Padahal secara sosiologis dan Psikologis, kaum minoritas memiliki beban yang lebih besar. Mereka harus berjibaku dalam ruang yang kurang mendukung, diasingkan, dicemooh, dihujat bahkan diancam. Kaum minoritas juga sering kali teranealisasi (terasingkan) dalam konstelasi public. Kaum minoritas bahkan selalu dianggap ‘tidak ada’ dan tidak perlu untuk ada. Lalu bagaimana mungkin kaum minoritas mampu keluar dari kubangan Masyarakat yang seperti itu dan kemudian berbalik mendominasi?

Penjelasan itu sedikit banyak sebenarnya telah dijawab oleh Paul Scholtz dalam teorinya tentang Adversity Quotient (Kecerdasan memecahkan kesulitan). Kaum minoritas memiliki peluang lebih besar untuk memiliki kecerdasan ini dibanding kaum mayoritas. Karena kondisi yang mengharuskan kaum minoritas berdialektika dengan permasalahan, maka kemungkinan untuk memiliki jiwa yang kuat, tegar dan merumuskan perubahan akan semakin besar. Itulah barangkali yang melandasi kaum mayoritas yang semula tertindas menjadi beringas.
Kaum kulit hitam di Amerika misalnya, yang semula selalu menjadi korban rasisme, dilecehkan, dihujat dan sebagainya, mampu menjelma menjadi kekuatan yang besar. Bahkan terpilihnya Barrack Obama menjadi Presiden menjadi sebuah fakta tak terbantah jika kaum minoritas, yaitu kulit hitam telah berhasil merebut konstelasi Politik mereka. Selain itu munculnya Oprah Winfrey sebagai artis terkaya menjadi sebuah fakta tambahan jika dalam dunia entertainment pun kaum minoritas mampu bersaing.

Di Indonesia, dominasi kaum minoritas sudah sangat lama ada. Sebut saja keturunan tionghoa, etnis yang sempat diasingkan bahkan pernah nyaris dibumi hanguskan dari Nusantara, kini justru menjelma menjadi kekuatan superior. Bahkan para pemilik modal dan orang-orang kaya di negeri ini rata-rata keturunan tionghoa. Fakta itu sudah tidak bisa dipungkiri. Di Malaysia pun memiliki dinamika yang hampir sama.

Lalu bagaimana dengan Muhammadiyah? Diawal kelahirannya Muhammadiyah adalah kaum minoritas, diasingkan, dihujat bahkan dianggap sesat (kafir). Namun justru kondisi yang seperti itu membuat para pendirinya semakin kuat dan berfikir untuk bagaimana menjadikan Muhammadiyah yang minoritas ini menjadi sebuah entitas yang dikagumi. Sekarang, Muhammadiyah telah menjelma menjadi Organisasi Islam yang dikagumi, dengan amal usaha yang begitu besar. Tentu Muhammadiyah telah mampu berkontribusi besar pula bagi negeri. Meskipun hingga saat ini Muhammadiyah masihlah merupakan kaum minoritas.

Beberapa fakta diatas menjadi sebuah bukti jika kaum minoritas mampu menjadi superioritas, jika kita mau kembali ke sekup yang lebih kecil, lalu bagaimana dengan IMM? Khususnya IMM di UIN Maliki Malang dan khususnya lagi IMM komisariat Pelopor. Secara sosiologis IMM di UIN Masih dianggap sebagai kaum minoritas, maka moment-moment seperti ini, diawal kepengurusan dan terbentuknya Pimpinan baru bisa menjadi awal untuk merumuskan kebangkitan Ikatan. Yaitu menjelma menjadi minoritas yang mampu berkontribusi.

Sehingga, kader-kader IMM UIN Malang harus bangga menjadi minoritas, harus bangga diasingkan. Seperti dalam sebuah ayat dalam Alquran “Seandainya kalian mengikuti kebanyakan orang di muka bumi, sungguh mereka akan menyesatkan kalian dari jalan Allah (Qs:al An’aam:116) kebanyakan orang adalah kaum mayoritas dan yang minoritas mampu membuat sebuah pilihan dan arah yang mampu melawan dominasi kaum mayoritas.

Seperti halnya kaum minoritas yang selalu diasingkan, maka sebelum mengakhiri tulisan ini. Saya ingin mengutip sebuah haditas yang sangat populer, yaitu Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali pula dalam keadaan asing, maka berbahagialah orang-orang dikatakan asing.” (HR. Muslim dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma) . Wallohu’alam

Untuk Perjuangan yang tak pernah padam, Para Kader IMM UIN Maliki Malang

Malang, 23 juni 2013
A Fahrizal Aziz