Jam 22.03 saya duduk sendirian di gazebo merah depan
indomaret jalan mayjend panjaitan, sambil menikmati seporsi mi gelas. Perasaan
saya benar-benar campur aduk. Sore tadi saya baru menyerahkan dua surat kepada
ketua PC IMM Malang dan ketua Komisariat IMM Koms. Pelopor UIN Malang. Isinya
sama: saya resign dari kepengurusan PC IMM Malang. Saya sengaja membuat dua
surat. Satunya untuk ketua Komisariat sebagai pemberitahuan. Jujur saja, butuh
energi ekstra untuk menyampaikan surat tersebut.
Saya sudah memikirkan rencana ini selama satu bulan
lebih. Tapi saya bimbang. Saya terus berdoa, dan hari senin (17/03/14) kemaren
hati saya merasa mantab. Saya harus resign sebagai ketua bidang riset dan
pengembangan keilmuan (RPK) PC IMM Malang periode 2013-2014.
Pilihan ini memang berat. Pertama, proker bid.
RPK sudah siap dijalankan. Ada empat
progam, terutama untuk progam pembentukan tim Riset. Kedua, baru-baru
ini, Mas Hasnan, senior IMM Malang juga mengajak untuk membuat tim menyusun
grand desain gerakan keilmuan di IMM Malang raya. Dua hal yang (mungkin) harus
saya tinggalkan. Saya tidak tahu, bagaimana nanti kelanjutannya. Semoga Allah
membukakan jalan lain.
Saya memang berlebihan! Saya pengecut! Lari dari
tanggung jawab! Saya sudah siap dengan kata-kata itu. Sebelum orang lain
mengatakannya ke saya, saya sudah ‘mengatai’ diri saya sendiri. Saya yang
salah! Tentu. Saya mengakui itu.
Saya mengikuti logika umum : Jika seseorang merasa
tidak mampu mengemban amanah, bukankah sebaiknya dia mundur? Daripada saya
tetap menjadi kabid Riset dan pengembangan keilmuan, tapi sampai akhir periode,
tak ada gaungnya. Sampai saat ini pun, proker RPK belum di eksekusi. Saya
merasa berdosa. Padahal ini sudah bulan kelima kepengurusan. Saya berat dengan
jubah ‘ketua bidang’ itu, apalagi ketua bidang Riset dan pengembangan keilmuan
yang memiliki wewenang mem-format gerakan pemikiran/keilmuan IMM se-Malang
raya.
Saya merasa bersalah dengan Mas Yusuf, ketua umum
yang juga teman akrab saya. Juga dengan Mas Prima, sekretaris bidang RPK. Yang
tak kalah sungkannya adalah dengan seluruh pengurus harian dan juga seluruh
kabid/sekbid RPK se-Malang raya yang telah dua kali meluangkan waktunya untuk
koordinasi bersama. Maafkan saya.
Ini adalah periode kedua saya sebagai pengurus harian
PC IMM Malang. Sebelumnya, saya menjadi sekbid bidang media dan pengembangan
teknologi. Periode yang lalu, saya juga sendiri mengelola bidang media, kabid
pun resign. Seingat saya, hanya lima bidang yang terisi ; organisasi, kader,
dakwah, keilmuan, dan media. Dan tahun ini, agaknya saya akan melakukan hal yang
sama ; resign.
Saat ini saya sudah semester X (sepuluh). Usia
semester yang terbilang tua untuk menjadi kader IMM, apalagi pengurus harian.
Usia dimana seseorang sudah lost-orietasi, terutama di organisasi IMM
yang notabene dijalankan mereka yang masih aktif kuliah dengan asumsi semester
normal I-VIII. Disisi lain ada tiga hal yang harus saya kerjakan, sebagai
penulis lepas, wartawan majalah suara academica, dan sebagai Dewan Pertimbangan
FLP UIN Malang.
Ini adalah tahun kelima saya sebagai kader IMM, sejak
oktober 2009. Sejak pertama kali menjadi pengurus, saya selalu di pasrahi untuk
mengelola bidang keilmuan. Sempat sesekali pindah ke bidang media, tapi kini
kembali lagi ke bidang keilmuan yang berganti nama menjadi RPK. Keputusan untuk
resign ini bukan berarti menegasikan IMM, hanya saya harus jujur dengan diri
sendiri, bahwa ternyata usia semester yang tua menyebabkan orientasi pun juga
berubah. Saya menyerah!
Mungkin banyak yang kecewa dengan keputusan saya ini,
terutama kader komisariat “pelopor” yang memang menaruh harapan besar pada saya
agar terus mengelola bidang RPK, membuat tim riset, menerbitkan jurnal ikatan,
dan melaksanakan kajian multi-perspektif dalam rangka gerakan pencerahan. Untuk
hal ini saya tidak bisa menjawab. Karena itu adalah impian saya di IMM. Saya
serahkan saja kepada ya muhallibal hulub (yang maha membolak-balikkan
hati).
IMM mengajak kadernya untuk menjadi ‘akademisi
muslim’. Akademisi adalah orang yang berkutat dalam aktifitas akademik :
membaca, menulis (jurnal, makalah, essay) dll serta mengamalkan ilmunya di
masyarakat sesuai tri darma perguruan tinggi : pengajaran, penelitian, dan
pengabdian masyarakat. Namun ada kata ‘muslim’ disana yang bermakna
ketertundukan terhadap Allah Swt dalam bentuk Iman dan ketaqwaan. Itu berarti,
IMM mengajak kadernya untuk membuat sebuah hubungan harmonis antara ilmu dan
iman.
Ilmu sangat berkaitan erat dengan logika,
rasionalitas, dan hal-hal yang bersifat empiris. Ilmu berkaitan erat dengan
salah-benar. Sementara Iman bertaut erat dengan moral dan spiritual. Dua hal
yang sesungguhnya sangat susah di satukan. Ilmu yang menuntut sesuatu harus
rasionil sementara iman yang kadang berisi penerimaan, keyakinan dan hal-hal
yang irrasionil. Iman akhirnya bisa menjadi sandaran tatkala ilmu mengalami
titik kebekuan, titik perdebatan dan hipotesis-hipotesis yang tak juga di
temukan Thesisnya, ataupun Thesis yang akhirnya di bantah oleh
antithesis-antithesis. Iman mengajarkan kita jika ada dzat segala maha yang
memiliki Ilmu ; Allah Swt. Sebuah kesadaran alamiah yang di dalam Alquran
disebut sebagai Ulil Albab.
Dalam Critique of pure reason karya G.W.F
Hegel, ada sebuah ungkapan menarik dari Immanuel Kant : kita tidak akan mampu
memahami sesuatu yang sifatnya seperti ketakberhinggaan dan bersifat dua kutub,
bipolar. Kita akan menemui antinomi (jalan buntu) yang berlawanan satu sama
lain ketika berusaha memahami semisal ruang atau waktu. Dari statement Kant
tersebut, Hegel mengambil kesimpulan jika ada Thesis yang kemudian di bantah
oleh Antithesis. Namun diantara keduanya, bisa di kompromikan, di cari jalan
tengah dengan istilah yang ia sebut Sintesis.
Tapi saya kemudian mengajukan pertanyaan sederhana,
bagaimana cara membuat sistesis atas teori “principa Mathematica”-nya Isacc
Newton dengan “Teori Relativitas” Albert Einstein? Bagaimana membuat sintesis
antara paham ekonomi Kapitalisme dan Sosialisme/komunisme? Atau sintesis dari
konsep jamaahnya- Sunni dengan Imamahnya- Syiah? Tiga hal yang tak henti di
perdebatkan dan diperbincangkan, bahkan tak jarang menyulut konflik.
Akhirnya kita harus kembali pada Alquran pada wahyu
pertama : Iqra (bacalah) bismirabbikal ladzi Qhalaq (dengan
menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan). Iqra tidak sekedar membaca
teks, melainkan membaca segala sisi dalam hidup ini ; peluang, alam semesta,
fenomena masyarakat, dan lain-lain. dari proses Iqra itulah ditemukan
segala macam ilmu dari berbagai disiplin. Termasuk lahirnya Thesis dan
Antithesis. Tapi kenapa Alquran mengajak kita untuk Bismirabbikal ladzi
Qhalaq? (menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan).
Bismirabbikal ladzi Qhalaq berkelindan kuat dengan
Dzikir, iman dan spiritual. Sejak wahyu pertama di turunkan, Allah Swt telah
mengajak ummatnya untuk mengawinkan antara Ilmu dan Iman. Dan disaat
teori-teori sibuk memperdebatkan kredibilitasnya masing-masing, Alquran melalui
surat Al Alaq tersebut memberikan jawaban yang spesifik :
Iqra warabbukal a’ram (bacalah dan Tuhanmu lah
yang maha pemurah. Alladzi alama bil qalam (yang mengajar dengan
perantara kalam/pena). Allamal insana ma lam ya’ lam (Dia mengajarkan
manusia apa yang tidak di ketahui). Kalimat terakhir dalam ayat itu sangat
menohok. Awalnya manusia tidak tahu apa-apa, tapi Allah memberikan manusia akal
untuk berfikir yang pada akhirnya
berhasil melahirkan ratusan teori-teori ilmu pengetahuan.
Dari penalaraan tersebut, saya meyakini jika Islam
itu la larkiyah wa la syarkiyah (tidak mengenal barat dan timur) semua
itu adalah milik Allah. Kita boleh-boleh saja membaca An Inquiry into the
nature and causes of the wealth of nation karya Adam Smith hingga Das
Capital karya Karl Marx yang sangat melegenda itu, atau politik
utilitarianistik Nicolo Machiavelli. Menelaah istilah Intelektual tradisional
dan organik-nya Antonio Gramci. Memaknai istilah Raushan Fikr-nya Ali Syariati
hingga me-rejuvenasi kembali makna gerakan profetis (kenabian) yang
dikembangkan oleh M. Iqbal dan Kuntowijoyo.
Teori-teori sosial-sains yang dibuat manusia bisa
saja memiliki pendukung atau pendebat. Misalkan peletak dasar ide kapitalisme
Adam Smith yang dibantah Karl Marx, hingga konflik pemahaman yang tak
berkesudahan antara Sunni dan Syiah. Semuanya bisa saling mendebat, berargument
dan mengklaim jika teori-nya paling benar. Tapi Alquran menjelaskan kenapa
mereka seperti itu?
Arra’ahus tagna (karena dia melihat
dirinya serba cukup). Manusia merasa jika teorinya paling benar dan sudah cukup
untuk mengatasi problematika sosial yang ada. Untuk itulah, melalui surat yang
sama Allah menjelaskan Inna Ila rabbika ruj’a (sesungguhnya hanya kepada
Tuhanmu-lah kembalimu). Saya tahu, di balik perdebatan intelektual yang tak
usai-usai tersebut ada satu jalan spiritual yang penuh kedamaian. Pada akhirnya
hanya sang segala maha-lah yang mengetahui kebenaran yang hakiki.
Saya bersyukur pernah mengkaji makna ‘akademisi
muslim’ yang di back up oleh tri kompetensi dasar : Religiusitas,
Intelektualitas dan Humanitas. Dalam bahasa agama, religiusitas bisa berarti
Iman, Intelektualitas berarti Ilmu, dan Humanitas berarti amal sholeh. Tiga
instrument yang harus dimiliki seorang akademisi muslim. Kader IMM tidak perlu
khawatir dengan perdebatan intelektual, ia tidak boleh mengklaim salah-benar
apalagi surga-neraka, karena pada akhirnya semua kulmunasi perdebatan itu akan
kembali kepada Allah. Inna Ila rabbika ruj’a. Allah lah yang menjadi
hakimnya.
Dan ketika saya mendapat kesempatan untuk menjadi
kabid Riset dan pengembangan keilmuan, alangkah bahagianya saya, setidaknya
saya bisa membuat sebuah blue-print yang mendefinisikan secara spesifik makna
‘akademisi muslim’ yang akhirnya menjadi rekomendasi gerakan IMM se-Malang
raya. Langkah ini sudah saya lakukan bersama Mas Prima, Mas Hasnan serta
beberapa kader pergresif IMM yang aktif di PSIF (Pusat Kajian Ilmu Filsafat)
atau di Resist (Center of social and religious studies).
Saya berharap IMM kelak menjadi katalisator yang
produktif dalam mewujudkan generasi-generasi yang mengkaji berbagai disiplin
ilmu dengan kepekaan Iman yang kuat. Sehingga melahirkan sosok intelektual yang
mencerahkan, mencerahkan pikiran dan hati (qalbu). Disatu sisi lincah dalam
berargument secara rasional, disatu sisi juga memiliki kedekatan kuat dengan
sang Pencipta. Dan saya mendapatkan wewenang serta kesempatan untuk mem-format
gerakan itu. Sebuah harapan yang dipertemukan dengan kesempatan.
Tapi saya harus jujur pada diri sendiri, bahwa
ternyata saya belum mampu menjalankan itu semua. Bisa jadi karena saya gagal
memahami keadaan ini. sekali lagi saya haturkan beribu-ribu maaf kepada seluruh
kader IMM yang pernah (sempat) mempercayakan amanah ini dan sekarang saya
sia-siakan.
Tapi saya berterima kasih pada IMM yang telah membuat
saya ‘berfikir’ hingga menemukan pemahaman ini semua. Saya teringat kalimat
Profesor Kuntowijoyo : Intelektual itu adalah orang yang memilih jalan sunyi,
jauh dari hingar bingar keramaian. Tapi ia berfungsi sebagai arus yang bergerak
di dalam, bukan riak-riak yang nampak gemericik di permukaan air. Saya masih
pembelajar, dan mohon di maafkan jika banyak kesalahan.
Sankyu, IMM!
Blitar, 17 Maret 2014
A Fahrizal Aziz