loading...

Selasa, 28 April 2015

Sankyu, IMM!



Jam 22.03 saya duduk sendirian di gazebo merah depan indomaret jalan mayjend panjaitan, sambil menikmati seporsi mi gelas. Perasaan saya benar-benar campur aduk. Sore tadi saya baru menyerahkan dua surat kepada ketua PC IMM Malang dan ketua Komisariat IMM Koms. Pelopor UIN Malang. Isinya sama: saya resign dari kepengurusan PC IMM Malang. Saya sengaja membuat dua surat. Satunya untuk ketua Komisariat sebagai pemberitahuan. Jujur saja, butuh energi ekstra untuk menyampaikan surat tersebut.


Saya sudah memikirkan rencana ini selama satu bulan lebih. Tapi saya bimbang. Saya terus berdoa, dan hari senin (17/03/14) kemaren hati saya merasa mantab. Saya harus resign sebagai ketua bidang riset dan pengembangan keilmuan (RPK) PC IMM Malang periode 2013-2014.

Pilihan ini memang berat. Pertama, proker bid. RPK  sudah siap dijalankan. Ada empat progam, terutama untuk progam pembentukan tim Riset. Kedua, baru-baru ini, Mas Hasnan, senior IMM Malang juga mengajak untuk membuat tim menyusun grand desain gerakan keilmuan di IMM Malang raya. Dua hal yang (mungkin) harus saya tinggalkan. Saya tidak tahu, bagaimana nanti kelanjutannya. Semoga Allah membukakan jalan lain.

Saya memang berlebihan! Saya pengecut! Lari dari tanggung jawab! Saya sudah siap dengan kata-kata itu. Sebelum orang lain mengatakannya ke saya, saya sudah ‘mengatai’ diri saya sendiri. Saya yang salah! Tentu. Saya mengakui itu.

Saya mengikuti logika umum : Jika seseorang merasa tidak mampu mengemban amanah, bukankah sebaiknya dia mundur? Daripada saya tetap menjadi kabid Riset dan pengembangan keilmuan, tapi sampai akhir periode, tak ada gaungnya. Sampai saat ini pun, proker RPK belum di eksekusi. Saya merasa berdosa. Padahal ini sudah bulan kelima kepengurusan. Saya berat dengan jubah ‘ketua bidang’ itu, apalagi ketua bidang Riset dan pengembangan keilmuan yang memiliki wewenang mem-format gerakan pemikiran/keilmuan IMM se-Malang raya.

Saya merasa bersalah dengan Mas Yusuf, ketua umum yang juga teman akrab saya. Juga dengan Mas Prima, sekretaris bidang RPK. Yang tak kalah sungkannya adalah dengan seluruh pengurus harian dan juga seluruh kabid/sekbid RPK se-Malang raya yang telah dua kali meluangkan waktunya untuk koordinasi bersama. Maafkan saya.

Ini adalah periode kedua saya sebagai pengurus harian PC IMM Malang. Sebelumnya, saya menjadi sekbid bidang media dan pengembangan teknologi. Periode yang lalu, saya juga sendiri mengelola bidang media, kabid pun resign. Seingat saya, hanya lima bidang yang terisi ; organisasi, kader, dakwah, keilmuan, dan media. Dan tahun ini, agaknya saya akan melakukan hal yang sama ; resign.

Saat ini saya sudah semester X (sepuluh). Usia semester yang terbilang tua untuk menjadi kader IMM, apalagi pengurus harian. Usia dimana seseorang sudah lost-orietasi, terutama di organisasi IMM yang notabene dijalankan mereka yang masih aktif kuliah dengan asumsi semester normal I-VIII. Disisi lain ada tiga hal yang harus saya kerjakan, sebagai penulis lepas, wartawan majalah suara academica, dan sebagai Dewan Pertimbangan FLP UIN Malang.

Ini adalah tahun kelima saya sebagai kader IMM, sejak oktober 2009. Sejak pertama kali menjadi pengurus, saya selalu di pasrahi untuk mengelola bidang keilmuan. Sempat sesekali pindah ke bidang media, tapi kini kembali lagi ke bidang keilmuan yang berganti nama menjadi RPK. Keputusan untuk resign ini bukan berarti menegasikan IMM, hanya saya harus jujur dengan diri sendiri, bahwa ternyata usia semester yang tua menyebabkan orientasi pun juga berubah. Saya menyerah!

Mungkin banyak yang kecewa dengan keputusan saya ini, terutama kader komisariat “pelopor” yang memang menaruh harapan besar pada saya agar terus mengelola bidang RPK, membuat tim riset, menerbitkan jurnal ikatan, dan melaksanakan kajian multi-perspektif dalam rangka gerakan pencerahan. Untuk hal ini saya tidak bisa menjawab. Karena itu adalah impian saya di IMM. Saya serahkan saja kepada ya muhallibal hulub (yang maha membolak-balikkan hati).

IMM mengajak kadernya untuk menjadi ‘akademisi muslim’. Akademisi adalah orang yang berkutat dalam aktifitas akademik : membaca, menulis (jurnal, makalah, essay) dll serta mengamalkan ilmunya di masyarakat sesuai tri darma perguruan tinggi : pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Namun ada kata ‘muslim’ disana yang bermakna ketertundukan terhadap Allah Swt dalam bentuk Iman dan ketaqwaan. Itu berarti, IMM mengajak kadernya untuk membuat sebuah hubungan harmonis antara ilmu dan iman.

Ilmu sangat berkaitan erat dengan logika, rasionalitas, dan hal-hal yang bersifat empiris. Ilmu berkaitan erat dengan salah-benar. Sementara Iman bertaut erat dengan moral dan spiritual. Dua hal yang sesungguhnya sangat susah di satukan. Ilmu yang menuntut sesuatu harus rasionil sementara iman yang kadang berisi penerimaan, keyakinan dan hal-hal yang irrasionil. Iman akhirnya bisa menjadi sandaran tatkala ilmu mengalami titik kebekuan, titik perdebatan dan hipotesis-hipotesis yang tak juga di temukan Thesisnya, ataupun Thesis yang akhirnya di bantah oleh antithesis-antithesis. Iman mengajarkan kita jika ada dzat segala maha yang memiliki Ilmu ; Allah Swt. Sebuah kesadaran alamiah yang di dalam Alquran disebut sebagai Ulil Albab.

Dalam Critique of pure reason karya G.W.F Hegel, ada sebuah ungkapan menarik dari Immanuel Kant : kita tidak akan mampu memahami sesuatu yang sifatnya seperti ketakberhinggaan dan bersifat dua kutub, bipolar. Kita akan menemui antinomi (jalan buntu) yang berlawanan satu sama lain ketika berusaha memahami semisal ruang atau waktu. Dari statement Kant tersebut, Hegel mengambil kesimpulan jika ada Thesis yang kemudian di bantah oleh Antithesis. Namun diantara keduanya, bisa di kompromikan, di cari jalan tengah dengan istilah yang ia sebut Sintesis.

Tapi saya kemudian mengajukan pertanyaan sederhana, bagaimana cara membuat sistesis atas teori “principa Mathematica”-nya Isacc Newton dengan “Teori Relativitas” Albert Einstein? Bagaimana membuat sintesis antara paham ekonomi Kapitalisme dan Sosialisme/komunisme? Atau sintesis dari konsep jamaahnya- Sunni dengan Imamahnya- Syiah? Tiga hal yang tak henti di perdebatkan dan diperbincangkan, bahkan tak jarang menyulut konflik.

Akhirnya kita harus kembali pada Alquran pada wahyu pertama : Iqra (bacalah) bismirabbikal ladzi Qhalaq (dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan). Iqra tidak sekedar membaca teks, melainkan membaca segala sisi dalam hidup ini ; peluang, alam semesta, fenomena masyarakat, dan lain-lain. dari proses Iqra itulah ditemukan segala macam ilmu dari berbagai disiplin. Termasuk lahirnya Thesis dan Antithesis. Tapi kenapa Alquran mengajak kita untuk Bismirabbikal ladzi Qhalaq? (menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan).

Bismirabbikal ladzi Qhalaq berkelindan kuat dengan Dzikir, iman dan spiritual. Sejak wahyu pertama di turunkan, Allah Swt telah mengajak ummatnya untuk mengawinkan antara Ilmu dan Iman. Dan disaat teori-teori sibuk memperdebatkan kredibilitasnya masing-masing, Alquran melalui surat Al Alaq tersebut memberikan jawaban yang spesifik :

Iqra warabbukal a’ram (bacalah dan Tuhanmu lah yang maha pemurah. Alladzi alama bil qalam (yang mengajar dengan perantara kalam/pena). Allamal insana ma lam ya’ lam (Dia mengajarkan manusia apa yang tidak di ketahui). Kalimat terakhir dalam ayat itu sangat menohok. Awalnya manusia tidak tahu apa-apa, tapi Allah memberikan manusia akal untuk  berfikir yang pada akhirnya berhasil melahirkan ratusan teori-teori ilmu pengetahuan.

Dari penalaraan tersebut, saya meyakini jika Islam itu la larkiyah wa la syarkiyah (tidak mengenal barat dan timur) semua itu adalah milik Allah. Kita boleh-boleh saja membaca An Inquiry into the nature and causes of the wealth of nation karya Adam Smith hingga Das Capital karya Karl Marx yang sangat melegenda itu, atau politik utilitarianistik Nicolo Machiavelli. Menelaah istilah Intelektual tradisional dan organik-nya Antonio Gramci. Memaknai istilah Raushan Fikr-nya Ali Syariati hingga me-rejuvenasi kembali makna gerakan profetis (kenabian) yang dikembangkan oleh M. Iqbal dan Kuntowijoyo.

Teori-teori sosial-sains yang dibuat manusia bisa saja memiliki pendukung atau pendebat. Misalkan peletak dasar ide kapitalisme Adam Smith yang dibantah Karl Marx, hingga konflik pemahaman yang tak berkesudahan antara Sunni dan Syiah. Semuanya bisa saling mendebat, berargument dan mengklaim jika teori-nya paling benar. Tapi Alquran menjelaskan kenapa mereka seperti itu?

Arra’ahus tagna (karena dia melihat dirinya serba cukup). Manusia merasa jika teorinya paling benar dan sudah cukup untuk mengatasi problematika sosial yang ada. Untuk itulah, melalui surat yang sama Allah menjelaskan Inna Ila rabbika ruj’a (sesungguhnya hanya kepada Tuhanmu-lah kembalimu). Saya tahu, di balik perdebatan intelektual yang tak usai-usai tersebut ada satu jalan spiritual yang penuh kedamaian. Pada akhirnya hanya sang segala maha-lah yang mengetahui kebenaran yang hakiki.

Saya bersyukur pernah mengkaji makna ‘akademisi muslim’ yang di back up oleh tri kompetensi dasar : Religiusitas, Intelektualitas dan Humanitas. Dalam bahasa agama, religiusitas bisa berarti Iman, Intelektualitas berarti Ilmu, dan Humanitas berarti amal sholeh. Tiga instrument yang harus dimiliki seorang akademisi muslim. Kader IMM tidak perlu khawatir dengan perdebatan intelektual, ia tidak boleh mengklaim salah-benar apalagi surga-neraka, karena pada akhirnya semua kulmunasi perdebatan itu akan kembali kepada Allah. Inna Ila rabbika ruj’a. Allah lah yang menjadi hakimnya.

Dan ketika saya mendapat kesempatan untuk menjadi kabid Riset dan pengembangan keilmuan, alangkah bahagianya saya, setidaknya saya bisa membuat sebuah blue-print yang mendefinisikan secara spesifik makna ‘akademisi muslim’ yang akhirnya menjadi rekomendasi gerakan IMM se-Malang raya. Langkah ini sudah saya lakukan bersama Mas Prima, Mas Hasnan serta beberapa kader pergresif IMM yang aktif di PSIF (Pusat Kajian Ilmu Filsafat) atau di Resist (Center of social and religious studies).

Saya berharap IMM kelak menjadi katalisator yang produktif dalam mewujudkan generasi-generasi yang mengkaji berbagai disiplin ilmu dengan kepekaan Iman yang kuat. Sehingga melahirkan sosok intelektual yang mencerahkan, mencerahkan pikiran dan hati (qalbu). Disatu sisi lincah dalam berargument secara rasional, disatu sisi juga memiliki kedekatan kuat dengan sang Pencipta. Dan saya mendapatkan wewenang serta kesempatan untuk mem-format gerakan itu. Sebuah harapan yang dipertemukan dengan kesempatan.

Tapi saya harus jujur pada diri sendiri, bahwa ternyata saya belum mampu menjalankan itu semua. Bisa jadi karena saya gagal memahami keadaan ini. sekali lagi saya haturkan beribu-ribu maaf kepada seluruh kader IMM yang pernah (sempat) mempercayakan amanah ini dan sekarang saya sia-siakan.

Tapi saya berterima kasih pada IMM yang telah membuat saya ‘berfikir’ hingga menemukan pemahaman ini semua. Saya teringat kalimat Profesor Kuntowijoyo : Intelektual itu adalah orang yang memilih jalan sunyi, jauh dari hingar bingar keramaian. Tapi ia berfungsi sebagai arus yang bergerak di dalam, bukan riak-riak yang nampak gemericik di permukaan air. Saya masih pembelajar, dan mohon di maafkan jika banyak kesalahan.

Sankyu, IMM!


Blitar, 17 Maret 2014
A Fahrizal Aziz