Menjelang
setengah abad IMM, kita perlu memikirkan dimensi yang paling fundamental dalam
Organisasi ini, yaitu Perkaderan. Dimana dimensi ini tidak terlalu populer
untuk diperbincangkan, meskipun sebenarnya selalu dijalankan melalui Darul
Arqom. Namun, faktanya selalu terlindas oleh isu politik ataupun yang lainnya.
Tapi jika kita membaca peta pergerakan IMM Malang, sebenarnya sudah muncul
titik terang Perkaderan yang barangkali bisa menjadi pelecut kebangkitan
Organisasi yang didirikan oleh Djasman Al Kindi dan kawan-kawan ini.
Di Malang
sendiri, jumlah komisariat sudah semakin banyak, sudah mencapai 21 komisariat.
Dari jumlah komisariat yang sebanyak itu, tentu secara kuantitatif jumlah kader
IMM semakin banyak. Dan jika demikian, kedepan Muhammadiyah tidak perlu
khawatir kehabisan stock kader, terlebih pergerakan komisariat kini juga sudah
mulai berada pada titik akumulatif; kita harus terus brdakwah.
Salah satu
indikator dari titik-titik pencerahan itu adalah terbangunnya sebuah komunitas
yang diusung oleh kader-kader IMM seperti dari UB, UIN, UM, Ikip Budi Utomo dan
Universitas Kanjuruhan yang beberapa waktu lalu dinamai Almaun Community dan
lahirnya diskusi kultural yang semakin menunjukkan kepedulian tinggi mereka
tentang IMM.
Lahirnya wacana
cabang baru kemarin seharusnya mampu menjadi oase ditengah gersangnya
kepedulian Kader terhadap nasib IMM, dan jika dipandang dari segi positif,
seharusnya wacana cabang baru itu mampu menjadi penguat perkaderan yang selama
ini lumpuh karena kita terlalu sibuk mengurus adminitrasi yang tak kunjung
usai.
Namun naas,
wacana itu kemudian terlibas oleh prosedur yang sangat melelahkan. Saya pikir,
para kader yang memperjuangkan cabang itu kemudian sudah muak dan enggan lagi
peduli dengan IMM, ternyata saya salah. Kepedulian mereka terhadap IMM begitu
besar sampai-sampai membuat sebuah wadah untuk perjuangan. Sekalipun wadah itu
tidak akan pernah diakui bahkan mungkin akan dicaci.
Tapi militansi
yang tinggi untuk terus berjuang itulah yang patut diapresiasi, karena
menghasilkan kader yang demikian itu tentu bukan perkara mudah, maka yang sudah
ada harusnya menjadi buih yang terus menularkan sikap positif kepada yang
lainnya.
Beberapa kader
yang kemudian bergerak dalam komunitas itu ingin berjuang tanpa harus
dipandang, dalam artian banyak sekali kegiatan yang disusun karena roh Dakwah
yang sudah berkobar, dan dari hasil diskusi yang membincang nasib IMM tersebut,
semua sepakat jika pergerakan IMM harus kemudian dikembalikan pada sisi yang
paling fundamental: Perkaderan dan Dakwah.
Kedepan, saya
yakin nuansa perkaderan kita akan lebih terarah, dimana kita akan terus
melahirkan kader yang menjadikan Dakwah sebagai roh Gerakan, bukan sebatas
formalitas agar progam berjalan atau hanya sebatas kepentingan-kepentingan
duniawi yang bersifat fatamorgana.
Hanya saja kita
harus jujur, jika selama ini kita belum punya konsep secara utuh bagaimana
membentuk kader yang memiliki militansi tinggi, religiusitas yang baik,
Intelektual yang cemerlang dan Humanitas yang kuat, tapi kita patut bersyukur
karena kita tidak pernah kehilangan teladan.
Semoga, kedepan
akan terus lahir kader yang memiliki militansi tinggi, tidak hanya sekedar
untuk meraih kepentingan sesaat, tetapi semangat untuk terus menggagas
progam-progam sebagai bentuk Dakwah yang rill serta semakin memperkuat ukhuwah
kita. Wallohu’alam
Malang,
27 Maret 2013
A
Fahrizal Aziz