Setiap membaca
buku sejarah, saya selalu berharap untuk kembali ke era-50an ; menjadi
Mahasiswa. Saat dimana kampus belum semegah sekarang ini, tata kota belum
berhias lampu-lampu, alat telekomunikasi masih susah, pun teknologi lain
semisal internet. Semua masih serba gelap. Kalaupun ada lampu yang menyala, itu
sebuah berkah. Rata-rata masih menggunakan temaram. Saya masih hafal betul
baris tulisan “mengenang Soekarno”. Setiap malam, selepas Shalat Isya’.
Soekarno selalu asyik duduk dekat temaram minyak sambil membaca buku-buku di
kamar Kosnya, milik H.O.S Cokroaminoto. Mungkin era Soekarno terlampau klasik,
tahun 20-an.
Sekarang,
kehidupan serba terang. Matahari tidak hanya menyala dari timur, tapi juga
menyala dari atap plafon rumah kita, teknologi semakin canggih, buku-buku juga
banyak berserakan, tidak hanya cetak, bahkan yang elektronik pun. Ketikannya
rapi, tidak sungsang layaknya mesin ketik jadul. Kita dihadapkan pada era yang
begitu mewah. Lebih mewah dari era Soekarno, Hatta, Natsir, Hamka, hingga Soe
Hok Gie. Sesekali bathin bergeming : Harusnya kita bisa melakukan lebih dari
mereka.
Saya membayangkan
cerita hidup mereka di tahun-tahun itu, hidup dalam keterbatasan informasi dan
telekomunikasi. Tetapi idealismenya tetap tinggi. Suaranya tetap lantang
mendobrak tirani. Ah, saya mungkin saja terlalu berlebihan memuji mereka. Tapi
buktinya, Gie membentuk Klandestin, sebuah komunitas diskusi yang aktif mengkritisi
Pemerintahan Orde lama. Dari forum kajian itu, lahir gerakan jalanan yang
berani. Saya membayangkan, bagaimana mereka berkordinasi? Bagaimana pula mereka
mengakses informasi.
Sekarang kita
dimudahkan dengan teknologi. Koordinasi bisa melalu sms, kendaraan juga
berserakan dimana-mana, akses informasi terbuka di media. Tak begitu susah.
Dahulu, jangankan era Gie, masa orde baru pun –saat media semua dibungkam,
Mahasiswa susah sekali mengakses informasi. Saya mendapat cerita dari Pak
Himmawan, senior IMM yang hidup menjadi mahasiswa era 90-an. Saat mau demo
turun ke jalan, mereka (kaum aktifis) harus berkubang dalam analisis yang
mendalam. Mereka aktifis yang hebat.
Saya pun tidak
menduga, jika bergabungnya saya di IMM ini, kemudian disebut “Aktifis”. Sebuah
label yang begitu berat. Setahu saya aktifis itu semisal Gie, atau se heroik
Arif Budiman. Yang klasik, aktifis itu se idealis Agus Salim atau se Egaliter
Munir. Sesekali ada teman kuliah yang memanggil saya “Aktifis”. Aih, berat
sekali dipanggil demikian. Aktifis apa? Saya lebih banyak menghabiskan waktu
untuk menulis cerpen dan membaca puisi, daripada turun di jalanan atau duduk di
ruang diskusi. Di IMM pun saya tidak melakukan banyak hal. Saya hanya melakukan
apa yang bisa saya lakukan.
Masih melekat
dibenak saya, di hari jumat yang basah, selepas hujan. Ponsel saya berdering.
Sebuah telepon masuk dari Mbak Nirma, Kabid Kader IMM Pelopor kala itu. Dia
mengajak saya untuk ikut DAD. Saya dijemput langsung oleh Mas Tamam (Ketum
waktu itu). Disana sudah ada Mas Rasikh, yang dua tahun kemudian menjadi ketum
Pelopor dan tahun berikutnya menjadi ketum Korkom. Malam harinya, selepas
Magrib, di sebuah gedung tua di SD Muhammadiyah 08 Sigura-gura, datang lagi
satu peserta titipan. Ialah Yusuf Hamdani, yang sekarang mejadi ketua PC IMM
Malang.
Saya tertarik
mengenang masa DAD itu. Bagaimana mungkin dalam satu DAD, melahirkan dua ketua
umum. Saya mengaku kalah, Mas Rasikh dan Mas Yusuf telah jauh melangkah,
meskipun saat itu saya yang terpilih sebagai ketua alumni DAD. Selama tiga hari
di DAD saya merenung, inikah dunia Aktifis? Ia sering tercerabut dari riuhnya
akhir pekan dan sesaknya taman-taman kota. Sebuah jalan yang begitu sunyi.
Sejenak hati
menggerundal, harusnya di akhir pekan ini kita habiskan waktu dengan kekasih
kita ; jalan-jalan ke sudut kota, duduk berdua di bawah sinar lampu taman yang
indah, bercengkrama melepas penat akhibat seminggu penuh dihajar oleh aktifitas
dan tugas-tugas kuliah. Kita juga tidak perlu susah-susah merencanakan progam kegiatan,
mengkhawatirkan keadaan kader, hingga memikirkan keberlangsungan Ikatan ini.
Kita sudah cukup
sibuk dengan perkuliahan. Toh, tak sedikit juga Mahasiswa yang menghabiskan
waktu luangnya untuk bersantai; jalan-jalan, kencan, nonton film, main billiard,
nongkrong di cafe, hingga menghabiskan uang untuk belanja dan memuaskan hasrat
manusiawinya. Kadang saya iri dengan mereka, saya ingin punya kehidupan yang
begitu santai. Cukup memikirkan kuliah dan hobi.
Pernah dalam satu
ketika, selama tiga minggu berturut-turut, saya harus menghabiskan akhir pekan
di tempat yang begitu melelahkan ; rapat organisasi, mengisi materi, hingga
ajakan diskusi. Padahal, dari pagi sampai siang saya sudah dibuat lelah dengan
tugas-tugas kuliah, deadline pekerjaan yang berjibun. Tiga pekerjaan yang harus
saya selesaikan, penulis artikel, wartawan kampus hingga kontributor Majalah.
Saya hanya punya waktu luang malam hari. dan itu waktu yang pas untuk melepas
lelah, ngopi di warung sambil bersenda gurau dengan teman-teman.
Tapi ternyata
saya tidak sendiri. Teman-teman Aktifis lain mungkin juga banyak yang seperti
itu. mereka harus menyisakan banyak waktu untuk kepentingan organisasi.
Bukankah ini sebuah jalan yang begitu sunyi? disaat mereka bisa melepas lelah
dan bersantai sehabis kuliah, mungkin kita harus menyelesaikan persoalan lain.
rapat rutinan, kajian yang berisi materi-materi nan memberatkan, memikirkan
progam untuk kader-kader, mencari dana ke donatur-donatur, demo turun ke
jalanan, melakukan advokasi kepada kaum yang tertindas dan seabrek kegiatan
lainnya.
Kita benar-benar
melawan arus. Disaat sebagaian besar mahasiswa sibuk merencanakan liburan akhir
pekan, kadang kita justru sibuk mempersiapkan agenda kegiatan. Kita melupakan
kepentingan pribadi kita, gairah individu kita. Jalan yang kita tempuh
benar-benar melawan arus, benar-benar sunyi. saya tidak bisa membayangkan para
aktifis jaman dulu, yang mereka dikenang hingga saat ini. apakah mereka juga
punya waktu untuk merencanakan liburan akhir pekan?
Saya juga tidak
bisa mendefinisikan bagaimana penatnya kehidupan Nabi Muhammad. Yang setiap
hari, jam hingga menitnya dihibahkan untuk kepentingan Ummat. Bahkan beliau
lupa kehidupannya sendiri, sampai-sampai ketika ada seseorang bertamu dan
beliau memerintahkan Aisyah untuk menyediakan hidangan, ternyata tidak ada
sepiring pun makanan. Sebuah pengorbanan yang susah disaingi siapapun.
Persoalan yang
kita hadapi tidak sebesar Nabi, bahkan tak ada secuilnya. Ketika mulai lelah,
sesekali saya mengingat pesan ini “Orang besar, tidak mungkin ditugaskan Tuhan
untuk menyelesaikan hal-hal kecil.” Akhirnya, saya betul-betul menikmati jalan
sunyi ini, saya mendapatkan satu rumus kehidupan yang berharga : Belajar ada
dalam ketiadaan. Karena saya yakin, Romantisme sejati tidak dibangun dalam
kelapangan waktu, ia hadir diantara jalan yang berliku, terjal membatu. Dan
suatu saat, kita akan berada diujung jalan, menyaksikan jejak-jejak kita yang
terjabar jelas dimata.
Untuk kader-kader
baru, jalan kalian masih cukup panjang. Terlalu dini untuk menyerah. Jangan
sampai layu sebelum mekar, karena mekarmu hanya sekali. Akhirnya, selamat
berlibur dan selamat berjuang! Fastabiqul Khairot!
Blitar,
24 Desember 2013
A
Fahrizal Aziz
Di
Pagi hari yang mendung