loading...

Selasa, 28 April 2015

Jalan sunyi seorang aktifis



Setiap membaca buku sejarah, saya selalu berharap untuk kembali ke era-50an ; menjadi Mahasiswa. Saat dimana kampus belum semegah sekarang ini, tata kota belum berhias lampu-lampu, alat telekomunikasi masih susah, pun teknologi lain semisal internet. Semua masih serba gelap. Kalaupun ada lampu yang menyala, itu sebuah berkah. Rata-rata masih menggunakan temaram. Saya masih hafal betul baris tulisan “mengenang Soekarno”. Setiap malam, selepas Shalat Isya’. Soekarno selalu asyik duduk dekat temaram minyak sambil membaca buku-buku di kamar Kosnya, milik H.O.S Cokroaminoto. Mungkin era Soekarno terlampau klasik, tahun 20-an.


Sekarang, kehidupan serba terang. Matahari tidak hanya menyala dari timur, tapi juga menyala dari atap plafon rumah kita, teknologi semakin canggih, buku-buku juga banyak berserakan, tidak hanya cetak, bahkan yang elektronik pun. Ketikannya rapi, tidak sungsang layaknya mesin ketik jadul. Kita dihadapkan pada era yang begitu mewah. Lebih mewah dari era Soekarno, Hatta, Natsir, Hamka, hingga Soe Hok Gie. Sesekali bathin bergeming : Harusnya kita bisa melakukan lebih dari mereka.

Saya membayangkan cerita hidup mereka di tahun-tahun itu, hidup dalam keterbatasan informasi dan telekomunikasi. Tetapi idealismenya tetap tinggi. Suaranya tetap lantang mendobrak tirani. Ah, saya mungkin saja terlalu berlebihan memuji mereka. Tapi buktinya, Gie membentuk Klandestin, sebuah komunitas diskusi yang aktif mengkritisi Pemerintahan Orde lama. Dari forum kajian itu, lahir gerakan jalanan yang berani. Saya membayangkan, bagaimana mereka berkordinasi? Bagaimana pula mereka mengakses informasi.

Sekarang kita dimudahkan dengan teknologi. Koordinasi bisa melalu sms, kendaraan juga berserakan dimana-mana, akses informasi terbuka di media. Tak begitu susah. Dahulu, jangankan era Gie, masa orde baru pun –saat media semua dibungkam, Mahasiswa susah sekali mengakses informasi. Saya mendapat cerita dari Pak Himmawan, senior IMM yang hidup menjadi mahasiswa era 90-an. Saat mau demo turun ke jalan, mereka (kaum aktifis) harus berkubang dalam analisis yang mendalam. Mereka aktifis yang hebat.

Saya pun tidak menduga, jika bergabungnya saya di IMM ini, kemudian disebut “Aktifis”. Sebuah label yang begitu berat. Setahu saya aktifis itu semisal Gie, atau se heroik Arif Budiman. Yang klasik, aktifis itu se idealis Agus Salim atau se Egaliter Munir. Sesekali ada teman kuliah yang memanggil saya “Aktifis”. Aih, berat sekali dipanggil demikian. Aktifis apa? Saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk menulis cerpen dan membaca puisi, daripada turun di jalanan atau duduk di ruang diskusi. Di IMM pun saya tidak melakukan banyak hal. Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan.

Masih melekat dibenak saya, di hari jumat yang basah, selepas hujan. Ponsel saya berdering. Sebuah telepon masuk dari Mbak Nirma, Kabid Kader IMM Pelopor kala itu. Dia mengajak saya untuk ikut DAD. Saya dijemput langsung oleh Mas Tamam (Ketum waktu itu). Disana sudah ada Mas Rasikh, yang dua tahun kemudian menjadi ketum Pelopor dan tahun berikutnya menjadi ketum Korkom. Malam harinya, selepas Magrib, di sebuah gedung tua di SD Muhammadiyah 08 Sigura-gura, datang lagi satu peserta titipan. Ialah Yusuf Hamdani, yang sekarang mejadi ketua PC IMM Malang.

Saya tertarik mengenang masa DAD itu. Bagaimana mungkin dalam satu DAD, melahirkan dua ketua umum. Saya mengaku kalah, Mas Rasikh dan Mas Yusuf telah jauh melangkah, meskipun saat itu saya yang terpilih sebagai ketua alumni DAD. Selama tiga hari di DAD saya merenung, inikah dunia Aktifis? Ia sering tercerabut dari riuhnya akhir pekan dan sesaknya taman-taman kota. Sebuah jalan yang begitu sunyi.

Sejenak hati menggerundal, harusnya di akhir pekan ini kita habiskan waktu dengan kekasih kita ; jalan-jalan ke sudut kota, duduk berdua di bawah sinar lampu taman yang indah, bercengkrama melepas penat akhibat seminggu penuh dihajar oleh aktifitas dan tugas-tugas kuliah. Kita juga tidak perlu susah-susah merencanakan progam kegiatan, mengkhawatirkan keadaan kader, hingga memikirkan keberlangsungan Ikatan ini.

Kita sudah cukup sibuk dengan perkuliahan. Toh, tak sedikit juga Mahasiswa yang menghabiskan waktu luangnya untuk bersantai; jalan-jalan, kencan, nonton film, main billiard, nongkrong di cafe, hingga menghabiskan uang untuk belanja dan memuaskan hasrat manusiawinya. Kadang saya iri dengan mereka, saya ingin punya kehidupan yang begitu santai. Cukup memikirkan kuliah dan hobi.

Pernah dalam satu ketika, selama tiga minggu berturut-turut, saya harus menghabiskan akhir pekan di tempat yang begitu melelahkan ; rapat organisasi, mengisi materi, hingga ajakan diskusi. Padahal, dari pagi sampai siang saya sudah dibuat lelah dengan tugas-tugas kuliah, deadline pekerjaan yang berjibun. Tiga pekerjaan yang harus saya selesaikan, penulis artikel, wartawan kampus hingga kontributor Majalah. Saya hanya punya waktu luang malam hari. dan itu waktu yang pas untuk melepas lelah, ngopi di warung sambil bersenda gurau dengan teman-teman.

Tapi ternyata saya tidak sendiri. Teman-teman Aktifis lain mungkin juga banyak yang seperti itu. mereka harus menyisakan banyak waktu untuk kepentingan organisasi. Bukankah ini sebuah jalan yang begitu sunyi? disaat mereka bisa melepas lelah dan bersantai sehabis kuliah, mungkin kita harus menyelesaikan persoalan lain. rapat rutinan, kajian yang berisi materi-materi nan memberatkan, memikirkan progam untuk kader-kader, mencari dana ke donatur-donatur, demo turun ke jalanan, melakukan advokasi kepada kaum yang tertindas dan seabrek kegiatan lainnya.

Kita benar-benar melawan arus. Disaat sebagaian besar mahasiswa sibuk merencanakan liburan akhir pekan, kadang kita justru sibuk mempersiapkan agenda kegiatan. Kita melupakan kepentingan pribadi kita, gairah individu kita. Jalan yang kita tempuh benar-benar melawan arus, benar-benar sunyi. saya tidak bisa membayangkan para aktifis jaman dulu, yang mereka dikenang hingga saat ini. apakah mereka juga punya waktu untuk merencanakan liburan akhir pekan?

Saya juga tidak bisa mendefinisikan bagaimana penatnya kehidupan Nabi Muhammad. Yang setiap hari, jam hingga menitnya dihibahkan untuk kepentingan Ummat. Bahkan beliau lupa kehidupannya sendiri, sampai-sampai ketika ada seseorang bertamu dan beliau memerintahkan Aisyah untuk menyediakan hidangan, ternyata tidak ada sepiring pun makanan. Sebuah pengorbanan yang susah disaingi siapapun.

Persoalan yang kita hadapi tidak sebesar Nabi, bahkan tak ada secuilnya. Ketika mulai lelah, sesekali saya mengingat pesan ini “Orang besar, tidak mungkin ditugaskan Tuhan untuk menyelesaikan hal-hal kecil.” Akhirnya, saya betul-betul menikmati jalan sunyi ini, saya mendapatkan satu rumus kehidupan yang berharga : Belajar ada dalam ketiadaan. Karena saya yakin, Romantisme sejati tidak dibangun dalam kelapangan waktu, ia hadir diantara jalan yang berliku, terjal membatu. Dan suatu saat, kita akan berada diujung jalan, menyaksikan jejak-jejak kita yang terjabar jelas dimata.

Untuk kader-kader baru, jalan kalian masih cukup panjang. Terlalu dini untuk menyerah. Jangan sampai layu sebelum mekar, karena mekarmu hanya sekali. Akhirnya, selamat berlibur dan selamat berjuang! Fastabiqul Khairot!


Blitar, 24 Desember 2013
A Fahrizal Aziz
Di Pagi hari yang mendung