Sebelum buku
berjudul ‘Muhammadiyah itu NU’ karya Mochammad Ali Shodiqin itu terbit, saya
sudah pernah membaca penjelasan serupa dari blog Muhammadiyah Studies
yang di tulis oleh Mas Najib Burhani berjudul “Kitab Fiqh Muhammadiyah Awal”
yang di posting 11 Juli 2013. Rujukannya adalah buku “Kitab Fiqh jilid telu”
yang terbit tahun 1343 H atau 1924 M. Intinya, dua tulisan tersebut mencoba
menjelaskan pandangan Fiqih Muhammadiyah terdahulu yang sama persis dengan NU
sekarang. Berikut saya paparkan beberapa kesamaannya, terutama masalah Amaliyah
:
Dalam bab wacan
shalat lan ma’nane, hal. 25. Bacaan Iftitah Muhammadiyah adalah Kabirowwalhamdulilahi
katsiro, bukan Allohumma Baa’id. Hal. 26, Al Fatihahnya juga
melafalkan Basmallah secara dhar. Hal. 29 shalawat dalam tahiyat akhir juga
menggunakan Sayyidina. Tapi dalam bab pirangane rukune sholat hal. 31-33
di jelaskan shalawat adalah Allohumma sholli ala Muhammad, dan tidak
dijelaskan kenapa tidak menggunakan Sayidina.
Di hal. 27,
dijelaskan adanya Doa Qunut yang berbunyi Allohummadini. Hal. 57,
Muhammadiyah juga khutbah Jum’at sebanyak dua kali. Hal. 40-42 menjelaskan
masalah dzikr ba’da sholat yang berisi Istigfar, allohumma antasalam,
Subhanallah, Allohu akbar, dan Alhamdulilah sebanyak 33 kali.
Menurut Mas Najib
Burhani, Tradisi Fiqh di Muhammadiyah sebelum 1929 memang tidak jauh berbeda
dengan NU. Perubahan itu terjadi karena pengaruh Haji Rasul di Sumatera barat
yang cukup menentukan corak Fiqh Muhammadiyah. Mas Burhan mengemukakan sebuah
adagium : Muhammadiyah lahir di Jogja, tapi secara idiologi dibentuk di
Sumatera barat. Apalagi, setelah KH. Mas Mansur mendirikan Majelis Tarjih pada
tahun 1928 yang akhirnya membuat satu buku pegangan bernama HPT (Himpunan
Putusan Tarjih) yang merumuskan konsep ibadah-amaliyah di Muhammadiyah hingga
sekarang ini.
Buku
‘Muhammadiyah itu NU’ mencoba menggali kembali dokumentasi Fiqh yang
terlupakan, dengan tujuan membangun kebersamaan/keutuhan ummat Islam di
Indonesia. Tapi ada beberapa catatan yang harus kita kaji bersama dalam konteks
ini :
Pertama,
Muhammadiyah lahir tahun 1912, 14 tahun sebelum NU didirikan. Corak keagamaan
Masyarakat Muslim di jawa kala itu memang sudah begitu (mulai dari Qunut,
bacaan Iftitah, tahlilan, shalawat, dzikir dan sebagainya) doktrin Fiqiyah
sudah cukup mapan. Logikanya, keberadaan doktrin Fiqih tersebut jauh lebih
dahulu ketimbang Muhammadiyah dan NU. Maka istilah Muhammadiyah itu NU perlu di
kaji secara historis.
NU hanya
meneruskan tradisi yang ada. Sejak awal, Masyarakat jawa sudah terbiasa dengan
tahlilan, yasinan, sholat subuh dengan Qunut, tarawih 21 rakaat, dan lain-lain.
Itulah mengapa, jumlah pengikut/simpatisan NU hingga sekarang jauh lebih banyak
dari Muhammadiyah karena doktrin Fiqiyah yang diterapkan NU sudah mapan di
Masyarakat. sementara Muhammadiyah kala itu, disebut-sebut sangat kosmopolite.
Kedua,
Gerakan awal Muhammadiyah memang tidak terfokus pada
doktrin Fiqiyah. KH. Ahmad Dahlan, justru sibuk mengurusi PKO (Penolong
kesengsaraan Oemoem) dan fokus pada pendidikan, kesehatan, dan kepedulian
terhadap kaum pinggiran (Mustad’afin). Sehingga, pembaharuan dalam periode awal
Muhammadiyah lebih pada tafsir sosial kegamaan, karena itu hal yang sangat
urgen ketimbang mereformasi pemahaman fiqih.
Konsep
Ibadah-Amaliyah Muhammadiyah yang ‘berbeda’ dari kitab Fiqh awal itu baru
terlaksana ketika Muhammadiyah di pimpin oleh KH. Ibrahim yang mendirikan
Majelis tarjih pada tahun 1928 dan diketuai oleh KH. Mas Mansur. Muhammadiyah
adalah gerakan pembaharu (tajdid), maka bila ada upaya untuk merformasi tatanan
fiqiyah, adalah hal yang wajar-wajar saja.
Mari kita buat
sebuah asumsi. Awalnya KH. Ahmad Dahlan menentang ajaran Islam jawa seperti
selametan (7 harian hingga 1.000 harian) bukan atas dasar fiqiyah. Merujuk pada
novel sang pencerah, KH. Ahmad Dahlan (yang saat itu masih bernama Darwis)
merasa sedih mendengar Ibunya Pono –teman dekatnya—berhutang hanya untuk
melaksanakan acara tahlilan. Padahal, kala itu masyarakat jawa sebagian besar
miskin. Maka ia mengambil satu pemikiran : “Kenapa Islam itu memberatkan?”
Akhirnya, KH.
Ahmad Dahlan mulai menentang berbagai doktrin fiqiyah yang memberatkan ummat.
Ia menolak sesaji, tahlilan, hingga mereformasi arah kiblat. Hal itu ia lakukan
sebelum mendirikan Muhammadiyah. namun, ketika mendirikan Muhammadiyah, fokus
gerakannya tidak terkonsentrasi masalah fiqih ibadah, melainkan tafsir sosial
keagamaan terutama QS. Al Maun. Kitab ‘Fiqh jilid telu’ sendiri baru di
terbitkan sekitar tahun 1924, satu tahun setelah KH. Ahmad Dahlan wafat, dan
dua tahun sebelum NU didirikan.
Ketiga,
sebagai organisasi pembaharu, wajar-wajar saja jika
Muhammadiyah kemudian melakukan pembaharuan masalah fiqh. Hal ini juga semakin
meneguhkan upaya Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu yang fokus di berbagai
bidang, tidak hanya gerakan sosial melainkan juga keagamaan. Apalagi, corak
keagamaan masyarakat jawa kala itu masih sangat akulturatif dengan budaya
hindu-budha.
Berdasarkan
statement yang pernah dilontarkan oleh Prof. Yunahar Ilyas, Muhammadiyah bukan
Dahlaniyah. Muhammadiyah adalah pengikut Nabi Muhammad, seorang Nabi yang telah
melakukan reformasi dari berbagai segi ; agama, budaya, politik, sosial. Bukan
pengikut KH. Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan hanyalah pendiri. Justru dengan
adanya reformasi fiqiyah tersebut, menunjukkan kedewasaan kader serta pengurus
Muhammadiyah. Apalagi, reformasi fiqih tersebut bertujuan untuk melakukan
purifikasi (pemurnian) dan menisbahkan pada sumber/dalil yang kuat.
Maka istilah
‘Muhammadiyah itu NU’ yang menjadi judul buku tersebut, agaknya perlu di
koreksi. Istilah yang sebenarnya justru mereduksi makna Muhammadiyah sebagai
organisasi tajdid (pembaharuan). Apalagi, di Muhammadiyah tidak mengenal
istilah pengultusan tokoh, termasuk kepada KH. Ahmad Dahlan selaku pendiri.
Bisa saja mengoreksi ulang gerakan Muhammadiyah karena tantangan zaman yang
berbeda. apakah Muhammadiyah harus mengikuti ‘kitab fiqh jilid telu’? sementara
PP sudah membuat hasil pembaharuan fiqiyah dalam bentuk HPT (Himpunan putusan
Tarjih)?.
Upaya untuk
mempersatukan Muhammadiyah dan NU tentu tidak harus mencari ‘titik persamaan’.
Bisa saja berbeda, namun sebisa mungkin memunculkan kedewasaan dengan memahami
dalil/sumber masing-masing. Hingga kini, Muhammadiyah akan tetap adzan shalat
jum’at satu kali, shalat subuh tanpa qunut, membaca basamalah dalam surat
alfatiha bi sirri, tidak mengenal budaya tahlilan, tidak mengenal budaya
dzikir bersama-sama, dan seabrek perbedaan furuiyah lainnya dengan NU
yang memang mengokomodir tradisi itu dengan semboyan : Al muhafadzatu ala
Qodimis shalih wal-akhdzu bil jadidil aslah.
Keduanya tidak
harus sama, bisa berbeda. Hanya saja, antara Muhammadiyah dan NU bisa berjalan
dalam rel masing-masing. Tidak harus mencoba mereduksi pemahaman keagamaan
salah satu diantara keduanya. Istilah populernya, win win solution.
Pemahaman itu harus dibangun dalam semangat kedewasaan, bukan persamaan atau
pemaksaan untuk disamakan.
Namun hadirnya
buku ini kembali mengingatkan kita semua akan budaya tajdid di Muhammadiyah
yang dulu sangat gencar. Lalu bagaimana dengan Muhammadiyah hari ini? agaknya
buku ini secara tidak langsung menjadi oto-kritik bagi Muhammadiyah sebagai
gerakan pembaharu Islam tertua di Indonesia. Gerakan pembaharuan terjadi ketika
ada telaah kritis dan kemerdekaan berfikir (lepas dari budaya taqliq baik dari
tokoh tertentu maupun budaya).
Dalam buku yang
ditulis Dr. Haedar Nashir berjudul ‘Muhammadiyah Gerakan pembaharuan’, pada
halaman 185 tertulis : “Maka kembang bersinarlah agama Islam karena
kemerdekaan berfikir. Dan setelah itu, muramlah cahayanya karena kemerdekaan
berfikir itu tidak ada lagi. Maka kita berkeyakinan, bahwa kembalinya kebesaran
dan kemegahan Islam , sangatlah bergantung pada kembalinya kemerdekaan
berfikir, dan kesungguh-sungguhan menggali dan mengorek hikmah agama dari
berbagai segi”.
Kutipan diatas
diambil dari dokumen resmi Muhammadiyah tahun 1954 ketika Muhammadiyah dipimpin
oleh AR Sutan Mansur. Menurut Buya Syafii Maarif, dokumen tersebut sudah
dibahas sejak kepemimpinan Ki Bagus Hadi kusumo. Ini berarti, adanya reformasi
fiqih tersebut merupakan wujud ‘kebebasan berfikir’ dari segi ibadah-amaliyah
yang akhirnya memberikan ruang ‘kebebasan berfikir’ lainnya dan membuat
Muhammadiyah semakin besar hingga sekarang.
Muhammadiyah
besar bukan dari basis massa, melainkan basis amal usaha yang meliputi ratusan
perguruan tinggi, puluhan ribu sekolahan, ratusan rumah sakit dan yang tak
kalah penting adalah ribuan jurnal atau buku ilmiah yang berisi pemikiran
kritis dan solutif untuk ummat. Jika tidak adanya ‘kemerdekaan berfikir’ dan
tetap taqliq pada sesepuh, bagaimana mungkin pencapaian yang fenomenal tersebut
akan terjadi? Apalagi kehidupan bersifat dinamis.
Akhirnya, buku
‘Muhammadiyah itu NU’ hanya bisa menjadi informasi tambahan bagi sejarah
pembukuan di Muhammadiyah. Karena dari sifat keorganisasian, Muhammadiyah
membolehkan adanya pembaharuan baik dari berbagai segi, selama itu dalam rangka
meninggikan dan mencitrakan Islam sebenar-benarnya dan Islam yang berkemajuan
yang telah lama menjadi jargon gerakan Muhammadiyah.
Semoga, upaya
untuk menggaungkan kembali gerakan ‘kebebasan berfikir’ dalam Muhammadiyah bisa
terakomodir dengan baik. Agar antara satu kader dengan kader yang lain tidak
saling menjustice salah-benar. Kita membutuhkan telaah kritis dari pemikiran
kader-kader kita, terutama di jalan persyarikatan yang mulai menapaki abad
kedua ini. wallohu’alam. (*)
Malang,
16 maret 2014
*A
Fahrizal Aziz