Selama kurang
lebih tiga tahun menjadi kader IMM UIN Malang, saya belum melihat gairah yang
diperlihatkan oleh IMM terhadap politik kampus. Pertama kali saya melihat
fenomena itu di tahun 2010, secara kelembagaan IMM adalah bagian dari Partai
Pencerahan (Partai yang didirikan HMI), namun kontestasi itu hanya bersifat
partisipasif, tidak terlalu reaktif. Ditahun 2011, saya agak mengerti banyak
karena saya berkecimpung di dalamnya, namun IMM tetap dengan keputusan yang
sama, berkecimpung hanya secara partisipasif, di tahun 2012, IMM tidak
berpartisipasi sama sekali, karena sistem ke-partai-an sudah di hapus. Lantas,
apakah memang IMM anti Politik?
Sebelumnya saya
ingin sedikit bercerita tentang partisipasi IMM UIN Malang dalam politik,
khususnya selama tiga tahun yaitu 2010, 2011, 2012. Di tahun 2010, IMM cukup
banyak mendelegasikan kadernya untuk maju sebagai calon ketua HMJ maupun BEM-F.
seingat saya, ada tiga orang yaitu Immawan Umar Al Faruq (calon ketua BEM-F
Humbud), Nur Rohman (Calon ketua HMJ PBA) dan Immawan Wildan Setyo (Calon ketua
HMJ TI). Dari ketiga calon itu, akhirnya ada yang menang, yaitu Immawan Wildan
Setyo sebagai ketua HMJ TI.
Di tahun 2011,
IMM hanya mendelegasikan dua kadernya. Yaitu Immawan A. Fahrizal Aziz (sebagai
calon ketua HMJ PGMI) dan Immawan Subur Pramono (calon ketua HMJ Fisika) di
tahun itu konstelasi politik agak memanas, sehingga semua calon kandas dan
system politik pun mengalami perubahan. Namun, di tahun ini IMM mendapatkan
empat kursi di BEM-U dan akhirnya didelegasikan Immawan Surya, Umar Al Faroq,
Dian Iyut dan Wildan Setyo. Saya kurang tau pasti bagaimana IMM bisa
mendapatkan 4 kursi tersebut.
Di tahun 2012,
tidak ada OMEK yang bergairah ikut Pemilu kecuali PMII. Hal itu ditandai dengan
calon tunggal. Sehingga, IMM yang awalanya mendapatkan tawaran untuk ikut
berpolitik pun juga ‘diam’ tak bersuara, terlebih system dirubah dari partai
menjadi independen.
Dari beberapa
fakta diatas, sebenarnya IMM tidak begitu anti terhadap politik. Namun memang,
grand desain tujuan IMM bukanlah menguasai kursi politik, melainkan adalah
untuk mengusahakan terbentuknya akademisi Muslim. Sehingga politik bukan
tujuan, melainkan hanya bagian dari tanggung jawab aktivis. Maka, IMM pun tetep
focus dalam romantisme perkaderan dan seremonial seperti DAD, TMO dan terkadang
Seminar-seminar.
Meski politik
bukan tujuan primer, namun ditangan kepemimpinan yang baru ini, tak ada salahnya
menyisihkan sebagian progam untuk sedikit konsen terhadap konstelasi politik.
Tidak harus mati-matian mendapatkan kursi, karena sifat serakah terhadap
jabatan bukanlah ciri gerakan Muhammadiyah. Ada kalanya, IMM sedikit
menyingsingkan baju untuk ikut berpartisipasi lebih reaktif terhadap politik
kampus, minimal ikut membaca realita dan wacana terhadap politik kampus.
Orientasi IMM
adalah membangun dan mencerdaskan kader, tapi politik kampus dan wacana
didalamnya adalah bagian dari tanggung jawab aktivis. Sehingga, minimal aktivis
IMM tahu apa isu yang tengah berkembang dikampus dan apa kebijakan yang telah
diberikan. Saya yakin, ditangan kepemimpinan yang baru, yang lebih segar dan
berenergi ini. IMM mampu sedikit mengeluarkan gadingnya dan terus berfastabiqul
Khairat. Wallohu’alam
Malang, 3 September 2012
Ahmad Fahrizal Aziz