loading...

Sabtu, 04 April 2015

Mengubah mindset ber-IMM



Ada sebuah pertanyaan serius dari salah seorang kader, pertanyaan ini begitu menggelisahkan saya selaku kakak angkatan. “Untuk apa kira berlelah-lelah ngurus IMM?” dari pertanyaan sederhana itu tertangkap jelas jika selama ini ber-IMM dianggap sebagai sebuah beban baru dalam hidupnya. Hal itu tercermin ketika Musykom berakhir, ada rasa bahagia karena sudah tidak lagi mengurusi komisariat. Lalu saya bertanya balik “Apakah selama ini kamu menganggap ini beban?” ia pun hanya menganggukkan kepala dan itu sudah cukup menjawab.


Mungkin saja ditempat lain, masih banyak kader yang merasa jika mengurusi IMM ini adalah sebuah beban bagi hidupnya, sehingga tak sedikit yang sudah purna masa amanahnya di komisariat, enggan untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya seperti Korkom, Cabang, DPD hingga DPP. Alasannya klasik, karena enggan untuk terbebani lagi. Bayangkan bagaimana beban yang harus dipikul ketika menjadi Pimpinan Cabang IMM di Malang yang harus menyelesaikan permasalahan 21 komisariat? Tentu sangat berat dan tidak semua orang mampu. Untuk itulah setiap moment Musycab –dalam pandangan umum—setiap komisariat lebih banyak yang menolak daripada menerima.

Tapi yang membuat kita semua gelisah adalah mindset jika ber-IMM adalah “beban”. Mindset seperti ini begitu mengkhawatirkan. Pertama, orang yang hidupnya merasa terbebani pasti akan merasa menderita. Kedua, dalam keadaan yang menderita itulah apa yang ia lakukan pasti tidak dari hati, akan penuh umpatan dan keluhan. Ketiga, bahwa perasaan terbebani itu akan tercemin dalam sikap dan ekspresi wajahnya, bisa jadi keadaan itu akan dibaca oleh kader dibawahnya dan itu akan menular.

Memang hidup ini tidak pernah lepas dari beban. Misalkan saja dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu dihadapkan oleh persoalan yang kadang tak terduga. Jika itu dianggap beban, betapa beratnya beban yang harus kita pikul? Tapi bagaimana jika setiap permasalahan yang ada itu justru kita syukuri dan kita anggap sebagai hadiah terindah dari Tuhan agar mendidik jiwa kita untuk lebih dewasa? Tentu itu akan berbeda.

Jika setiap hal yang harus kita selesaikan selalu dianggap beban, lalu bagaimana dengan Nabi Muhammadi Saw yang disetiap detik hidupnya tidak pernah luput dari masalah? Dan umumnya masalah yang dihadapi itu bukan masalah pribadi melainkan masalah ummatnya. Lalu bagaimana dengan Presiden yang harus memimpin jutaan rakyat? Bagaimana dengan Guberbur, Walikota, camat, hingga lurah yang mereka harus menyelesaikan permasalahan orang yang dipimpinnya? Beban mereka lebih berat dari kita yang kadang hanya bisa mengkritik.

Lantas bagaimana dengan mereka yang lahir dengan ketidaksempurnaan? Misalkan orang yang buta, tuna rungu, tidak punya tangan, tidak punya kaki, atau bahkan mereka yang sepanjang tahun harus berjibaku dengan obat-obatan karena penyakitnya yang kronis? Beban hidup mereka begitu besar, sejenak pun kita tak akan bisa membayangkan jika ditakdirkan seperti mereka, kita belum tentu sekuat dan setegar mereka. Mungkin saja jika akal sehat telah hilang, kita akan bunuh diri.

Dan jikalau tidak ada orang yang mau terbebani oleh permasalahan sosial, siapa yang mau membangun lembaga pendidikan yang bagus? Siapa yang mau mengurusi pelayanan publik? Siapa yang mau mengurusi masjid agar bisa digunakan untuk tempat ibadah banyak orang? Siapa yang mau mengurusi persoalan hidup ini jika banyak dari mereka yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan tidak memikirkan orang lain dan lingkungannya? Untuk itu harusnya kita mensyukuri apa yang kita miliki ini, kita masih punya tubuh yang sehat dan fikiran yang tajam untuk kita gunakan dalam menyelami lautan bernama kehidupan ini.

Maka dari itu, ber-IMM sejatinya adalah proses pendidikan untuk diri kita sendiri. Sebuah pembelajaran yang riil jika suatu saat kita mau tidak mau harus memecahkan berbagai problematika hidup yang rumit dan disaat yang sama pula, kita harus memikirkan orang lain ; keluarga, teman, sahabat hingga kepentingan ummat. Pelajaran kehidupan tidak cukup dengan teori-teori, kedewasaan tidak cukup dengan kata-kata, butuh situasi yang kongkrit dimana kita harus memilih ; maju atau mundur, melangkah atau menyerah. Semua itu pilihan.

Karena hidup ini terlalu singkat untuk kita jadikan beban. Kita harus mensyukurinya, mensyukuri kemampuan kita yang masih bisa bergerak dan berfikir untuk berbuat sesuatu dalam hidup ini, bukan hanya untuk kita sendiri melainkan juga untuk orang lain. di IMM, ketika menjadi pengurus, kita harus melakukan banyak hal. Misalkan menyiapkan kurikulum perkaderan, membuat progam-progam untuk meningkatkan kompetensi kader kita, meluangkan waktu untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, dan masih banyak lainnya.

Saat itu sebenarnya kita sudah belajar melampaui diri kita sendiri. Kita sudah selangkah lebih maju sebagai orang yang hendak berproses lebih dewasa. Karena kita tidak memikirkan diri kita sendiri, kita memikirkan kondisi orang lain. Maka, daripada menganggap ini “beban” adakalanya kita merubah mindset itu, kita harus bersyukur ternyata kita bisa mengelola Ikatan ini dengan baik sehingga ber-IMM bisa menjadi cermin diri untuk menjadi manusia yang lebih tangguh dan peduli. Sekali lagi ini bukan “beban” tapi adalah sebuah anugrah dari Tuhan, anugrah berupa kedewasaan dan anugrah berupa kemampuan. Kita bisa! Wollohu’alam
Malang, 27 November 2013
By : A Fahrizal Aziz