Kritik Amien Rais
kepada Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo akhir-akhir ini memang begitu
mengejutkan publik. Setidaknya, di media ditulis 3 kali Amien Rais mengkritik
Jokowi. Pertama, Amien mengkritik jika Jokowi masih belum berhasil
mengelola Solo. Masih banyak kemiskinan dan wilayah kumuh. Kedua, Amien
mengkritik tentang nasionalisme Jokowi. Ketiga, Jokowi bisa saja
bernasib sama dengan Joseph Estrada. Kritik-kritik itu membuat publik
bertanya-tanya, kenapa tokoh sekaliber Amien Rais mengeluarkan kritik yang
begitu tajam kepada tokoh asal solo yang namanya kini sedang naik daun itu?
Amien Rais memang
seorang kritikus yang pemberani. Kritik-kritik tajamnya sudah sejak lama
menghiasi layar media massa, terlebih ketika pada tahun-tahun terakhir
kepemimpinan Presiden Soeharto. Padahal, tak banyak tokoh yang dulu mengkritik
Soeharto. Media pun tatkala memberikan kritik yang agak tajam dengan Soeharto,
pasti dibredel, dan Amien Rais dengan beraninya melawan arus sehingga
meledaklah reformasi. Apakah kritik yang dilakukan Amien Rais terhadap Jokowi kali
ini merupakan upaya ‘melawan arus’ sebagaimana kritik yang dilayangkan Soeharto
dulu?
Jika menilik era
1998, ketika Amien Rais dengan keras mengkritik Soeharto dan ketika rezim
Soeharto tumbang, maka Amien Rais mendirikan PAN serta turun dalam kontestasi
Politik, bahkan Amien kemudian terpilih sebagai ketua MPR dan memiliki kewenangan
besar dalam mengamandemen UUD 1945, di masa kepemimpinannya, UUD diamandemen
selama 4 tahap. Kondisi politik kala itu memberikan sebuah penjelasan realistis
jika kritik Amien tidak lepas dari ‘hasrat’ politiknya. Terlebih di tahun 2004,
mantan ketua PP Muhammadiyah tersebut mencalonkan diri sebagai Presiden.
Lantas bagaimana
dengan kritik tajam yang dilayangkannya untuk Jokowi? Kini Amien memang
menjabat sebagai ketua MPP PAN, namun Partai berlambang matahari tersebut telah
berikrar jika Hatta Rajasa lah yang akan maju menjadi RI 1. Ditambah
akhir-akhir ini –pasca Pilpres 2004— geliat Amien di dunia politik juga sedikit
redup, tak banyak bersuara lantang sebagaimana dulu ketika rezim Soeharto.
Sehingga, ketika ada yang menafsirkan jika Amien Rais memiliki ‘hasrat’ Politik
2014, maka mungkin banyak yang skeptis.
Jokowi kini menjadi
tokoh yang cukup menyeruak di panggung politik kita, banyak yang
mengelu-elukannya untuk maju di Pilpres 2014, hasil survey juga selalu
menuliskan namanya sebagai tokoh papan atas, ia dicintai banyak orang dengan
sikap sederhana dan merakyatnya. Sehingga, ketika Amien Rais mengkritik Jokowi,
tentu itu sebuah tindakan yang berani, sama halnya ketika Amien mengkritik
Soeharto. Bedanya Jokowi kini sedang naik daun, jika ada yang mengkritik, maka
akan banyak yang membelanya, dan Amien berani sekali.
Namun perlu diingat
juga, Amien Rais bukan tokoh sembarangan, apalagi dengan posisinya hari ini,
dimana Amien sudah sangat jauh dari hingar bingar Politik. Sehingga bisa jadi
kritik yang dilayangkan Amien lebih bersifat natural, tidak mengada-ada, tanpa
tendensi yang lebih dalam. Setidaknya perlu analisis yang lebih mendalam untuk
mengkaji kritik Amien terhadap Jokowi.
Dengan nuansa
seperti ini, ketika Jokowi banyak dipuji-puji, disayangi, dirindukan, di
elu-elukan, bisa saja membuat suasana hati Jokowi terlena. Ibaratnya, seorang
yang ketika hanya mendapat pujian, maka ia akan terlena dan melihat keadaan hanya
dari satu sisi. Sebagai Orang tua, mungkin Amien bermaksud mengingatkan tokoh
muda Jokowi agar tetap tegap menatap kedepan, tidak terlena dengan pujian, dan
semakin tertantang untuk lebih memperbaiki gaya kepemimpinannya. Sekalipun
Amien Rais harus mempertaruhkan nama baiknya, di hujat sana-sini dan dicaci
maki. Semoga Masyarakat kian dewasa membaca berita-berita di media.
Wallohu’alam
Blitar,
3 oktober 2013
A
Fahrizal Aziz