Sekitar bulan
oktober 2010, saat pertama kali di amanahi untuk menjadi Instruktur DAD IMM
koms. Pelopor UIN Malang, saya ngotot agar JJM di hapus! Sempat timbul
diskusi sengit. Lalu di ganti dengan apa? Baru kemudian Mas Rasikh menawarkan
agar tetap diadakan namun konsepnya saja di rubah, yang awalnya mulai tengah
malam hingga subuh, agak dikurangi. Yang awalnya harus blusukan ke
kuburan, di hilangkan. Pos-posnya pun juga dikurangi. Akhirnya kami sepakat.
Jujur saja, saat
membuat usul agar JJM itu di hapus, saya belum punya alternatif. Bisa jadi
kata-kata itu muncul secara emosional, berdasarkan pengalaman menjadi peserta
DAD yang ‘diperlakukan’ tidak terhormat di JJM dulu. Saya merasa jika blusukan
ke kuburan itu terlalu berlebihan, apalagi waktu saya dulu, ada adegan suruh
merayu senior untuk mendapatkan sesuatu. Saya menolak hal itu! apalagi
seniornya perempuan, yang benar saja donk!
Kemudian saya di
ancam : kalau nggak mau, kamu nggak di luluskan jadi kader IMM.
Dengan mantab saya menjawab. Silahkan! Rupa-rupanya justru panitia yang
bingung, mungkin dia membatin “bandel sekali kader baru yang satu ini”. jujur
saja, saya sangat kecewa dengan perlakuan senior kala itu, saya merasa di
pelonco, dianggap anak kecil yang dengan mudah dikerjai. Saya tidak terima!
Pengalaman itulah
yang kemudian saya sharingkan dan saya ngotot agar JJM di hapus. Pada
awalnya, alasannya hanya satu : Saya tidak mau kader baru nanti mengalami hal
yang sama dengan saya, saya tidak tega mereka di dikerjai, di pelonco, dan
segala macamnya. Apalagi JJM berlangsung dari tengah malam hingga subuh. Itu
berarti mereka tidak tidur. Itu berarti paginya energi mereka habis dan mereka
tidak pergi kuliah. Saya tidak mau itu terjadi pada mereka.
Tugas utama
mereka adalah kuliah, menuntut ilmu, dan ber-IMM adalah keawajiban sosial
sebagai akademisi. Saya meyakini, mahasiswa harus mengukur sejauh mana
kemampuan individunya dengan berorganisasi. Sejauh mana ia mampu memanage
waktu, sejauh mana ia mampu mengelola manajemen, sejauh mana ia bekerja sama,
dan sejauh mana ia menjadi kakak yang mendidik kader-kadernya. Maka, IMM harus
mendukung upaya untuk internalisasi cita-cita itu.
Saya terus
sharing dengan para senior tentang JJM. Kala itu, saya sharing dengan Mas
Habibie, Mas Kholiq, Mas Tamam, Mbak Nur, Mbak Ririn dan saya lupa siapa lagi.
Apa JJM harus ada? Saya lega karena para senior tidak “mewajibkan” itu. Mereka
hanya menjelaskan maksud dari JJM itu adalah untuk evaluasi, terutama evaluasi
materi dan pelatihan mental calon kader. Saya kemudian mengkritisi pelaksanaan
JJM tersebut.
Saya tahu,
sebagai mahasiswa kita sama-sama dewasa. Saya tidak khawatir ketika mengkritisi
pelaksanaan JJM tersebut karena saya yakin para senior pasti bersifat terbuka
terhadap kritik. Saya mengkritisi jika JJM digunakan ajang evaluasi materi dan
juga pelatihan mental, jelas tidak efektif.
Pertama,
JJM dimulai sekitar tengah malam, antara jam 00.00 hingga menjelang subuh
bahkan kadang baru selesai ketika adzan subuh berkumandang. Biasanya JJM
dilaksanakan setelah simulasi sidang dan pemilihan ketua alumni DAD, sebelumnya
mereka di forsir dengan materi, debat konstruktif dan sebagainya. Jelas kondisi
fisik sangat lelah, begitupun kondisi otak. Jika dalam keadaan seperti itu
dilakukan evaluasi materi. Percuma saja. Muspro!
Kedua,
mental apa yang ingin dibangun? Melatih mental tidak harus jalan-jalan malam,
blusukan ke kuburan atau di bentak-bentak. Itu bermanfaat jika kita ingin
mencetak kader militer atau simulasi untuk menjadi peserta uji nyali. Tapi
tidak. kita ingin mencetak kader yang memiliki kompetesi akademik yang bagus
dan juga seorang muslim yang tangguh. Harusnya pelatihan mental tidak terfokus
di JJM. Bisa dengan memaksimalkan yang ada.
Misalkan
dimaksimalkan ketika kultum, debat, atau evaluasi materi. Peran instruktur
sangat berpengaruh dalam hal ini. Lagipula mental aktivis yang harusnya di asah
adalah kemampuan berbicara di forum dan berkomunikasi dengan orang lain. saya
haqqul yakin, di bentak-bentak tidak akan menghasilkan apa-apa. Justru yang harus
di perbanyak adalah forum diskusi, debat atau kultum. Kalau perlu ada sesi
khusus untuk mempresentasikan buku bacaan.
Lagipula, DAD
hanya pintu masuk ke IMM. Tidak bisa kualitas dan militansi kader di tentukan
hanya dalam waktu 3 hari 3 malam. Butuh proses berkesinambungan, budaya
komisariat dan lain sebagainya. Akhirnya saya yakin jika JJM dihapuskan saja,
dan diganti sistem lain.
Di komisariat
pelopor sendiri, JJM benar-benar dihapuskan ketika DAD sekitar bulan oktober
2011. Selain JJM, ada beberapa yang saya kritisi dan akhirnya sesuai
kesepakatan bersama, diperbaharui. Pada DAD oktober 2011 yang berlangsung di
Panti Asuhan Muhammadiyah Bareng depan MOG itu saya mengajukan diri menjadi MOT
dan ada beberapa perubahan.
Satu,
Materi DAD. Sebelumnya, materi DAD berjumlah 7 buah : logika berfikir,
ke-Islaman, ke-Muhammadiyahan, ke-IMM-an, Retorika, leadership, gerakan
mahasiswa. Di padatkan menjadi 3 saja : ke-Islaman, ke-Muhammadiyahan, dan
ke-IMM-an. Sisa waktu untuk analisis film, diskusi dan debat.
Dua,
Wewenang SC (Stering commite) dalam DAD. Awalnya SC lah yang bertugas
mengkonsep acara DAD, namun kala itu saya berpendapat agar SC di hapuskan dan
konsep semua ada di instruktur. Hanya saja usul itu di tolak. SC tetap diadakan
namun konsep DAD akhirnya beralih ke Instruktur. SC hanya sebagai konseptor
teknis dan membantu panitia. Logikanya begini, yang menjalankan kegiatan
pengaderan ini adalah instruktur, kenapa SC yang buat konsep? Untuk menghindari
mis-communikasi pada hal-hal teknis. Akhirnya semua konsep DAD dilimpahkan ke
Instruktur.
Tiga,
JJM di hapus dan diganti JJS (Jalan-jalan siang). Intinya hampir sama, ada
evaluasi dan juga pelatihan mental. Tapi jamnya diganti, JJS dimulai jam 06.30
hingga 11.30 rutenya pun tidak melalui kuburan. Saya mengacu pada teori otak
manusia. Saya lupa judul bukunya. Otak manusia aktif pada jam 03.00 hingga
10.00. otak akan kembali rehat pada jam 10.00- 14.30. otak akan aktif secara
penuh lagi antara jam 14.30 hingga 17.30.
Teori ini
sederhana saja. Mengapa orang memilih olah raga antara pagi dan sore? Karena
dua waktu ini kondisi otak sangat fresh dan jika dilakukan evaluasi materi,
kemungkinan lebih efektif. Setelah JJS ada istirahat hingga jam 14.00 baru
setelah itu dimulai materi teknik persidangan sekaligus simulasi sidang dan
pengukuhan ba’da magrib. Selepas Isya’, acara DAD sudah selesai dan pulang
untuk mempersiapkan perkuliahan keesokan harinya.
Biasanya sidang
berlangsung malam. Kali ini berlangsung sore dan walhasil magrib sudah selesai.
Setelah shalat magrib baru dilakukan pengukuhan dan kala itu masih ada
bentak-bentakan. Saya lupa belum menjelaskan itu ke senior-senior yang kala itu
datang. Tapi saya tidak ikut membentak, tidak ikut-ikutan marah, karena wajah
saya kurang meyakinkan untuk membentak-bentak. Hehe
Saya bukannya
tidak suka dengan perpeloncoan, di kerjai, atau bentak-bentak. Itu sah-sah
saja. Saya mengacu pada teori perkembangan manusia. Usia Mahasiswa berkisar
antara 18 sampai 19 tahun, bahkan ada yang lebih tua. Itu adalah fase dimana manusia
berada pada masa akhir adolesence (remaja) dan pintu menuju dewasa. Kita tidak
boleh memperlakukan kader layaknya anak-anak yang harus dibentak-bentak. Kita
harus mulai membangun hubungan dengan pendekatan orang dewasa, emotional
relationship, bukan represional relationship (hubungan yang
mengitimidasi).
Menurut Jean
Piaget, usia itu masuk kategori operasional formal. Dimana seseorang sudah
mampu berfikir secara abstrak, logis dan mampu menarik kesimpulan dari
informasi yang ada. Cara terbaik untuk mengelola forum dengan rentang usia itu
adalah pendekatan orang dewasa. Saya yakin, kader baru bukan orang yang
berangkat dari nol, mereka sudah memiliki wawasan dan pengalaman masing-masing.
Tinggal bagaimana Instruktur merangsang kepekaan peserta.
Pengondisian
forum harus stabil. Instruktur adalah fasilitator, bukan narasumber. Instruktur
bukan malaikat yang harus tampil “perfect” di depan kader baru. Tapi
setidaknya, instruktur bisa menjadi teman diskusi konstruktif. Kader baru bisa
menimba sesuatu dari instruktur begitupun dengan instruktur, bukan tidak
mungkin dia menimba ilmu dari kader baru. Harus saling melengkapi. Inilah yang
saya sebut emotional relationship.
Saya sudah
sembilan kali menjadi instruktur. 4 kali di IMM UIN, 3 kali di IMM Kanjuruhan,
2 kali di PC IMM Malang. pernah terlibat diskusi aktif di korps. Instruktur
Cabang Malang dan diamanahi sebagai koordinator. Itu saja yang bisa saya
sharingkan. Bahwa pada akhirnya konsep JJM benar-benar dihapuskan di Komisariat
Pelopor. Saya tidak memungkiri jika konsep “DAD baru” itu banyak kekurangan,
teknisnya banyak yang tidak sesuai harapan. Tapi sebuah konsep tentu butuh
penyesuaian dan uji coba. Jika memungkinkan, konsep itu bisa lebih
disempurnakan oleh generasi selanjutnya.
Saya tahu jika
konsep yang dibuat senior, tidak harus diikuti sampai kiamat. Begitupun apa
yang pernah berubah ketika periode saya, dkk. Periode ini mungkin memiliki
konsep yang lebih bagus, hasil pemikiran yang lebih matang, maka saya tidak
mengkritik jika JJM masih diterapkan di IMM UIN Malang. sah-sah saja, selama
dibarengi dengan kajian yang matang. Bukan sekedar mengikuti tradisi leluhur
yang mungkin saja sudah tidak relevan dan efisien.
Tapi setidanya,
ada “budaya berfikir” yang di kembangkan. Bukan budaya “dogmatis” atau “taqliq”
(ikut-ikutan). Saya tahu jika IMM itu punya senior, tapi jangan sampai ada
“senioritas”. Biarlah kader belajar menjadi seorang konseptor, pemikir,
inisistor-pelopor. Saya juga tidak keberatan andai kata gagasan-gagasan yang
pernah saya tulis di kritik para kader. Justru saya akan merasa bersyukur.
Selamat belajar.
Fastabiqul khoirot.
Malang,
19 Maret 2014
A
Fahrizal Aziz