loading...

Kamis, 02 April 2015

Hapus JJM!



Sekitar bulan oktober 2010, saat pertama kali di amanahi untuk menjadi Instruktur DAD IMM koms. Pelopor UIN Malang, saya ngotot agar JJM di hapus! Sempat timbul diskusi sengit. Lalu di ganti dengan apa? Baru kemudian Mas Rasikh menawarkan agar tetap diadakan namun konsepnya saja di rubah, yang awalnya mulai tengah malam hingga subuh, agak dikurangi. Yang awalnya harus blusukan ke kuburan, di hilangkan. Pos-posnya pun juga dikurangi. Akhirnya kami sepakat.


Jujur saja, saat membuat usul agar JJM itu di hapus, saya belum punya alternatif. Bisa jadi kata-kata itu muncul secara emosional, berdasarkan pengalaman menjadi peserta DAD yang ‘diperlakukan’ tidak terhormat di JJM dulu. Saya merasa jika blusukan ke kuburan itu terlalu berlebihan, apalagi waktu saya dulu, ada adegan suruh merayu senior untuk mendapatkan sesuatu. Saya menolak hal itu! apalagi seniornya perempuan, yang benar saja donk!

Kemudian saya di ancam : kalau nggak mau, kamu nggak di luluskan jadi kader IMM. Dengan mantab saya menjawab. Silahkan! Rupa-rupanya justru panitia yang bingung, mungkin dia membatin “bandel sekali kader baru yang satu ini”. jujur saja, saya sangat kecewa dengan perlakuan senior kala itu, saya merasa di pelonco, dianggap anak kecil yang dengan mudah dikerjai. Saya tidak terima!

Pengalaman itulah yang kemudian saya sharingkan dan saya ngotot agar JJM di hapus. Pada awalnya, alasannya hanya satu : Saya tidak mau kader baru nanti mengalami hal yang sama dengan saya, saya tidak tega mereka di dikerjai, di pelonco, dan segala macamnya. Apalagi JJM berlangsung dari tengah malam hingga subuh. Itu berarti mereka tidak tidur. Itu berarti paginya energi mereka habis dan mereka tidak pergi kuliah. Saya tidak mau itu terjadi pada mereka.

Tugas utama mereka adalah kuliah, menuntut ilmu, dan ber-IMM adalah keawajiban sosial sebagai akademisi. Saya meyakini, mahasiswa harus mengukur sejauh mana kemampuan individunya dengan berorganisasi. Sejauh mana ia mampu memanage waktu, sejauh mana ia mampu mengelola manajemen, sejauh mana ia bekerja sama, dan sejauh mana ia menjadi kakak yang mendidik kader-kadernya. Maka, IMM harus mendukung upaya untuk internalisasi cita-cita itu.

Saya terus sharing dengan para senior tentang JJM. Kala itu, saya sharing dengan Mas Habibie, Mas Kholiq, Mas Tamam, Mbak Nur, Mbak Ririn dan saya lupa siapa lagi. Apa JJM harus ada? Saya lega karena para senior tidak “mewajibkan” itu. Mereka hanya menjelaskan maksud dari JJM itu adalah untuk evaluasi, terutama evaluasi materi dan pelatihan mental calon kader. Saya kemudian mengkritisi pelaksanaan JJM tersebut.

Saya tahu, sebagai mahasiswa kita sama-sama dewasa. Saya tidak khawatir ketika mengkritisi pelaksanaan JJM tersebut karena saya yakin para senior pasti bersifat terbuka terhadap kritik. Saya mengkritisi jika JJM digunakan ajang evaluasi materi dan juga pelatihan mental, jelas tidak efektif.

Pertama, JJM dimulai sekitar tengah malam, antara jam 00.00 hingga menjelang subuh bahkan kadang baru selesai ketika adzan subuh berkumandang. Biasanya JJM dilaksanakan setelah simulasi sidang dan pemilihan ketua alumni DAD, sebelumnya mereka di forsir dengan materi, debat konstruktif dan sebagainya. Jelas kondisi fisik sangat lelah, begitupun kondisi otak. Jika dalam keadaan seperti itu dilakukan evaluasi materi. Percuma saja. Muspro!

Kedua, mental apa yang ingin dibangun? Melatih mental tidak harus jalan-jalan malam, blusukan ke kuburan atau di bentak-bentak. Itu bermanfaat jika kita ingin mencetak kader militer atau simulasi untuk menjadi peserta uji nyali. Tapi tidak. kita ingin mencetak kader yang memiliki kompetesi akademik yang bagus dan juga seorang muslim yang tangguh. Harusnya pelatihan mental tidak terfokus di JJM. Bisa dengan memaksimalkan yang ada.

Misalkan dimaksimalkan ketika kultum, debat, atau evaluasi materi. Peran instruktur sangat berpengaruh dalam hal ini. Lagipula mental aktivis yang harusnya di asah adalah kemampuan berbicara di forum dan berkomunikasi dengan orang lain. saya haqqul yakin, di bentak-bentak tidak akan menghasilkan apa-apa. Justru yang harus di perbanyak adalah forum diskusi, debat atau kultum. Kalau perlu ada sesi khusus untuk mempresentasikan buku bacaan.

Lagipula, DAD hanya pintu masuk ke IMM. Tidak bisa kualitas dan militansi kader di tentukan hanya dalam waktu 3 hari 3 malam. Butuh proses berkesinambungan, budaya komisariat dan lain sebagainya. Akhirnya saya yakin jika JJM dihapuskan saja, dan diganti sistem lain.

Di komisariat pelopor sendiri, JJM benar-benar dihapuskan ketika DAD sekitar bulan oktober 2011. Selain JJM, ada beberapa yang saya kritisi dan akhirnya sesuai kesepakatan bersama, diperbaharui. Pada DAD oktober 2011 yang berlangsung di Panti Asuhan Muhammadiyah Bareng depan MOG itu saya mengajukan diri menjadi MOT dan ada beberapa perubahan.

Satu, Materi DAD. Sebelumnya, materi DAD berjumlah 7 buah : logika berfikir, ke-Islaman, ke-Muhammadiyahan, ke-IMM-an, Retorika, leadership, gerakan mahasiswa. Di padatkan menjadi 3 saja : ke-Islaman, ke-Muhammadiyahan, dan ke-IMM-an. Sisa waktu untuk analisis film, diskusi dan debat.

Dua, Wewenang SC (Stering commite) dalam DAD. Awalnya SC lah yang bertugas mengkonsep acara DAD, namun kala itu saya berpendapat agar SC di hapuskan dan konsep semua ada di instruktur. Hanya saja usul itu di tolak. SC tetap diadakan namun konsep DAD akhirnya beralih ke Instruktur. SC hanya sebagai konseptor teknis dan membantu panitia. Logikanya begini, yang menjalankan kegiatan pengaderan ini adalah instruktur, kenapa SC yang buat konsep? Untuk menghindari mis-communikasi pada hal-hal teknis. Akhirnya semua konsep DAD dilimpahkan ke Instruktur.

Tiga, JJM di hapus dan diganti JJS (Jalan-jalan siang). Intinya hampir sama, ada evaluasi dan juga pelatihan mental. Tapi jamnya diganti, JJS dimulai jam 06.30 hingga 11.30 rutenya pun tidak melalui kuburan. Saya mengacu pada teori otak manusia. Saya lupa judul bukunya. Otak manusia aktif pada jam 03.00 hingga 10.00. otak akan kembali rehat pada jam 10.00- 14.30. otak akan aktif secara penuh lagi antara jam 14.30 hingga 17.30.

Teori ini sederhana saja. Mengapa orang memilih olah raga antara pagi dan sore? Karena dua waktu ini kondisi otak sangat fresh dan jika dilakukan evaluasi materi, kemungkinan lebih efektif. Setelah JJS ada istirahat hingga jam 14.00 baru setelah itu dimulai materi teknik persidangan sekaligus simulasi sidang dan pengukuhan ba’da magrib. Selepas Isya’, acara DAD sudah selesai dan pulang untuk mempersiapkan perkuliahan keesokan harinya.

Biasanya sidang berlangsung malam. Kali ini berlangsung sore dan walhasil magrib sudah selesai. Setelah shalat magrib baru dilakukan pengukuhan dan kala itu masih ada bentak-bentakan. Saya lupa belum menjelaskan itu ke senior-senior yang kala itu datang. Tapi saya tidak ikut membentak, tidak ikut-ikutan marah, karena wajah saya kurang meyakinkan untuk membentak-bentak. Hehe

Saya bukannya tidak suka dengan perpeloncoan, di kerjai, atau bentak-bentak. Itu sah-sah saja. Saya mengacu pada teori perkembangan manusia. Usia Mahasiswa berkisar antara 18 sampai 19 tahun, bahkan ada yang lebih tua. Itu adalah fase dimana manusia berada pada masa akhir adolesence (remaja) dan pintu menuju dewasa. Kita tidak boleh memperlakukan kader layaknya anak-anak yang harus dibentak-bentak. Kita harus mulai membangun hubungan dengan pendekatan orang dewasa, emotional relationship, bukan represional relationship (hubungan yang mengitimidasi).

Menurut Jean Piaget, usia itu masuk kategori operasional formal. Dimana seseorang sudah mampu berfikir secara abstrak, logis dan mampu menarik kesimpulan dari informasi yang ada. Cara terbaik untuk mengelola forum dengan rentang usia itu adalah pendekatan orang dewasa. Saya yakin, kader baru bukan orang yang berangkat dari nol, mereka sudah memiliki wawasan dan pengalaman masing-masing. Tinggal bagaimana Instruktur merangsang kepekaan peserta.

Pengondisian forum harus stabil. Instruktur adalah fasilitator, bukan narasumber. Instruktur bukan malaikat yang harus tampil “perfect” di depan kader baru. Tapi setidaknya, instruktur bisa menjadi teman diskusi konstruktif. Kader baru bisa menimba sesuatu dari instruktur begitupun dengan instruktur, bukan tidak mungkin dia menimba ilmu dari kader baru. Harus saling melengkapi. Inilah yang saya sebut emotional relationship.

Saya sudah sembilan kali menjadi instruktur. 4 kali di IMM UIN, 3 kali di IMM Kanjuruhan, 2 kali di PC IMM Malang. pernah terlibat diskusi aktif di korps. Instruktur Cabang Malang dan diamanahi sebagai koordinator. Itu saja yang bisa saya sharingkan. Bahwa pada akhirnya konsep JJM benar-benar dihapuskan di Komisariat Pelopor. Saya tidak memungkiri jika konsep “DAD baru” itu banyak kekurangan, teknisnya banyak yang tidak sesuai harapan. Tapi sebuah konsep tentu butuh penyesuaian dan uji coba. Jika memungkinkan, konsep itu bisa lebih disempurnakan oleh generasi selanjutnya.

Saya tahu jika konsep yang dibuat senior, tidak harus diikuti sampai kiamat. Begitupun apa yang pernah berubah ketika periode saya, dkk. Periode ini mungkin memiliki konsep yang lebih bagus, hasil pemikiran yang lebih matang, maka saya tidak mengkritik jika JJM masih diterapkan di IMM UIN Malang. sah-sah saja, selama dibarengi dengan kajian yang matang. Bukan sekedar mengikuti tradisi leluhur yang mungkin saja sudah tidak relevan dan efisien.

Tapi setidanya, ada “budaya berfikir” yang di kembangkan. Bukan budaya “dogmatis” atau “taqliq” (ikut-ikutan). Saya tahu jika IMM itu punya senior, tapi jangan sampai ada “senioritas”. Biarlah kader belajar menjadi seorang konseptor, pemikir, inisistor-pelopor. Saya juga tidak keberatan andai kata gagasan-gagasan yang pernah saya tulis di kritik para kader. Justru saya akan merasa bersyukur.

Selamat belajar. Fastabiqul khoirot.

Malang, 19 Maret 2014
A Fahrizal Aziz